Jumat, 10 Februari 2017

Faded Song



Mentari bersinar mengawali pagi.
Gelap berlalu, masa cahaya yang bertahta.

Sinar memancar,
Menembus celah  rumah-rumah.

Suara gerakan terdengar dari tiap tempat hunian, rutinitas normal saat cahaya mentari datang, tiap orang akan sibuk menyiapkan diri untuk beragam aktivitas. Dimulai dari merapikan tempat tidur hingga menyiapkan sarapan atau menyeruput minuman hangat demi awali hari. Seperti yang rutin dilakukan oleh beberapa orang.


Fadi

Suara kicau burung dan seberkas kecil cahaya menyusup ke dalam kamar membangunkannya.
Ia segera beranjak, pergi ke kamar mandi.
Awal hari ia lakukan di dapur, menyeduh kopi panas untuk menyegarkan diri dan mendapat konsentrasi kembali.
Diliriknya jam tangan, masih ada belasan menit baginya untuk meneduhkan diri, mengumpulkan pikiran yang sempat hilang saat ia merebahkan diri semalam.
Jendela kamar ia buka untuk menyambut udara segar.
Diraihnya beberapa potongan pakaian kotor yang telah ia kenakan beberapa hari belakangan.
Pakaian-pakaian tersebut ditaruh dalam sebuah keranjang, untuk nanti ia tinggalkan pada tempat laundry.

Setelah selesai dengan kopi dan pakaian kotor yang ia siapkan, segera ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, ia telah siap dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.

Sebuah tas selempang hitam ia kenakan saat meninggalkan rumah. Pakaian kotor yang ia bawa dititipkan pada sebuah tempat laundry yang bertempatan tak jauh dari area rumahnya.

Seorang lelaki muda yang akrab disapa Udin melayaninya.

"..Nanti saya ambil ya, boss" Tuturnya dengan senyum ringan saat menyerahkan pakaian-pakaian kotor tersebut.

"..Beres mas" Balas Udin sambil terus sibuk dengan beberapa cucian yang sudah menumpuk sepagi ini.

"..Sore nanti saya ambil, seperti biasa.." Ia menambahkan, seraya pergi untuk ke kantor.


Dena

Saat jam wakernya berbunyi, ia bangun spontan dan segera membersihkan diri.
Menyiapkan beberapa berkas untuk ia bawa ke tempat kerja. Hasil kerja kerasnya semalam membuahkan hasil berkas-berkas ini yang telah ia susun.
Dengan handuk yang masih dibalut pada rambutnya, ia meraih sebuah semprotan kecil.
Pada bagian jendela kamar dan belakang rumah disiraminya beberapa pot yang berisikan bunga warna-warni.
Ditatapnya dengan seksama bunga-bunga tersebut, diambilnya gunting untuk menata rapi bagian-bagian bunga.

Selesai dengan aktivitas tanaman-tanaman kecilnya, sempat ia lirik sejenak jam dinding pada ruang tamu.
Masih beberapa menit ia miliki sebelum bekerja.
Awal hari yang cerah, rutinitas biasa yang selalu ia kerjakan.
Dena siap dengan hari ini, segala letih dan penat belum meracuninya saat ini.


**


Riuh suara kendaraan, bersahut-sahutan penjual kaki lima memasarkan dagangannya dan terseok-seok para pelakon drama penuai simpati yang menjebak kasih demi ratusan keping uang berjalan menyusuri trotoar dan pinggir jalanan.
Suasana ramai menghidupkan situasi tempat ini, seolah sebuah gendang kuat bagi orang-orang untuk berlomba mengejar dan mencapai target hari ini.

Fadi mengayuh sepedanya untuk berangkat ke kantor, sesekali berhenti untuk mematuhi rambu lalu lintas berupa lampu berwarna merah yang harus ia lewati sebelum mencapai kantor tempat bekerja.
Sepeda sebagai kendaraan baginya untuk pergi ke kantor dibandingkan teman-teman sekerjanya yang lebih suka naik mobil,

"Suka aja naik sepeda, keren juga kan kalau bersepeda.. Dapat bonus sehatnya lagi, itung-itung olahragakan?" Tutur Fadi saat ada yang ingin tahu mengapa ia memilih sepeda sebagai pengantarnya untuk meluncur ke kantor.

"Fadi!" Suara keras menggema parkiran tempat Fadi meletakan sepedanya, seruan sepagi ini sangat memecah keadaan yang masih sepi untuk ukuran sebuah kantor.

"Edin!" Fadi melambaikan tangannya sekilas sambil merapikan posisi sepeda yang ia pakai.

"Selalu pagi ya datangnya.." Edin mendekat, menampilkan senyum ramah pada wajahnya.

"Iyalah, kan harus kerja keras" Fadi balas tersenyum.

"Nanti malam ada acara engga?" Edin menunjukan sebuah foto pada layar ponselnya.

"Apaan tuh?"

"Pestalah, apa lagi? Join ga, Di?"

"Yah, engga begitu suka sama hal begitu sih.."

"Aduhh, kaku amat sih.. Sekali-sekali bersenang-senang engga apa-apalah.."

"Liat nanti aja ya.." Fadi melangkahkan kakinya untuk masuk dalam kantor.

Edin menahan langkah Fadi, "Bentar dong.. Liat dulu baik-baik" Bujuk Edin sambil kembali memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan foto selfie seorang perempuan dengan riasan tipis make up pada wajahnya dan memperlihatkan senyum berseri yang ia siratkan sebagai kesan ramah juga bahagia melalui air mukanya.

"Cantik juga, bolehlah nanti.." Fadi merespon cepat.

"Mau ke toilet dulu nih!" Fadi meninggalkan Edin.

"Haha, sampai nanti kalau begitu.." Edin kembali sibuk menyentuh layar ponselnya.


*
“Biasa?” Senyum merekah seorang pelayan di restoran cepat saji menyambut pelanggan setia yang sudah ia kenali lama ini.

“Biasa, jangan lupa kopinya jangan terlalu pahit” Dena membalas senyuman sambil menyampaikan pesanannya kepada pelayan.

Ia melangkahkan kaki dengan cepat sambil memegang pesanan sarapan yang selalu ia bawa saat ke kantor, melewati beberapa gang saja ia sudah tiba di tempat bekerja.

“Sudah siap hari ini?” Seorang lelaki menyambutnya dengan wajah antusias.

I am crazy about this dude!” Dena meletakan tas dan sarapan pesanannya di atas meja lalu menjumpai lelaki yang menyambutnya.

“Gimana?” Tanya lelaki tersebut antusias.

“Puyeng banget sih.. tapi kelar juga”

“Jangan gugup oke..”

“Jangan gugup” Dena mengulangi kalimat itu mantap.

“Dena, loe bisa!”

“Dena, loe bisa!”

This is your good day! Best day!”

“My best day, this my best time to be the best!” Dena memekik dan merangkul lelaki di hadapannya. Ia biasa melakukan hal ini seperti sebuah rutinitas bersama Loren, seorang sahabat setia yang selalu memotivasinya untuk membangun kepercayaan diri sebelum melakukan hal-hal penting, misalnya, rapat dengan para direksi, mempresentasikan tentang proyek usulan untuk perkembangan perusahaan atau mengajukan solusi banding untuk pemecahan masalah.

Thanks Loren, loe emang yang terbaik!” Dena bersemangat dan kembali ke meja kerjanya lalu mempersiapkan beberapa berkas. Komputer pada meja kerja ia nyalakan dan membuka email untuk mempersiapkan materi presentasi yang sudah ia siapkan hampir semalaman.

*

Fadi menyeruput kopi yang Edin bawakan untuknya sambil menikmati senja pada saat ini,
“Baguskan?” Edin cengengesan memperhatikan raut Fadi yang sejak tadi terus menatap senja.
“Iya, engga buruk juga ini tempat..” Fadi menjawab sambil kembali meletakan gelas kopinya.
“Sesekali emang harus menikmati hiduplah, khusus hari ini senang-senang sedikit engga apa-apalah..”
“Iya”
“Mau jalan sebentar setelah ini? Pesta entar malam udah ditolakkan?”
“Oke, ngikut aja” Fadi tak enak hati menolak lagi, setelah ajakan Edin menyangkut pesta yang ia sampaikan tadi pagi telah mentah-mentah Fadi tolak dengan alasan takut tidak bisa keesokannya kalau ada berpesta.
“Kemana?” Fadi ragu dan mencoba memastikan tujuan mereka berikutnya.
“Ada, tempatnya bagus juga..”
“Oke...” Raut Fadi menampilkan pertimbangan sambil ia kembali meneguk minumannya.
“Tenanglah, sebentar aja ke situ.. cepat pulang kok, kan mau kerja besok” Edin cengengesan saat melihat ekspresi khawatir di wajah teman sekantornya ini.

*

“Loren!” Dena memekik, menghambur ke arah Loren dengan raut wajah puas dan bahagia.

“Yes?” Loren ikut girang namun masih menampakan keraguan.

“Yes!” Dena mengulang mantap.

“OMG! This is... So crazy!” Loren ikut bahagia atas pencapaian kerabatnya saat ini.

“Kita harus rayain ini.. harus banget!” Loren memaksa.

“Gimana?” Dena kebingungan dengan usulan Loren yang memang terkadang aneh dan bersifat tiba-tiba.

“Apa lagi? Makan-makanlah, minum.. berpesta!” Loren bersemangat.

“No.. no, no, Loren did you forget about what happened at our last celebration?” Raut Dena protes.

But, we must celebrate this, come on, Dena!” Suara Loren memekik.

“Oke, kalau memang harus, gue akan ikut kalau tempatnya bisa untuk nenangin pikiran dan damai..”

“Oke, kayak tempat pertapaan?” Loren mencibir.

“Gue lewatin neraka, sekarang gue mau nikmati damai dan bebas dari tugas yang sudah selesai ini..”

Loren menarik nafas. “Gue tahu sih tempat gitu, Ah!” Ia menepuk keras tangannya kemudian mengepalkannya dan melirik ke arah Dena, “Gue tahu harus kemana” Pungkasnya mantap.

**
“Ada tanggapan?” Edin cengengesan melihat Fadi yang hanya bisa bengong terhipnotis oleh suasana tempat ini.
Segera Edin mengarahkan kerabatnya untuk menempati sebuah tempat duduk yang dirancang khusus untuk bermalas-malasan dimabuk maupun terhipnotis eksotisnya pantai. Angin berhembus sesekali membawa hawa kesejukan yang membuat tenang. Seorang pelayan mendekat sambil membawa pesanan makanan dan minuman yang sudah Edin pesan sebelumnya, meletakannya di atas meja dekat tempat Edin dan Fadi menelantarkan diri dalam kepasrahan dibuai rasa relaksasi yang menyatu dengan alam, tiap liuk angin melewati kulit lembut seperti pijatan yang membuat lemas dan ingin tidak beranjak maupun bergerak.

God! Oh, how I love you!” Dena gemas atas temuan Loren yang berhasil membawanya ke tempat ini, sejak awal ia tiba, Dena sudah jatuh hati dan suka dengan suasana tempat ini.

Loren hanya tertawa kecil memperhatikan Dena yang begitu bahagia dan bebas, gelagatnya memperlihatkan berapa kali ia melakukan ritual tarik nafas dan membuangnya secara lepas, Ahh!

“Woi, jangan terlalu gila dengan kebebasan, di sini tempatnya untuk duduk dan menikmati dibuai angin” Loren mengarahkan Dena yang sejak tadi gila dalam dunianya sendiri.

Beberapa makanan dan minuman mereka pesan untuk menikmati waktu di tempat ini.

Dena mabuk dalam dunia lepasnya, Lorenpun hanyut dalam buai suasana tempat ini.

***
Suasana pengunjung di tempat ini tengah mabuk dalam buai suasana yang memikat untuk menikmati penyegaran dan pelepasan diri. Beberapa kali pelayan harus lalu lalang dan bolak balik dalam memenuhi pesanan para pelanggan yang terus meningkat.
Memasuki malam hari, saat senja sudah mengundurkan diri dan mentari tak lagi angkuh dengan sinar jingganya sebagai tanda pisah pada akhir hari.

Sebuah lagu dinyanyikan lembut, mengalir dan melantun dengan semestinya.

Seorang lelaki di sisi sebelah tengah menikmati suasana tempat ini, lalu menegakan badannya, ia berdiri dan terlihat menikmati tiap lirik yang lagu lantunkan di tempat ini.

Di sisi lain seorang wanita terlihat termenung menikmati bagian lirik yang sama juga,

Dalam satu jentikan takdir, saat pria yang berdiri itu menoleh dan wanita yang termenung ia terkesiap oleh siluet yang menatap kearahnya, tatapan mereka bertemu.

Terjadi jeda beberapa saat, senyum merekah pada wajah mereka masing-masing.

“Apa kabar masa lalu?” Batin Fadi.

“Sedang apa di sini?” Dena seolah bicara walau tanpa suara.

Untuk apa engkau hadir lagi?
Demi menjumpaimu ungkapku
Buat apa kau muncul lagi?
Mengulang cerita bukanlah tujuanku—percayalah!
Kau percaya pada kebetulan?
Mungkin takdir yang menuliskan
Apa kabar cahaya purnama?
Masihkah merengkuhmu memampukanku melihat dunia?

Fadi melirik ke arah Edin dan memberi isyarat untuk beranjak pergi.

Dena membuyarkan lamun Loren, “Sudah yuk, udah segar lagi..” Bujuknya dengan senyum.

Tak ada sedih, tidak juga tangis.

Tatapan merekalah yang menjadi pemicu keanehan,

Semua karena lagu, namun tidak sepenuhnya lagu yang salah diputarkan pada tempat ini.
Tidak ada sakit,

Tidak juga hadir penyesalan.

“Padahal lagunya lagi bagus” Gerutu Loren pada Dena.

“Lagunya lagi pas untuk nostalgia” Edin mencibir Fadi.

“Cuma lagu biasa” Ungkap Dena dan Fadi pada saat bersamaan di posisi hadir yang berbeda.

“Lagu lama yang sudah memudar..” Fadi berkomentar.

“Pudarnya bak gula yang larut dalam secangkir kopi, tidak pahit tidak juga manis, netral” Pungkas Dena.

...

6 komentar:

  1. kenapa? kenapa cerita nya gantung? apakah ada kelanjutan cerit ini? mestinya ada. saya perlu tahun apa yang terjadi antara dena dan fadi hmmm

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cuma tulisan brisi cuplikan2 aja sih aku mau coba buat, untuk kelanjutan? Sepertinya tidak ada wwkwk

      Hapus
  2. berhasil bikin saya penasaran cerita selanjutnya..:)

    BalasHapus
  3. Suka. Cerita dari sudut pandang kedua tokoh. Lalu ketemu di satu titik. :)

    BalasHapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H