Aku yang
tengah disibukan oleh banyak tugas kuliah. Kalutku dengan tulisan dan
data-data, semua fokusku buyar saat dering hp di atas meja belajar berbunyi. Ku
lirik sejenak, terdapat panggilan darimu. “Ya, ada apa?” Sahutku saat
mengangkat panggilan.
“Bisa
ketemu malam ini enggak?” Terdengar suara di ujung telepon.
“Bisa,
jam berapa?” Jawabku.
“Di
tempat biasa ya, jam 8 malam aja..”
“Oke,
bisa.. nanti aku datang..”
“Eh,
tapi enggak lagi sibuk banget kan?”
“Lumayan
sih, tapi yaudah ga apa-apa kok, penat juga udah hampir dua hari berkutat di
depan layar laptop...”
“Dengan
segudang sampah berkas yang suatu hari di masa depan tidak jelas juga
kegunaanya.. haha” Potong suara di ujung telepon, sebelum aku sempat
melanjutkan kata-kataku..
“Aku sampai hafal kata-kata andalanmu..” Lanjutnya kemudian..
Aku
tertegun. Melirik pada tumpukan tugas, menatap nanar pada layar laptop..
Habislah aku digerogoti
sampah-sampah
Sirnalah aku dimakan waktu,
tak sempat aku menyesapnya
Ia dengan kurang ajar
menghabisiku dalam ketidakberdayaan
“Halo.. Kal, Haikal!..” Teriaknya di ujung sana
mengagetkanku dari lamunan sejenak.
“Ehh, iya.. iya kenapa?”
“Kebiasaan kalau lagi banyak pekerjaan selalu
bengong.. oke, intinya nanti malam bisakan?, sampai nanti aja kalau begitu,
semangat ya untuk mendaur sampah-sampahnya.. Hahaha..”
“Haha..” Aku terkekeh. “Oke, makasihlah untuk
semangat semunya..” Lanjutku.
Ingin rasanya terus bicara. Aku butuh teman
untuk mengobrol, bukan engkau wahai layar laptop datar yang melihatnya saja aku
seakan muak, tidak juga kalian, tumpukan tugas yang bagiku hanya sampah.
“I’ll see
you tonight.. byee” Tutupnya singkat.
“Bye..” Keheningan kembali tercipta di ruangan
ini. Hanya suara kipas yang berbisik, beberapa tuts keyboard laptop yang berdetak
saat kembali ku lanjutkan pekerjaan yang sudah menumpuk.
*
Bukan hal baru, tidak juga menjadi suatu
kebiasaan bagiku, atau rutinitas yang selalu aku tekuni, tapi setiap kali ia
menelpon atau menghubungiku via chat, aku selalu tahu pasti ada suatu hal yang
ingin ia bicarakan atau ceritakan.
Tiara, seseorang yang menghubungiku beberapa saat yang lalu, melihat senyumnya aku selalu terpana, memandangi tawa dan paras wajahnya memberi hidup bagi jiwaku yang rapuh. Aku memujanya, seperti ia seorang dewi. Dalam beberapa kesempatan kami sering bersama menghabiskan waktu, kemudian aku, seorang pecinta, bukan pejuang melainkan pengecut, tak berani aku sampaikan rasaku, hingga kini ia tetap tak mengetahuinya.
Aku ingat pertemuan pertamaku dengannya, saat PPMB (sejenis ospek masal mahasiswa baru) pertama kali, tepatnya 2 tahun yang lalu, jangan tanyakan tanggal dan tepat harinya, aku tidak mau ingat. Kami bertemu dan bersalaman untuk berkenalan, ternyata ia dari fakultas yang sama denganku. Sejak saat itu kami selalu mengerjakan tugas bersama, tidak selalu hanya berdua, sering juga bersama teman-teman yang lain. Aku seorang yang suka bergaul, semua orang di fakultasku adalah kawan, namun dibalik itu semua, tidak ada seorang temanpun yang tahu bahwa aku dan Tiara banyak menghabiskan waktu bersama, entah itu menonton film, makan malam atau sekedar berjalan-jalan santai untuk melepas kepenatan.
Aku sangat terlibat aktif dalam kegiatan
kampus, baik UKM (unit kegiatan mahasiswa), Organisasi maupun kepanitiaan
acara-acara yang biasa fakultas atau kampus selenggarakan. Berbeda dengan Tiara
yang memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan di kampus, hanya
beberapa kegiatan saja yang ia pilih untuk terlibat di dalamnya.
Baiklah, untuk menjawab pertanyaan tentang
tugas apa yang sangat menumpuk dan harus diselesaikan sekarang, juga kenapa aku
begitu sibuk, hampir setiap hari aku habiskan 1-2 jam di depan layar laptop,
karena banyaknya kegiatan yang aku pilih.
Ketertarikanku untuk terlibat dalam banyak kegiatan membuatku sering melalaikan tugas yang dosen berikan, saat seperti itulah aku selalu menggunakan sistem kebut satu hari, bukan malam hari karena malam hari bagiku untuk bebas, walaupun sebenarnya waktu itu aku sediakan untuk Tiara seorang, demi menemaninya.
Sudah sangat panjang lebar aku menjelaskan
hidupku dan kesibukanku, agar tak ada yang berpikir bahwa aku seorang bodoh dan
tidak proaktif di kampus.
**
Detik jam terus berbunyi,
Sejak sejam yang lalu aku tiba di tempat ini, setelah selesai dengan rapat organisasi di kampus, saat masuk dalam ruangan ini, aku
langsung berkutat dengan layar laptop. Pekerjaanku hampir selesai. Ku lirik jam
dinding menunjukan pukul 18:00.
Aku menghela nafas, meregangkan badan dan membaringkan tubuh sejenak, aku ingin istirahat dulu.
***
Waktu terus berlalu. Inilah saatnya,
Aku sudah siap dengan waktu ini, kebebasanku!
Kuraih hp, mengusap layarnya, menyentuh
beberapa fungsi tombol pada touch-screen
hp.
“Ketemu di sana?” Ku kirimkan pesan padanya.
Kembali aku melirik jam. Sudah pukul 19:00.
Hpku bergetar, muncul chat di layarnya “Iya,
langsung ketemu di sana aja..” balasnya singkat.
****
Aku sudah terbiasa dengan tempat ini. Tempat aku
dan Tiara selalu menghabiskan waktu,
Baik sekedar mengobrol atau bercerita.
Kebanyakan ia yang berbicara, aku hanya menjadi teman saja untuk mendengar
celotehnya.
Dari jauh sudah bisa kulihat ia hadir di pojok
sana, tempat andalan kami untuk bercengkrama, mengapa daerah pojok? Agar bisa
lebih leluasa berbincang tanpa terganggu oleh orang lain atau riuh tawa
pengunjung di tempat ini.
“Hei, sudah lama tunggu?” Sapaku saat
mendekatinya. Kuraih Hp pada saku, melirik layarnya menunjukan pukul 19:42.
“Tumben cepat datangnya..” Sahutku lagi, saat
melihat ia yang hanya diam.
“Kal, duduk dulu, ada yang mau aku katakan..”
Perintahnya lembut, membuat suasana menjadi canggung.
“Ini ada apaan ya?, kok jadi serius banget
kayaknya..” Balasku aneh.
“Aku juga enggak tahu harus mulai dari mana..”
Sekilas kutangkap ekspresi wajahnya, ia tampak
serius, terdapat juga pilu, namun bukan patah hati, seperti ia telah jauh dari
keberadaannya.
“Oke,.. oke.. ada apa, cerita aja kayak biasa..
hehe” Usahaku untuk memecah waktu aneh ini.
“Iya ya.. jadi canggung rasanya..”
“Iya, ngomong ajakan, kenapa jadi aneh gini..”..
“Kita pesan minum aja kalau gitu..”
“Yehhh.., okelah, aku yang pesankan ya..
minumanmu yang biasa kan?”
Tiara mengangguk, senyum merekah sedikit di
wajahnya.
“Aku sudah enggak mau berharap lagi sama cinta,
Kal..” Ucapnya tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Cinta selalu menyakitkan..”
Aku tercekat, mengapa waktu ini begitu aneh,
mengapa untuk mengatakan hal itu saja harus dibuat waktu canggung ini.
“Terus?”
“Aku juga bodoh selama ini..”
“Hmm?”
Aku makin bingung.
“Aku akan pergi jauh Kal..”
“Kemana emang?”
“Pokoknya jauh dan kita ngga akan bisa
berkomunikasi lagi.. tempatnya sangat jauh..”
Aku makin bingung dengan keadaan ini.
Hanya hening, kuperhatikan wajah dan sorot
matanya baik-baik.
“Kenapa kamu selalu menemaniku selama ini dalam
segala keadaanku?”
Pertanyaan Tiara membuatku terbujur kaku, tidak
ada kata yang bisa aku ucapkan, tenggorokanku seketika kering. Kucoba untuk
membuka mulut, mengeluarkan suara untuk menjawab.
“Karena kita temankan?”
Pengecut!, hanya itu yang bisa aku ungkapkan.
“Teman ya.. apa benar karena itu?”
Ia menatapku, tatapannya begitu dalam seakan
melihat jauh, menerawang kedalam jiwa.
Keringat dingin serasa mengucur di sekujur
tubuh, aku tetap mencoba biasa walaupun kurasakan gejolak aneh yang meledak
dalam diri.
Untuk beberapa saat kami hanya diam. Seolah hanya
kami saja yang ada di sini, tak kami gubris suara lain, saat ini hanya hadir
aku dan dirinya, berhadapan, saling bertatap-tatapan.
“Kenapa menanyakan hal itu?”
Aku mencoba untuk berdalih.
Tiara mengalihkan pandangannya, ia melirik
jauh. Seperti mengisyaratkan keberadaannya saat ini tidak ada, seolah
memberitahukan akan keadaannya nanti, di sana, di ujung pandangannya, suatu
tempat yang tak ia singkapkan padaku.
Ia menggerakan tubuhnya, meraih tas di
sampingnya, mengeluarkan satu kotak kecil.
“Ini.. buat kamu..” Ia menyerahkan kotak
tersebut padaku.
Ku raih, menelitinya dengan seksama,
membolak-balik kotak tersebut.
Sebuah kotak berwarna merah. Segera inginku
mengetahui isinya, saat tanganku bergerak untuk membuka kotak tersebut, Tiara
menahan gerakanku. “Nanti aja bukanya.. kalau sudah enggak di depan aku..”
Suaranya makin lirih.
Aku tidak mengerti kondisi ini, mengapa ia
seperti sangat sedih, mengapa kehadirannya menjadi bergitu jauh bagiku.
“Aku cuman mau bilang.. aku akan pergi jauh dan
kita tidak akan bisa bertemu lagi, bergurau, bercerita juga menghabiskan waktu
bersama..”
“Kenapa enggak kasih tahu kemana kamu pergi?”
“Tempatnya jauh Kal..”
Aku merasakan pilu,
Aku merasa sedih, tidak kuketahui kemana ia
pergi, namun mengapa gejolak dalam hatiku seolah mengisyaratkan bahwa ia akan
hilang dari hadapanku. Tiara takkan aku temui lagi, tidak lagi ada senyum yang
aku nikmati.
“Terima kasih ya, untuk waktu selama ini,
terima kasih, kamu sudah mengisi waktu-waktu aku.. terima kasih juga karena
selalu hadir saat aku butuh.. Maaf juga kalau banyak waktu yang kita habiskan
diisi oleh egoisku.. selalu aku yang banyak bicara.. Terima kasih Kal..”
Air mata mengalir di pipinya.
Ia segera berdiri, menyeka sedihnya.
Menaruh beberapa lembar uang. “Ini untuk
minumannya..” Ia berhenti. Menatapku dengan dalam, segaris senyum sempat ia
lontarkan. Aku hanya bisa terdiam, aku menjadi orang paling bodoh, tubuhku
tidak merespon apa-apa. Aku hanya mematung.
“Terima kasih untuk selama ini.. Selamat
tinggal, kawan terbaikku dan teman berjalanku dilorong waktu, Haikal.. Aku
harap kamu enggak akan melupakanku..”
Tiara berlalu,
Ia pergi, memasuki sebuah mobil yang ternyata
sejak tadi sudah parkir di luar dan menantinya.
Aku tak sempat menahannya, aku terlalu bingung,
aku terlalu linglung untuk mengerti kondisi ini.
Ia sudah berlalu, kurasakan gusar dalam hati.
__
Aku benci dengan keadaan ini,
Aku benci dengan suasana aneh ini.
Sejak tadi aku hanya mematung, dalam
genggamanku kotak merah yang Tiara berikan masih belum terbuka, tanganku
membolak-balik kotak tersebut sambil melamun.
Setelah beberapa saat kuputuskan untuk
membukanya.
Terdapat secarik kertas dalam kotak tersebut,
kuraih dan kubaca.
Teruntuk
Haikal,
Sahabat
dan teman penggelanaku dalam menjelajahi waktu,
Aku
tidak pernah tahu bahwa dunia itu indah, sampai kita menghabiskan banyak waktu
untuk menikmatinya,
Aku
tidak pernah sadar bahwa hidup itu begitu istimewa, sampai engkau mengajari
dengan kata-katamu saat aku terpuruk
Aku
juga tidak bisa mengenal cinta, sampai kau jelaskan artinya memiliki dan
kehilangan
Segala
kata-katamu yang singkat
Tuturmu
yang tidak begitu banyak dalam mengisi waktu kita, aku selalu senang bisa
memiliki waktu bersamamu.
Maaf
kalau aku yang selalu mendominasi pembicaraan,
Maaf
jika kisahku yang banyak aku sampaikan,
Maaf
jika waktumu engkau habiskan hanya untuk menemaniku,
Beberapa
saat yang lalu aku mengetahui bahwa hariku akan tiba sebentar lagi,
Aku
merasa sedih akan hal ini.
Aku
puas bisa mengucapkan selamat tinggal padamu,
Jangan
mencariku, sekali-kali jangan mencobanya, aku hanya bisa mengucapkan terima
kasih saja.
Aku
selalu menikmati waktu yang kita habiskan,
Beberapa
menyebutnya cinta,
Aku
tak percaya cinta karena ia mendatangkan sakit, namun tak bisa aku pungkiri
bahwa kita akan berpisah aku merasa sakit dan pilu akan hal ini.
Aku
buruk dalam menulis surat, yang mau aku sampaikan hanyalah terimakasih dan maaf
atas segala egoku.
Ada
peluit hitam yang aku hadiahkan padamu.
Aku berhenti sejenak, melirik pada kotak yang
ia berikan. Terdapat peluit kecil berwarna hitam.
Simpanlah
itu baik-baik,
Tiuplah
saat engkau merindukanku,
Aku
akan hadir dalam hembusan angin malam, karena malam hari adalah waktu kita,
bukan begitu?
Tulisan tersebut habis.
Perpisahan terburuk yang pernah ada, tulisan
paling egois yang tidak rinci memberitahukan apa maksudnya. Apanya terima
kasih? Apanya maaf?
Sampai akhirpun engkau tidak mengijinkanku
mengetahui hidupmu.
Pernahkah engkau menyadari hadirku, wahai pujangga hati?
Pernahkah engkau gubris akan rasaku, saat perihmu bersama yang lain
engkau bagikan?
Tidak ada kejelasan saat engkau menemuiku,
Tidak ada kepastian saat tulisanmu sampai di tanganku,
Hingga akhirpun aku tetaplah kekosongan yang tidak terisi apapun.
Pernahkah engkau bertanya tentangku?
Pernahkah engkau tahu piluku saat kisahmu adalah insan lain?
Pernahkah engkau bertanya “apakah engkau akan menyakitiku?”
Biarlah aku yang terluka namun tidak denganmu..
Sampai akhir, sampai perpisahan, tetap tidak ku kecap manisnya madu
asmara,
Hingga kehilanganpun tidak aku kenali dasar jiwaku yang aku nikmati
lewat tatapan,
Tidak ada kata yang mampu aku sampaikan untuk ketidakjelasan hal ini,
Hanya selamat tinggal.
*
ada beberapa tulisan yang typo, tapi buat keseluruhan cerita sudah bagus dan akhir cerita juga menarik karena sad ending (saya senang dengan cerita sad ending)
BalasHapussudah diperbaiki, terima kasih atas koreksinya. bisa dibaca juga untuk tulisan lainnya, berikan masukan atau koreksi juga yaa..
HapusThanks.
Seegois itu kah seorang Haikal? Iya, Haikal, bukan Tiara.
BalasHapusPencarian utk memenuhi rasa sepi membuat banyak orang jadi egois. jika poin Tiara sbg orang yg Haikal impikan utk mengisi hidupnya, jika itu yg kau maksud? Iya, Haikal emang egois.
Hapus