Aku
mengenal senyum yang kau selipkan dalam percakapan yang tengah kau lakukan
bersama kawanmu saat ini.
Aku
mengenal gerakan gestur tubuhmu yang sesekali merebahkan diri untuk menanggapi
canda jenaka, aku sangat tahu sikapmu yang menghentakan kaki dan menepukan
tangan dengan keras pada pahamu untuk merespon topik menarik yang kau sangat
suka menyimaknya.
Aku
begitu terpaku pada kehadiranmu di ujung sana, yang dihiasi senyum merekah dan
tawa terbahak, aku menyayangi tingkahmu yang lucu saat larut dalam obrolan
bersama para sahabatmu.
Di ujung
sini aku termanggu, memegang segelas minuman yang aku harap bisa menyegarkan
dahagaku walau sesaat, kemudian aku sadar, alasanku meraih gelas yang kugenggam
saat ini bukanlah untuk melepas haus, tetapi mengalihkan fokusku pada rasa yang
diracik dalam gelas ini dari ketertarikan mata untuk mengagumimu di sisi sana.
“Del! Lo
apa kabar?” Carmel, teman seangkatanku mengajukan tangannya untuk bersalaman—yang
kemudian kusambut disertai senyum, “Sehat lo sekarang?” Senyumnya merekah.
“Iya,
gue sehat-sehat aja..” Balasku.
“Yah,
syukurlah.. lama juga enggak ketemu lo kan..” Carmel memandangiku sejenak untuk
menebarkan hawa keakraban, matanya lalu menangkap sosok lainnya di tempat lain
dalam ruangan ini. Tangannya melambai disertai senyum merekah.
“Gue ke
sana dulu ya..” Pungkasnya, menyudahi waktu bersapa ramah dengan teman lama, ia
meninggalkanku dan menuju ke tempat lain.
Aku
kembali berteman segelas minuman ini, yang baru aku sadari rasanya saat kusesap
sedikit sambil berdiri menunjukan sikap canggung dan menebarkan senyuman pada
tiap orang yang hadir dalam ruangan ini. Engga
ada orang yang bisa gue ajak ngomong akrab apa?
“Masih
belum beres juga lu?” Suara seseorang yang hadir di sampingku tiba-tiba membuat
lamunanku buyar.
“Bang
Riski!” Pekikku langsung mencoba merangkulnya.
“Yaelah,
elu masih gini aja.. sehat lu?” Ia melepaskan rangkulanku. “Lu gendutan tau,
beri gua udara untuk nafas!” Nada ketus yang sudah biasa aku cerna, bahkan saat
berkuliah dulu, ia memang ketus namun tidak dapat aku pungkiri bahwa Bang Riski
adalah senior yang baik dan asik untuk diajak berbincang, kami terbilang sangat
akrab saat di bangku kuliah dulu, waktu itu aku adalah junior yang dua tahun di
bawah angkatannya.
“Apaan
sih lu bang, masih jahat aja sama gue, udah lama enggak ketemu lohh..” Cibirku
sambil cemberut.
“Lebay
lu!” Ia menaikan nada suaranya sambil terkekeh lalu merangkulku. Ku balas
perlakuannya, aku sangat menikmati waktu ini, membuatku kembali bernostalgia
dengan masa kuliah dulu. Saat kami, aku dan bang Riski, juga beberapa temannya
banyak menghabiskan waktu bersama, setidaknya sampai tahun terakhir masa kuliah
bang Riski, dalam tahun Sophomoreku yang berikutnya bang Riski dan
teman-temannya lulus,saat itulah aku merasa kehilangan salah seorang teman
curhat dan berantem yang ternyata sangat berharga bagiku.
“Masih
belum beres juga urusan lu sampai sekarang?” Ia melepaskan rangkulannya dan
meraih segelas minuman sambil menatap ke arah seseorang di sisi sana.
“Urusan
apa sih bang?” Aku mencoba mengelak, namun bang Riski sangat mengenalku, ia
mungkin sangat jelas melihat tingkahku sekarang gelabakan dalam menanggapi
pertanyaan yang ia lontarkan.
“Udah
sih, terus aja gitu.. engga cape lu?” Balas bang Riski ketus.
“Susah
bang, masih belum..” Sedihku dengan tatapan nanar pada sisi seberang.
“Terus?”
“Terus
apa bang?”
“Gini
aja lu? Udah?”
“Iya,
gimana lagi bang? Abang tahu sendirikan gimana ribetnya kami sejak kuliah dulu?”
Suaraku
meninggi, kudekati tubuh bang Riski untuk mendekatkan mulutku pada telinganya.
“Engga
usah dekat-dekat, entar baper lu sama gua” Ia mendorong tubuhku agak menjauh.
“Gue
tunggu di ujung sana ya.. Gue mau nonton” Ia menunjuk sudut ruangan ini, sambil
matanya menatap tajam kearahku, raut wajah yang ia berikan mengembangkan
senyuman khas yang sangat aku kenali dulu, saat ia memberi tanda atau perintah,
instruksi, mengkoreksi—apapun itu! Yang aku mengerti dari senyum dan tingkah
bang Riski saat ini adalah, ia mengisyaratkan bahasa dalam gelagatnya Pergi lu sana! Beresin urusan lu!
Baik! Akan aku selesaikan!
Aku
menaruh gelas yang sejak tadi kugenggam di atas meja.
Kudekati
sosok di ujung sana, sambil diperhatikan oleh bang Riski dari pojok ruangan.
“Hai
bang” Sapaku saat dekat dengan sosok ini.
“Gimana
kabar lu?” Ia menyodorkan tangannya ke arahku. Sebuah basa-basi yang udah basi!
“Baik
bang” Sahutku menyambut tangannya.
“Sama
siapa lu ke sini?”
“Sendiri
bang..”
“Oh, gue
sama cewek gue tuh..” Ia menunjuk pada sisi lain ruangan ini.
“Cie, yang
udah berdua..” Aku mencoba untuk biasa saja, walaupun ada gejolak aneh yang
mengacaukan batin dan konsentrasiku. Come
on! Kuasai dirimu Adela!
“Abang
masih di sekitar sini kerjanya?” Aku bertanya sekenanya saja.
“Iya,
eh, enggak sih, gue baru balik dari kampung.. biasalah ada proyek sedikit” Ia
meneguk minumannya, sambil menatap ke arahku. Dan, aku mati kutu. Kampret! Senyuman itu.
Sejenak
hening tercipta, apakah aku yang terlalu kaku untuk berbicara, atau memang
suasana ini diijinkan kelu untuk melumpuhkan nalar dalam berkomunikasi.
“Lu udah
beda sekarang” Ia mulai berbicara.
“Hah,
beda gimana bang? Biasa aja gue”, Ia meneguk minumannya kembali.
“Enggak,
beda aja penampilanmu, eh elu maksud gue” Senyum itu kembali merekah.
“Lu
engga ada ngomong apa-apa lagi kan sama gua?” Ia menanyakan hal aneh tersebut
padaku, kenapa harus pertanyaan aneh yang
ia ajukan!, Ia melambai pada seseorang di belakangku.
“Gue
kayaknya mau balik nih” Ia melanjutkan,
“Iya
udah bang, gue engga ada ngomong apa-apa lagi kok, cuman nyapa doang kok..”
Aku
kikuk, mati kutu dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sosok
itu berlalu.
Pesta
ini adalah acara pertemuan para alumni yang diadakan oleh fakultas di kampusku
dulu dengan tujuan untuk mempererat hubungan para alumni dan alumnus, yang
walaupun sudah sibuk dengan kegiatan juga pekerjaan profesi masing-masing
tetapi tetap menjalin hubungan persahabatan yang akrab. Kenapa aku harus
bertemu ia lagi di acara seperti ini?
Beberapa
wajah teman lama aku jumpai, kusalami mereka satu persatu dan berbincang
sejenak untuk sekedar menanyakan kabar, dari sudut mataku aku menangkap siluet
yang bergerak meninggalkan ruangan ini. Kulihat dia, sosok yang beberapa saat
lalu berbincang denganku.
Sayang,
ia tidak dapat kutanyai banyak hal.
Sayang,
sifat kikukku muncul pada saat yang tidak tepat.
Sayang,
seribu kali sayang, seseorang telah ia pilih untuk menemaninya.
Sayang
sekali, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, apalah fungsiku
sekarang?
Di hadapannya
aku tidak berbentuk. Aku kaku bagaikan patung.
Aku menjumpaimu
pada pesta keakraban,
Kusukai gelagatmu—walau
kubenci senyum itu
Aku berbicara
denganmu pada bentang waktu untuk cerita lama—bodohnya, tidak sempat kuungkit
masa itu,
Engkau berlalu dari
hadapan,
Siluetmu tertangkap
hanya lewat celah kecil diujung garis mata—tidak ada kata perpisahan saat
engkau beranjak,
Aku kaku dibuai
pilu,
Aku pedih diusik
gelisah,
Aku diam dibungkam
cinta.
Kisahku jenaka—bertemu
cinta dalam sebuah pesta,
Naas, kisahmu
bukanlah aku,
Ironi, kisahku
bukan bagianmu!
Konflik
yang lama berlangsung di antara kami—sosok yang membuatku kikuk itu, ia dan aku
tadinya adalah sepasang kekasih, namun di tengah kisah kami ia memutuskan
pergi.
“Udah
ya, anggap aja semuanya engga pernah terjadi” Ungkapnya padaku pagi itu di
warung tempat kami biasa makan bersama. “Kenapa bang?” Aku menahan tangis kala
itu.
Aku ingat
semuanya. Aku ingat semuanya dan aku terjebak di dalam masa itu—tentang itu
senantiasa terfilmkan dalam ingatan.
“Mungkin
gue terlalu cepat untuk memutuskan ini cinta, maaf ya, kita engga bisa lanjut”
Ia memutuskan hubungan kami.
Sejak
saat itulah hubungan kami benar-benar berubah, aku tidak mengenalnya lagi,
tidak juga aku menjumpai sosoknya dahulu.
Beberapa
saat aku sering hanyut dalam lamunan saat bersama ia dulu, aku hanya mengenal
ia saat aku belum memilikinya, itulah yang membuat aku mengenal setiap
geriknya.
Mengenai
jarak yang tercipta di antara kami?
Itulah
pertanyaan yang setelah aku pikir-pikir bukanlah bentuk tanya, namun sebuah
masalah yang perlu diselesaikan, apa yang salah dengan kami?
Tetapi,
mungkin hanya aku yang menginginkan jawabannya—ia tidak.
Seperti
yang ia ungkapkan, “Kita udahan ya, lupain aja semuanya”.
Mungkin
aku harus mulai beranjak juga dan melupakan saja masa itu walaupun terus ada di
ingatanku.
Aku berjalan
menjauhi obrolan grup yang tengah terjadi dalam ruangan ini.
Di sudut
sana bang Riski menatapku, ia tersenyum dengan gelagat khasnya.
“Sudah?”
“Belum
bang, mungkin memang engga harus diselesaikan dengan bicara”
Aku
mengerti bahwa jawaban yang kucari selama ini bukanlah jawaban darinya, namun
kedewasaanku dalam menerima bahwa aku adalah masa lalunya—sepantasnyalah tidak
begitu aku ungkit, karena hidupku di masa ini.
THE END
Ouhh sangat menyentuh sekali. Membuatku ingin menangis:(
BalasHapusThanks :) .. ditunggu tulisanmu juga yaa ..
BalasHapusPahamkan?
BalasHapusBang, nama blog abang apa bang? Kusudah berusaha mencari tapi tak menemukannya:( hanya Google+ saja itupun gajelas
HapusBlog dia isinya berbahaya, tidak dka bagikan lagi :v
Hapusya sudahlah ya bang..AKu paham
BalasHapusPahamlah haha
HapusMudah banget. "Lupain aja semuanya". Sebegitu mudahnya, ya.
BalasHapusThanks udah mampir yaa :)
Hapus