Rabu, 08 Februari 2017

Perjumpaan



Aku mengenal senyum yang kau selipkan dalam percakapan yang tengah kau lakukan bersama kawanmu saat ini.
Aku mengenal gerakan gestur tubuhmu yang sesekali merebahkan diri untuk menanggapi canda jenaka, aku sangat tahu sikapmu yang menghentakan kaki dan menepukan tangan dengan keras pada pahamu untuk merespon topik menarik yang kau sangat suka menyimaknya.
Aku begitu terpaku pada kehadiranmu di ujung sana, yang dihiasi senyum merekah dan tawa terbahak, aku menyayangi tingkahmu yang lucu saat larut dalam obrolan bersama para sahabatmu.
Di ujung sini aku termanggu, memegang segelas minuman yang aku harap bisa menyegarkan dahagaku walau sesaat, kemudian aku sadar, alasanku meraih gelas yang kugenggam saat ini bukanlah untuk melepas haus, tetapi mengalihkan fokusku pada rasa yang diracik dalam gelas ini dari ketertarikan mata untuk mengagumimu di sisi sana.

“Del! Lo apa kabar?” Carmel, teman seangkatanku mengajukan tangannya untuk bersalaman—yang kemudian kusambut disertai senyum, “Sehat lo sekarang?” Senyumnya merekah.

“Iya, gue sehat-sehat aja..” Balasku.

“Yah, syukurlah.. lama juga enggak ketemu lo kan..” Carmel memandangiku sejenak untuk menebarkan hawa keakraban, matanya lalu menangkap sosok lainnya di tempat lain dalam ruangan ini. Tangannya melambai disertai senyum merekah.

“Gue ke sana dulu ya..” Pungkasnya, menyudahi waktu bersapa ramah dengan teman lama, ia meninggalkanku dan menuju ke tempat lain.

Aku kembali berteman segelas minuman ini, yang baru aku sadari rasanya saat kusesap sedikit sambil berdiri menunjukan sikap canggung dan menebarkan senyuman pada tiap orang yang hadir dalam ruangan ini. Engga ada orang yang bisa gue ajak ngomong akrab apa?

“Masih belum beres juga lu?” Suara seseorang yang hadir di sampingku tiba-tiba membuat lamunanku buyar.

“Bang Riski!” Pekikku langsung mencoba merangkulnya.

“Yaelah, elu masih gini aja.. sehat lu?” Ia melepaskan rangkulanku. “Lu gendutan tau, beri gua udara untuk nafas!” Nada ketus yang sudah biasa aku cerna, bahkan saat berkuliah dulu, ia memang ketus namun tidak dapat aku pungkiri bahwa Bang Riski adalah senior yang baik dan asik untuk diajak berbincang, kami terbilang sangat akrab saat di bangku kuliah dulu, waktu itu aku adalah junior yang dua tahun di bawah angkatannya.

“Apaan sih lu bang, masih jahat aja sama gue, udah lama enggak ketemu lohh..” Cibirku sambil cemberut.

“Lebay lu!” Ia menaikan nada suaranya sambil terkekeh lalu merangkulku. Ku balas perlakuannya, aku sangat menikmati waktu ini, membuatku kembali bernostalgia dengan masa kuliah dulu. Saat kami, aku dan bang Riski, juga beberapa temannya banyak menghabiskan waktu bersama, setidaknya sampai tahun terakhir masa kuliah bang Riski, dalam tahun Sophomoreku yang berikutnya bang Riski dan teman-temannya lulus,saat itulah aku merasa kehilangan salah seorang teman curhat dan berantem yang ternyata sangat berharga bagiku.

“Masih belum beres juga urusan lu sampai sekarang?” Ia melepaskan rangkulannya dan meraih segelas minuman sambil menatap ke arah seseorang di sisi sana.

“Urusan apa sih bang?” Aku mencoba mengelak, namun bang Riski sangat mengenalku, ia mungkin sangat jelas melihat tingkahku sekarang gelabakan dalam menanggapi pertanyaan yang ia lontarkan.

“Udah sih, terus aja gitu.. engga cape lu?” Balas bang Riski ketus.

“Susah bang, masih belum..” Sedihku dengan tatapan nanar pada sisi seberang.

“Terus?”

“Terus apa bang?”

“Gini aja lu? Udah?”

“Iya, gimana lagi bang? Abang tahu sendirikan gimana ribetnya kami sejak kuliah dulu?”
Suaraku meninggi, kudekati tubuh bang Riski untuk mendekatkan mulutku pada telinganya.

“Engga usah dekat-dekat, entar baper lu sama gua” Ia mendorong tubuhku agak menjauh.

“Gue tunggu di ujung sana ya.. Gue mau nonton” Ia menunjuk sudut ruangan ini, sambil matanya menatap tajam kearahku, raut wajah yang ia berikan mengembangkan senyuman khas yang sangat aku kenali dulu, saat ia memberi tanda atau perintah, instruksi, mengkoreksi—apapun itu! Yang aku mengerti dari senyum dan tingkah bang Riski saat ini adalah, ia mengisyaratkan bahasa dalam gelagatnya Pergi lu sana! Beresin urusan lu!

Baik! Akan aku selesaikan!

Aku menaruh gelas yang sejak tadi kugenggam di atas meja.

Kudekati sosok di ujung sana, sambil diperhatikan oleh bang Riski dari pojok ruangan.

“Hai bang” Sapaku saat dekat dengan sosok ini.

“Gimana kabar lu?” Ia menyodorkan tangannya ke arahku. Sebuah basa-basi yang udah basi!

“Baik bang” Sahutku menyambut tangannya.

“Sama siapa lu ke sini?”

“Sendiri bang..”

“Oh, gue sama cewek gue tuh..” Ia menunjuk pada sisi lain ruangan ini.

“Cie, yang udah berdua..” Aku mencoba untuk biasa saja, walaupun ada gejolak aneh yang mengacaukan batin dan konsentrasiku. Come on! Kuasai dirimu Adela!

“Abang masih di sekitar sini kerjanya?” Aku bertanya sekenanya saja.

“Iya, eh, enggak sih, gue baru balik dari kampung.. biasalah ada proyek sedikit” Ia meneguk minumannya, sambil menatap ke arahku. Dan, aku mati kutu. Kampret! Senyuman itu.

Sejenak hening tercipta, apakah aku yang terlalu kaku untuk berbicara, atau memang suasana ini diijinkan kelu untuk melumpuhkan nalar dalam berkomunikasi.

“Lu udah beda sekarang” Ia mulai berbicara.

“Hah, beda gimana bang? Biasa aja gue”, Ia meneguk minumannya kembali.

“Enggak, beda aja penampilanmu, eh elu maksud gue” Senyum itu kembali merekah.

“Lu engga ada ngomong apa-apa lagi kan sama gua?” Ia menanyakan hal aneh tersebut padaku, kenapa harus pertanyaan aneh yang ia ajukan!, Ia melambai pada seseorang di belakangku.

“Gue kayaknya mau balik nih” Ia melanjutkan,

“Iya udah bang, gue engga ada ngomong apa-apa lagi kok, cuman nyapa doang kok..”

Aku kikuk, mati kutu dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sosok itu berlalu.

Pesta ini adalah acara pertemuan para alumni yang diadakan oleh fakultas di kampusku dulu dengan tujuan untuk mempererat hubungan para alumni dan alumnus, yang walaupun sudah sibuk dengan kegiatan juga pekerjaan profesi masing-masing tetapi tetap menjalin hubungan persahabatan yang akrab. Kenapa aku harus bertemu ia lagi di acara seperti ini?
Beberapa wajah teman lama aku jumpai, kusalami mereka satu persatu dan berbincang sejenak untuk sekedar menanyakan kabar, dari sudut mataku aku menangkap siluet yang bergerak meninggalkan ruangan ini. Kulihat dia, sosok yang beberapa saat lalu berbincang denganku.


Sayang, ia tidak dapat kutanyai banyak hal.

Sayang, sifat kikukku muncul pada saat yang tidak tepat.

Sayang, seribu kali sayang, seseorang telah ia pilih untuk menemaninya.

Sayang sekali, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, apalah fungsiku sekarang?

Di hadapannya aku tidak berbentuk. Aku kaku bagaikan patung.


Aku menjumpaimu pada pesta keakraban,
Kusukai gelagatmu—walau kubenci senyum itu
Aku berbicara denganmu pada bentang waktu untuk cerita lama—bodohnya, tidak sempat kuungkit masa itu,

Engkau berlalu dari hadapan,
Siluetmu tertangkap hanya lewat celah kecil diujung garis mata—tidak ada kata perpisahan saat engkau beranjak,
Aku kaku dibuai pilu,
Aku pedih diusik gelisah,
Aku diam dibungkam cinta.

Kisahku jenaka—bertemu cinta dalam sebuah pesta,
Naas, kisahmu bukanlah aku,
Ironi, kisahku bukan bagianmu!

Konflik yang lama berlangsung di antara kami—sosok yang membuatku kikuk itu, ia dan aku tadinya adalah sepasang kekasih, namun di tengah kisah kami ia memutuskan pergi.

“Udah ya, anggap aja semuanya engga pernah terjadi” Ungkapnya padaku pagi itu di warung tempat kami biasa makan bersama. “Kenapa bang?” Aku menahan tangis kala itu.

Aku ingat semuanya. Aku ingat semuanya dan aku terjebak di dalam masa itu—tentang itu senantiasa terfilmkan dalam ingatan.

“Mungkin gue terlalu cepat untuk memutuskan ini cinta, maaf ya, kita engga bisa lanjut” Ia memutuskan hubungan kami.

Sejak saat itulah hubungan kami benar-benar berubah, aku tidak mengenalnya lagi, tidak juga aku menjumpai sosoknya dahulu.

Beberapa saat aku sering hanyut dalam lamunan saat bersama ia dulu, aku hanya mengenal ia saat aku belum memilikinya, itulah yang membuat aku mengenal setiap geriknya.

Mengenai jarak yang tercipta di antara kami?

Itulah pertanyaan yang setelah aku pikir-pikir bukanlah bentuk tanya, namun sebuah masalah yang perlu diselesaikan, apa yang salah dengan kami?

Tetapi, mungkin hanya aku yang menginginkan jawabannya—ia tidak.

Seperti yang ia ungkapkan, “Kita udahan ya, lupain aja semuanya”.

Mungkin aku harus mulai beranjak juga dan melupakan saja masa itu walaupun terus ada di ingatanku.

Aku berjalan menjauhi obrolan grup yang tengah terjadi dalam ruangan ini.

Di sudut sana bang Riski menatapku, ia tersenyum dengan gelagat khasnya.

“Sudah?”

“Belum bang, mungkin memang engga harus diselesaikan dengan bicara”

Aku mengerti bahwa jawaban yang kucari selama ini bukanlah jawaban darinya, namun kedewasaanku dalam menerima bahwa aku adalah masa lalunya—sepantasnyalah tidak begitu aku ungkit, karena hidupku di masa ini.

THE END

9 komentar:

  1. Ouhh sangat menyentuh sekali. Membuatku ingin menangis:(

    BalasHapus
  2. Thanks :) .. ditunggu tulisanmu juga yaa ..

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Bang, nama blog abang apa bang? Kusudah berusaha mencari tapi tak menemukannya:( hanya Google+ saja itupun gajelas

      Hapus
    2. Blog dia isinya berbahaya, tidak dka bagikan lagi :v

      Hapus
  4. Mudah banget. "Lupain aja semuanya". Sebegitu mudahnya, ya.

    BalasHapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H