Ia mengingat beberapa cuplikan
tua dalam khayalnya. Raka kembali membongkar berkas-berkas usang yang sempat ia
penjarakan dalam sebuah ruangan gelap pada lubuk hatinya.
Kini segel itu telah rusak. Deretan gambar muncul dalam
kepalanya, berkas-berkas ingatan beterbangan mengisi udara sekitarnya, ia sesak
oleh kisah lampau yang merasuk setiap atom oksigen di tempat ini; udaranya
sudah dikontaminasi unsur lain.
Seketika segala rasa dalam dirinya menjadi kacau. Dia, Raka,
seorang yang sudah lama menghilang, empat tahun bukanlah waktu yang singkat
untuk sekedar pergi sejenak.
Sejak tadi ia hanya bisa membeku.
Tatapannya memperhatikan seorang perempuan di ujung sana, yang duduk di bawah
sebuah pohon tua, dimana kursi sederhana menjadi singgasananya. Nuansa alam di
tepi tebing ini menyajikan keindahan yang sungguh menggugah, tapi segala
keindahan itu sirna, semuanya takluk oleh binar kehadiran, bidadari yang
bertengger santai di tahta bawah pohon rindang. Seolah tebing adalah
singgasananya yang menghadap ke arah pemandangan desa, sekilas menyiratkan, ia
ingin menggapai segala hidup yang ada di tempat itu dan menyesapnya hingga
kepalang tak tertahankan, tersedak oleh manisnya kehidupan dan keharmonisan
alam.
Namanya Reyna. Perempuan yang
sejak beberapa saat lalu berhasil mematikan waktu dan antusias Raka saat hadir
di tempat ini.
Raka mencoba mendekat, mencoba
untuk meraih sisi gadis tersebut. Gelombang rasa bergejolak dalam dirinya, ia
terus melangkah, memaksa dirinya untuk menahan tiap getaran kuat yang sudah
lama tak ia rasakan.
“Masih tempat yang sama..” Raka memecah keheningan Reyna,
saat ia tengah asyik bercengkrama dengan dewi alam. Sekilas ia menengok, Reyna
kaget dengan kehadiran tiba-tiba sosok laki-laki di sampingnya.
“I-iya..” Jawabnya terbata, Reyna kembali mencoba untuk
fokus saja pada pemandangan di hadapannya.
“Kamu apa kabar?..” Raka kembali memaksa kata-kata keluar
dari mulutnya, meski kerongkongannya tercekat, ia merasakan seolah
tenggorokannya sangat kering.
“Ehm.. ba-baik..” Hal yang sama sepertinya menimpa Reyna
juga.
“Bagaimana perjalananmu?” Reyna menyambung, sekilas ia
kembali mencoba untuk menangkap sosok Raka di sampingnya.
Raka mengambil posisi duduk, ia memilih tempat kosong yang
tersedia pada kursi panjang sederhana, yang terbuat dari kayu ulin, tergeletak
lama di tempat ini, tempat yang tengah menjadi singgasana Reyna beberapa saat
yang lalu, dengan memberanikan diri, Raka mencoba untuk menduduki tahta
tersebut, mengisi tempat yang kosong. Ia menatap Reyna sekilas.
Badannya dibungkukan, ia mengusap kedua tangannya, beberapa
kali, melihat kedepan, tatapannya menerawang.
“Entahlah Na.. Bagaimana harus aku gambarkan perjalananku”
Raka terkekeh. Ia menoleh sejenak ke arah Reyna, dicobanya untuk menggapai pesona
wajah yang ada di sampingnya sekarang.
“Pasti menyenangkan..” Reyna menjawab datar.
“Sejak kamu pergi...” Ia melanjutkan. Nafasnya tercekat,
seolah tak ada udara di sekitarnya. Raka terdiam, menunggu kata berikutnya.
“Aku selalu di sini... menikmati semuanya sendiri..” Reyna
berhasil menguatkan dirinya. Nafasnya tersenggal-senggal, dadanya terasa sesak.
Angin berhembus. Suara kicauan burung terdengar.
Ranting-ranting pohon dan dedaunannya menari gembira, di
gerakan oleh sang angin.
Tercipta keheningan antara Raka dan Reyna.
Setelah beberapa saat, Raka
kembali mengusap tangannya, ia menelan ludah. Mulutnya bergerak pelan, kembali
kata-kata berat yang ingin ia utarakan.
“Maaf, aku egois saat itu.. aku hanya mementingkan
kebahagiaanku..” Raka mencoba menjelaskan, dengan tatapan terus menatap ke
suatu titik di depan sana.
“Ngga kok, ngga apa-apa, aku bahagia juga kok di sini..”
Balas Reyna cepat, namun suaranya sedikit parau.
Suasana sunyi kembali membanjiri ruang cengkrama keduanya.
“Kamu masih ingat nggak sama kisah yang Ibu Sud pernah
sampaikan, waktu itu kita masih SD” Raka mencoba memecah suasana canggung.
“Kisah Burung Pipit..” Balas Reyna pelan.
“Iya.. itu adalah cerita kesenangan kita, walaupun banyak
cerita lain yang beliau sampaikan..” Raka sedikit antusias, ia coba untuk
mengukir wajahnya dengan sedikit senyuman. Ia menoleh, ditangkapnya sejenak
senyum tipis pada raut Reyna.
Raka menatapnya dalam. Reyna menyadari tatapan itu, ia
membalasnya. Raka kembali mengusap kedua tangannya, suasana menjadi sangat
dingin, ia merasa kepayahan dengan kondisi ini, bukan dirinya, tapi hatinya,
seolah dihajar deru ombak yang tak pasti, merasa gusar walau dalam
ketidakhadiran sedih. Pandangannya kembali Raka arahkan kedepan.
“Tempat ini....” Reyna mencoba berbicara, namun segera di
potong oleh Raka, “Akulah Pipit Pohon
Jambu Air itu Na..”.
Reyna kaget dengan perkataan Raka, ia menanti kata
setelahnya.
“Aku memilih pergi untuk mencari bahagia dan tujuan
hidupku.. aku tinggalkan kekasih dan membujuk cinta, aku meyakinkannya bahwa di
ujung sana adalah kebahagiaanku.. namun, ditengah perjalanan, cinta itu mati..
ia direnggut waktu..” Reyna hanya bisa diam. Rasa terus bergejolak dalam
dirinya. Ia mencoba untuk tenang. Raka kembali melanjutkan kata-katanya, “Saat
di ujung sana aku menemukan mimpiku, aku jadi bertanya tentang apa sebenarnya
tujuan hidupku.. Untuk apa aku meraih hal itu.. Aku mengingatmu Na..” Raka
menoleh ke arah Reyna, yang kini tengah berjuang untuk tidak melepas
butiran-butiran kristal air di wajahnya, beberapa menetes, ia terus mencoba
tegar.
“Reyna, maaf aku menjadi egois waktu itu, aku memimpikan hal
di ujung sana, namun sesungguhnya yang ingin aku nikmati adalah cinta itu
sendiri, bukan cinta yang direnggut waktu, namun yang hidup dalam diri seorang
kekasih.. Maaf kalau aku meninggalkanmu” Raka mencoba untuk meraih Reyna,
mencoba menenangkannya.
Waktu berlalu. Angin berhembus.
Dedaunan bergoyang, burung-burung berkicauan. Alam tetaplah
riang.
Namun, sang waktu tetap hadir dalam kisah perjuangan dalam
kesia-siaan.
Tetaplah, cinta hidup seorang kekasih menjadi juara.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar