Minggu, 04 Desember 2016

Selamat Tinggal



Aku yang tengah disibukan oleh banyak tugas kuliah. Kalutku dengan tulisan dan data-data, semua fokusku buyar saat dering hp di atas meja belajar berbunyi. Ku lirik sejenak, terdapat panggilan darimu. “Ya, ada apa?” Sahutku saat mengangkat panggilan.

“Bisa ketemu malam ini enggak?” Terdengar suara di ujung telepon.
“Bisa, jam berapa?” Jawabku.
“Di tempat biasa ya, jam 8 malam aja..”
“Oke, bisa.. nanti aku datang..”
“Eh, tapi enggak lagi sibuk banget kan?”
“Lumayan sih, tapi yaudah ga apa-apa kok, penat juga udah hampir dua hari berkutat di depan layar laptop...”
“Dengan segudang sampah berkas yang suatu hari di masa depan tidak jelas juga kegunaanya.. haha” Potong suara di ujung telepon, sebelum aku sempat melanjutkan kata-kataku.. 

“Aku sampai hafal kata-kata andalanmu..” Lanjutnya kemudian..

Aku tertegun. Melirik pada tumpukan tugas, menatap nanar pada layar laptop..

Habislah aku digerogoti sampah-sampah
Sirnalah aku dimakan waktu, tak sempat aku menyesapnya
Ia dengan kurang ajar menghabisiku dalam ketidakberdayaan

“Halo.. Kal, Haikal!..” Teriaknya di ujung sana mengagetkanku dari lamunan sejenak.
“Ehh, iya.. iya kenapa?”
“Kebiasaan kalau lagi banyak pekerjaan selalu bengong.. oke, intinya nanti malam bisakan?, sampai nanti aja kalau begitu, semangat ya untuk mendaur sampah-sampahnya.. Hahaha..”
“Haha..” Aku terkekeh. “Oke, makasihlah untuk semangat semunya..” Lanjutku.
Ingin rasanya terus bicara. Aku butuh teman untuk mengobrol, bukan engkau wahai layar laptop datar yang melihatnya saja aku seakan muak, tidak juga kalian, tumpukan tugas yang bagiku hanya sampah.
I’ll see you tonight.. byee” Tutupnya singkat.
“Bye..” Keheningan kembali tercipta di ruangan ini. Hanya suara kipas yang berbisik, beberapa tuts keyboard laptop yang berdetak saat kembali ku lanjutkan pekerjaan yang sudah menumpuk.
*
Bukan hal baru, tidak juga menjadi suatu kebiasaan bagiku, atau rutinitas yang selalu aku tekuni, tapi setiap kali ia menelpon atau menghubungiku via chat, aku selalu tahu pasti ada suatu hal yang ingin ia bicarakan atau ceritakan.

Tiara, seseorang yang menghubungiku beberapa saat yang lalu, melihat senyumnya aku selalu terpana, memandangi tawa dan paras wajahnya memberi hidup bagi jiwaku yang rapuh. Aku memujanya, seperti ia seorang dewi. Dalam beberapa kesempatan kami sering bersama menghabiskan waktu, kemudian aku, seorang pecinta, bukan pejuang melainkan pengecut, tak berani aku sampaikan rasaku, hingga kini ia tetap tak mengetahuinya.

Aku ingat pertemuan pertamaku dengannya, saat PPMB (sejenis ospek masal mahasiswa baru) pertama kali, tepatnya 2 tahun yang lalu, jangan tanyakan tanggal dan tepat harinya, aku tidak mau ingat. Kami bertemu dan bersalaman untuk berkenalan, ternyata ia dari fakultas yang sama denganku. Sejak saat itu kami selalu mengerjakan tugas bersama, tidak selalu hanya berdua, sering juga bersama teman-teman yang lain. Aku seorang yang suka bergaul, semua orang di fakultasku adalah kawan, namun dibalik itu semua, tidak ada seorang temanpun yang tahu bahwa aku dan Tiara banyak menghabiskan waktu bersama, entah itu menonton film, makan malam atau sekedar berjalan-jalan santai untuk melepas kepenatan.

Aku sangat terlibat aktif dalam kegiatan kampus, baik UKM (unit kegiatan mahasiswa), Organisasi maupun kepanitiaan acara-acara yang biasa fakultas atau kampus selenggarakan. Berbeda dengan Tiara yang memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan di kampus, hanya beberapa kegiatan saja yang ia pilih untuk terlibat di dalamnya.
Baiklah, untuk menjawab pertanyaan tentang tugas apa yang sangat menumpuk dan harus diselesaikan sekarang, juga kenapa aku begitu sibuk, hampir setiap hari aku habiskan 1-2 jam di depan layar laptop, karena banyaknya kegiatan yang aku pilih.

Ketertarikanku untuk terlibat dalam banyak kegiatan membuatku sering melalaikan tugas yang dosen berikan, saat seperti itulah aku selalu menggunakan sistem kebut satu hari, bukan malam hari karena malam hari bagiku untuk bebas, walaupun sebenarnya waktu itu aku sediakan untuk Tiara seorang, demi menemaninya.
Sudah sangat panjang lebar aku menjelaskan hidupku dan kesibukanku, agar tak ada yang berpikir bahwa aku seorang bodoh dan tidak proaktif di kampus.


**

Detik jam terus berbunyi,
Sejak sejam yang lalu aku tiba di tempat ini, setelah selesai dengan rapat organisasi di kampus, saat masuk dalam ruangan ini, aku langsung berkutat dengan layar laptop. Pekerjaanku hampir selesai. Ku lirik jam dinding menunjukan pukul 18:00.

Aku menghela nafas, meregangkan badan dan membaringkan tubuh sejenak, aku ingin istirahat dulu.

***
Waktu terus berlalu. Inilah saatnya,
Aku sudah siap dengan waktu ini, kebebasanku!
Kuraih hp, mengusap layarnya, menyentuh beberapa fungsi tombol pada touch-screen hp.
“Ketemu di sana?” Ku kirimkan pesan padanya.
Kembali aku melirik jam. Sudah pukul 19:00.
Hpku bergetar, muncul chat di layarnya “Iya, langsung ketemu di sana aja..” balasnya singkat.

****

Aku sudah terbiasa dengan tempat ini. Tempat aku dan Tiara selalu menghabiskan waktu,
Baik sekedar mengobrol atau bercerita. Kebanyakan ia yang berbicara, aku hanya menjadi teman saja untuk mendengar celotehnya.
Dari jauh sudah bisa kulihat ia hadir di pojok sana, tempat andalan kami untuk bercengkrama, mengapa daerah pojok? Agar bisa lebih leluasa berbincang tanpa terganggu oleh orang lain atau riuh tawa pengunjung di tempat ini.

“Hei, sudah lama tunggu?” Sapaku saat mendekatinya. Kuraih Hp pada saku, melirik layarnya menunjukan pukul 19:42.

“Tumben cepat datangnya..” Sahutku lagi, saat melihat ia yang hanya diam.

“Kal, duduk dulu, ada yang mau aku katakan..” Perintahnya lembut, membuat suasana menjadi canggung.

“Ini ada apaan ya?, kok jadi serius banget kayaknya..” Balasku aneh.

“Aku juga enggak tahu harus mulai dari mana..”

Sekilas kutangkap ekspresi wajahnya, ia tampak serius, terdapat juga pilu, namun bukan patah hati, seperti ia telah jauh dari keberadaannya.

“Oke,.. oke.. ada apa, cerita aja kayak biasa.. hehe” Usahaku untuk memecah waktu aneh ini.

“Iya ya.. jadi canggung rasanya..”

“Iya, ngomong ajakan, kenapa jadi aneh gini..”..

“Kita pesan minum aja kalau gitu..”

“Yehhh.., okelah, aku yang pesankan ya.. minumanmu yang biasa kan?”
 Tiara mengangguk, senyum merekah sedikit di wajahnya.

“Aku sudah enggak mau berharap lagi sama cinta, Kal..” Ucapnya tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Cinta selalu menyakitkan..”
Aku tercekat, mengapa waktu ini begitu aneh, mengapa untuk mengatakan hal itu saja harus dibuat waktu canggung ini.

“Terus?”

“Aku juga bodoh selama ini..”

“Hmm?”
Aku makin bingung.

“Aku akan pergi jauh Kal..”

“Kemana emang?”

“Pokoknya jauh dan kita ngga akan bisa berkomunikasi lagi.. tempatnya sangat jauh..”

Aku makin bingung dengan keadaan ini.

Hanya hening, kuperhatikan wajah dan sorot matanya baik-baik.

“Kenapa kamu selalu menemaniku selama ini dalam segala keadaanku?”

Pertanyaan Tiara membuatku terbujur kaku, tidak ada kata yang bisa aku ucapkan, tenggorokanku seketika kering. Kucoba untuk membuka mulut, mengeluarkan suara untuk menjawab.

“Karena kita temankan?”
Pengecut!, hanya itu yang bisa aku ungkapkan.

“Teman ya.. apa benar karena itu?”

Ia menatapku, tatapannya begitu dalam seakan melihat jauh, menerawang kedalam jiwa.

Keringat dingin serasa mengucur di sekujur tubuh, aku tetap mencoba biasa walaupun kurasakan gejolak aneh yang meledak dalam diri.

Untuk beberapa saat kami hanya diam. Seolah hanya kami saja yang ada di sini, tak kami gubris suara lain, saat ini hanya hadir aku dan dirinya, berhadapan, saling bertatap-tatapan.

“Kenapa menanyakan hal itu?”
Aku mencoba untuk berdalih.

Tiara mengalihkan pandangannya, ia melirik jauh. Seperti mengisyaratkan keberadaannya saat ini tidak ada, seolah memberitahukan akan keadaannya nanti, di sana, di ujung pandangannya, suatu tempat yang tak ia singkapkan padaku.
Ia menggerakan tubuhnya, meraih tas di sampingnya, mengeluarkan satu kotak kecil.

“Ini.. buat kamu..” Ia menyerahkan kotak tersebut padaku.

Ku raih, menelitinya dengan seksama, membolak-balik kotak tersebut.
Sebuah kotak berwarna merah. Segera inginku mengetahui isinya, saat tanganku bergerak untuk membuka kotak tersebut, Tiara menahan gerakanku. “Nanti aja bukanya.. kalau sudah enggak di depan aku..”
Suaranya makin lirih.
Aku tidak mengerti kondisi ini, mengapa ia seperti sangat sedih, mengapa kehadirannya  menjadi bergitu jauh bagiku.

“Aku cuman mau bilang.. aku akan pergi jauh dan kita tidak akan bisa bertemu lagi, bergurau, bercerita juga menghabiskan waktu bersama..”

“Kenapa enggak kasih tahu kemana kamu pergi?”

“Tempatnya jauh Kal..”

Aku merasakan pilu,

Aku merasa sedih, tidak kuketahui kemana ia pergi, namun mengapa gejolak dalam hatiku seolah mengisyaratkan bahwa ia akan hilang dari hadapanku. Tiara takkan aku temui lagi, tidak lagi ada senyum yang aku nikmati.

“Terima kasih ya, untuk waktu selama ini, terima kasih, kamu sudah mengisi waktu-waktu aku.. terima kasih juga karena selalu hadir saat aku butuh.. Maaf juga kalau banyak waktu yang kita habiskan diisi oleh egoisku.. selalu aku yang banyak bicara.. Terima kasih Kal..”

Air mata mengalir di pipinya.
Ia segera berdiri, menyeka sedihnya.
Menaruh beberapa lembar uang. “Ini untuk minumannya..” Ia berhenti. Menatapku dengan dalam, segaris senyum sempat ia lontarkan. Aku hanya bisa terdiam, aku menjadi orang paling bodoh, tubuhku tidak merespon apa-apa. Aku hanya mematung.

“Terima kasih untuk selama ini.. Selamat tinggal, kawan terbaikku dan teman berjalanku dilorong waktu, Haikal.. Aku harap kamu enggak akan melupakanku..”

Tiara berlalu,
Ia pergi, memasuki sebuah mobil yang ternyata sejak tadi sudah parkir di luar dan menantinya.
Aku tak sempat menahannya, aku terlalu bingung, aku terlalu linglung untuk mengerti kondisi ini.
Ia sudah berlalu, kurasakan gusar dalam hati.
__

Aku benci dengan keadaan ini,
Aku benci dengan suasana aneh ini.
Sejak tadi aku hanya mematung, dalam genggamanku kotak merah yang Tiara berikan masih belum terbuka, tanganku membolak-balik kotak tersebut sambil melamun.
Setelah beberapa saat kuputuskan untuk membukanya.
Terdapat secarik kertas dalam kotak tersebut, kuraih dan kubaca.

Teruntuk Haikal,
Sahabat dan teman penggelanaku dalam menjelajahi waktu,
Aku tidak pernah tahu bahwa dunia itu indah, sampai kita menghabiskan banyak waktu untuk menikmatinya,
Aku tidak pernah sadar bahwa hidup itu begitu istimewa, sampai engkau mengajari dengan kata-katamu saat aku terpuruk
Aku juga tidak bisa mengenal cinta, sampai kau jelaskan artinya memiliki dan kehilangan
Segala kata-katamu yang singkat
Tuturmu yang tidak begitu banyak dalam mengisi waktu kita, aku selalu senang bisa memiliki waktu bersamamu.

Maaf kalau aku yang selalu mendominasi pembicaraan,
Maaf jika kisahku yang banyak aku sampaikan,
Maaf jika waktumu engkau habiskan hanya untuk menemaniku,

Beberapa saat yang lalu aku mengetahui bahwa hariku akan tiba sebentar lagi,
Aku merasa sedih akan hal ini.
Aku puas bisa mengucapkan selamat tinggal padamu,
Jangan mencariku, sekali-kali jangan mencobanya, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih saja.
Aku selalu menikmati waktu yang kita habiskan,
Beberapa menyebutnya cinta,
Aku tak percaya cinta karena ia mendatangkan sakit, namun tak bisa aku pungkiri bahwa kita akan berpisah aku merasa sakit dan pilu akan hal ini.
Aku buruk dalam menulis surat, yang mau aku sampaikan hanyalah terimakasih dan maaf atas segala egoku.
Ada peluit hitam yang aku hadiahkan padamu.

Aku berhenti sejenak, melirik pada kotak yang ia berikan. Terdapat peluit kecil berwarna hitam.

Simpanlah itu baik-baik,
Tiuplah saat engkau merindukanku,
Aku akan hadir dalam hembusan angin malam, karena malam hari adalah waktu kita, bukan begitu?

Tulisan tersebut habis.
Perpisahan terburuk yang pernah ada, tulisan paling egois yang tidak rinci memberitahukan apa maksudnya. Apanya terima kasih? Apanya maaf?
Sampai akhirpun engkau tidak mengijinkanku mengetahui hidupmu.

Pernahkah engkau menyadari hadirku, wahai pujangga hati?
Pernahkah engkau gubris akan rasaku, saat perihmu bersama yang lain engkau bagikan?

Tidak ada kejelasan saat engkau menemuiku,
Tidak ada kepastian saat tulisanmu sampai di tanganku,
Hingga akhirpun aku tetaplah kekosongan yang tidak terisi apapun.

Pernahkah engkau bertanya tentangku?
Pernahkah engkau tahu piluku saat kisahmu adalah insan lain?
Pernahkah engkau bertanya “apakah engkau akan menyakitiku?”
Biarlah aku yang terluka namun tidak denganmu..

Sampai akhir, sampai perpisahan, tetap tidak ku kecap manisnya madu asmara,
Hingga kehilanganpun tidak aku kenali dasar jiwaku yang aku nikmati lewat tatapan,
Tidak ada kata yang mampu aku sampaikan untuk ketidakjelasan hal ini,
Hanya selamat tinggal.

*

4 komentar:

  1. ada beberapa tulisan yang typo, tapi buat keseluruhan cerita sudah bagus dan akhir cerita juga menarik karena sad ending (saya senang dengan cerita sad ending)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah diperbaiki, terima kasih atas koreksinya. bisa dibaca juga untuk tulisan lainnya, berikan masukan atau koreksi juga yaa..

      Thanks.

      Hapus
  2. Seegois itu kah seorang Haikal? Iya, Haikal, bukan Tiara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pencarian utk memenuhi rasa sepi membuat banyak orang jadi egois. jika poin Tiara sbg orang yg Haikal impikan utk mengisi hidupnya, jika itu yg kau maksud? Iya, Haikal emang egois.

      Hapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H