Mentari bersinar mengawali
pagi.
Gelap berlalu, masa cahaya yang
bertahta.
Sinar memancar,
Menembus celah rumah-rumah.
Suara gerakan terdengar dari
tiap tempat hunian, rutinitas normal saat cahaya mentari datang, tiap orang
akan sibuk menyiapkan diri untuk beragam aktivitas. Dimulai dari merapikan
tempat tidur hingga menyiapkan sarapan atau menyeruput minuman hangat demi
awali hari. Seperti yang rutin dilakukan oleh beberapa orang.
Fadi
Suara kicau
burung dan seberkas kecil cahaya menyusup ke dalam kamar membangunkannya.
Ia segera
beranjak, pergi ke kamar mandi.
Awal hari ia
lakukan di dapur, menyeduh kopi panas untuk menyegarkan diri dan mendapat
konsentrasi kembali.
Diliriknya jam
tangan, masih ada belasan menit baginya untuk meneduhkan diri, mengumpulkan
pikiran yang sempat hilang saat ia merebahkan diri semalam.
Jendela kamar ia
buka untuk menyambut udara segar.
Diraihnya
beberapa potongan pakaian kotor yang telah ia kenakan beberapa hari belakangan.
Pakaian-pakaian
tersebut ditaruh dalam sebuah keranjang, untuk nanti ia tinggalkan pada tempat laundry.
Setelah selesai
dengan kopi dan pakaian kotor yang ia siapkan, segera ia bergegas ke kamar
mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit kemudian,
ia telah siap dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.
Sebuah tas
selempang hitam ia kenakan saat meninggalkan rumah. Pakaian kotor yang ia bawa
dititipkan pada sebuah tempat laundry yang bertempatan tak jauh dari area
rumahnya.
Seorang lelaki
muda yang akrab disapa Udin melayaninya.
"..Nanti
saya ambil ya, boss" Tuturnya dengan senyum ringan saat menyerahkan
pakaian-pakaian kotor tersebut.
"..Beres
mas" Balas Udin sambil terus sibuk dengan beberapa cucian yang sudah
menumpuk sepagi ini.
"..Sore
nanti saya ambil, seperti biasa.." Ia menambahkan, seraya pergi untuk ke
kantor.
Dena
Saat jam wakernya
berbunyi, ia bangun spontan dan segera membersihkan diri.
Menyiapkan beberapa
berkas untuk ia bawa ke tempat kerja. Hasil kerja kerasnya semalam membuahkan
hasil berkas-berkas ini yang telah ia susun.
Dengan handuk
yang masih dibalut pada rambutnya, ia meraih sebuah semprotan kecil.
Pada bagian
jendela kamar dan belakang rumah disiraminya beberapa pot yang berisikan bunga
warna-warni.
Ditatapnya
dengan seksama bunga-bunga tersebut, diambilnya gunting untuk menata rapi
bagian-bagian bunga.
Selesai dengan
aktivitas tanaman-tanaman kecilnya, sempat ia lirik sejenak jam dinding pada
ruang tamu.
Masih beberapa
menit ia miliki sebelum bekerja.
Awal hari yang
cerah, rutinitas biasa yang selalu ia kerjakan.
Dena siap dengan
hari ini, segala letih dan penat belum meracuninya saat ini.
**
Riuh suara
kendaraan, bersahut-sahutan penjual kaki lima memasarkan dagangannya dan
terseok-seok para pelakon drama penuai simpati yang menjebak kasih demi ratusan
keping uang berjalan menyusuri trotoar dan pinggir jalanan.
Suasana ramai menghidupkan situasi
tempat ini, seolah sebuah gendang kuat bagi orang-orang untuk berlomba mengejar
dan mencapai target hari ini.
Fadi mengayuh sepedanya untuk
berangkat ke kantor, sesekali berhenti untuk mematuhi rambu lalu lintas berupa
lampu berwarna merah yang harus ia lewati sebelum mencapai kantor tempat
bekerja.
Sepeda sebagai kendaraan
baginya untuk pergi ke kantor dibandingkan teman-teman sekerjanya yang lebih
suka naik mobil,
"Suka aja naik sepeda,
keren juga kan kalau bersepeda.. Dapat bonus sehatnya lagi, itung-itung
olahragakan?" Tutur Fadi saat ada yang ingin tahu mengapa ia memilih
sepeda sebagai pengantarnya untuk meluncur ke kantor.
"Fadi!" Suara keras
menggema parkiran tempat Fadi meletakan sepedanya, seruan sepagi ini sangat
memecah keadaan yang masih sepi untuk ukuran sebuah kantor.
"Edin!" Fadi
melambaikan tangannya sekilas sambil merapikan posisi sepeda yang ia pakai.
"Selalu pagi ya
datangnya.." Edin mendekat, menampilkan senyum ramah pada wajahnya.
"Iyalah, kan harus kerja
keras" Fadi balas tersenyum.
"Nanti malam ada acara
engga?" Edin menunjukan sebuah foto pada layar ponselnya.
"Apaan tuh?"
"Pestalah, apa lagi? Join
ga, Di?"
"Yah, engga begitu suka
sama hal begitu sih.."
"Aduhh, kaku amat sih..
Sekali-sekali bersenang-senang engga apa-apalah.."
"Liat nanti aja
ya.." Fadi melangkahkan kakinya untuk masuk dalam kantor.
Edin menahan langkah Fadi,
"Bentar dong.. Liat dulu baik-baik" Bujuk Edin sambil kembali
memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan foto selfie seorang
perempuan dengan riasan tipis make up pada wajahnya dan memperlihatkan senyum
berseri yang ia siratkan sebagai kesan ramah juga bahagia melalui air mukanya.
"Cantik juga, bolehlah
nanti.." Fadi merespon cepat.
"Mau ke toilet dulu
nih!" Fadi meninggalkan Edin.
"Haha, sampai nanti kalau
begitu.." Edin kembali sibuk menyentuh layar ponselnya.
*
“Biasa?” Senyum merekah seorang
pelayan di restoran cepat saji menyambut pelanggan setia yang sudah ia kenali
lama ini.
“Biasa, jangan lupa kopinya
jangan terlalu pahit” Dena membalas senyuman sambil menyampaikan pesanannya
kepada pelayan.
Ia melangkahkan kaki dengan cepat
sambil memegang pesanan sarapan yang selalu ia bawa saat ke kantor, melewati
beberapa gang saja ia sudah tiba di tempat bekerja.
“Sudah siap hari ini?” Seorang
lelaki menyambutnya dengan wajah antusias.
“I am crazy about this dude!” Dena meletakan tas dan sarapan
pesanannya di atas meja lalu menjumpai lelaki yang menyambutnya.
“Gimana?” Tanya lelaki tersebut
antusias.
“Puyeng banget sih.. tapi kelar
juga”
“Jangan gugup oke..”
“Jangan gugup” Dena mengulangi
kalimat itu mantap.
“Dena, loe bisa!”
“Dena, loe bisa!”
“This is your good day! Best day!”
“My
best day, this my best time to be the best!” Dena memekik dan merangkul lelaki di hadapannya. Ia biasa
melakukan hal ini seperti sebuah rutinitas bersama Loren, seorang sahabat setia
yang selalu memotivasinya untuk membangun kepercayaan diri sebelum melakukan
hal-hal penting, misalnya, rapat dengan para direksi, mempresentasikan tentang
proyek usulan untuk perkembangan perusahaan atau mengajukan solusi banding
untuk pemecahan masalah.
“Thanks Loren, loe emang yang terbaik!” Dena bersemangat dan kembali
ke meja kerjanya lalu mempersiapkan beberapa berkas. Komputer pada meja kerja
ia nyalakan dan membuka email untuk mempersiapkan materi presentasi yang sudah
ia siapkan hampir semalaman.
*
Fadi menyeruput kopi yang Edin
bawakan untuknya sambil menikmati senja pada saat ini,
“Baguskan?”
Edin cengengesan memperhatikan raut Fadi yang sejak tadi terus menatap senja.
“Iya,
engga buruk juga ini tempat..” Fadi menjawab sambil kembali meletakan gelas
kopinya.
“Sesekali
emang harus menikmati hiduplah, khusus hari ini senang-senang sedikit engga
apa-apalah..”
“Iya”
“Mau
jalan sebentar setelah ini? Pesta entar malam udah ditolakkan?”
“Oke,
ngikut aja” Fadi tak enak hati menolak lagi, setelah ajakan Edin menyangkut
pesta yang ia sampaikan tadi pagi telah mentah-mentah Fadi tolak dengan alasan
takut tidak bisa keesokannya kalau ada berpesta.
“Kemana?”
Fadi ragu dan mencoba memastikan tujuan mereka berikutnya.
“Ada,
tempatnya bagus juga..”
“Oke...”
Raut Fadi menampilkan pertimbangan sambil ia kembali meneguk minumannya.
“Tenanglah,
sebentar aja ke situ.. cepat pulang kok, kan mau kerja besok” Edin cengengesan
saat melihat ekspresi khawatir di wajah teman sekantornya ini.
*
“Loren!” Dena memekik, menghambur
ke arah Loren dengan raut wajah puas dan bahagia.
“Yes?” Loren ikut girang namun
masih menampakan keraguan.
“Yes!” Dena mengulang mantap.
“OMG! This is... So crazy!” Loren ikut bahagia atas pencapaian kerabatnya
saat ini.
“Kita harus rayain ini.. harus
banget!” Loren memaksa.
“Gimana?” Dena kebingungan dengan
usulan Loren yang memang terkadang aneh dan bersifat tiba-tiba.
“Apa lagi? Makan-makanlah,
minum.. berpesta!” Loren bersemangat.
“No.. no, no, Loren did you forget about what happened at our
last celebration?” Raut Dena protes.
“But, we must celebrate this, come on, Dena!” Suara Loren memekik.
“Oke, kalau memang harus, gue
akan ikut kalau tempatnya bisa untuk nenangin pikiran dan damai..”
“Oke, kayak tempat pertapaan?”
Loren mencibir.
“Gue lewatin neraka, sekarang gue
mau nikmati damai dan bebas dari tugas yang sudah selesai ini..”
Loren menarik nafas. “Gue tahu
sih tempat gitu, Ah!” Ia menepuk keras tangannya kemudian mengepalkannya dan
melirik ke arah Dena, “Gue tahu harus kemana” Pungkasnya mantap.
**
“Ada
tanggapan?” Edin cengengesan melihat Fadi yang hanya bisa bengong terhipnotis
oleh suasana tempat ini.
Segera
Edin mengarahkan kerabatnya untuk menempati sebuah tempat duduk yang dirancang
khusus untuk bermalas-malasan dimabuk maupun terhipnotis eksotisnya pantai.
Angin berhembus sesekali membawa hawa kesejukan yang membuat tenang. Seorang
pelayan mendekat sambil membawa pesanan makanan dan minuman yang sudah Edin
pesan sebelumnya, meletakannya di atas meja dekat tempat Edin dan Fadi
menelantarkan diri dalam kepasrahan dibuai rasa relaksasi yang menyatu dengan
alam, tiap liuk angin melewati kulit lembut seperti pijatan yang membuat lemas
dan ingin tidak beranjak maupun bergerak.
“God! Oh, how I love you!” Dena gemas atas temuan Loren yang
berhasil membawanya ke tempat ini, sejak awal ia tiba, Dena sudah jatuh hati
dan suka dengan suasana tempat ini.
Loren hanya tertawa kecil
memperhatikan Dena yang begitu bahagia dan bebas, gelagatnya memperlihatkan
berapa kali ia melakukan ritual tarik nafas dan membuangnya secara lepas, Ahh!
“Woi, jangan terlalu gila dengan
kebebasan, di sini tempatnya untuk duduk dan menikmati dibuai angin” Loren mengarahkan
Dena yang sejak tadi gila dalam dunianya sendiri.
Beberapa makanan dan minuman
mereka pesan untuk menikmati waktu di tempat ini.
Dena mabuk dalam dunia lepasnya,
Lorenpun hanyut dalam buai suasana tempat ini.
***
Suasana
pengunjung di tempat ini tengah mabuk dalam buai suasana yang memikat untuk
menikmati penyegaran dan pelepasan diri. Beberapa kali pelayan harus lalu
lalang dan bolak balik dalam memenuhi pesanan para pelanggan yang terus
meningkat.
Memasuki
malam hari, saat senja sudah mengundurkan diri dan mentari tak lagi angkuh
dengan sinar jingganya sebagai tanda pisah pada akhir hari.
Sebuah
lagu dinyanyikan lembut, mengalir dan melantun dengan semestinya.
Seorang
lelaki di sisi sebelah tengah menikmati suasana tempat ini, lalu menegakan
badannya, ia berdiri dan terlihat menikmati tiap lirik yang lagu lantunkan di
tempat ini.
Di
sisi lain seorang wanita terlihat termenung menikmati bagian lirik yang sama
juga,
Dalam
satu jentikan takdir, saat pria yang berdiri itu menoleh dan wanita yang
termenung ia terkesiap oleh siluet yang menatap kearahnya, tatapan mereka
bertemu.
Terjadi
jeda beberapa saat, senyum merekah pada wajah mereka masing-masing.
“Apa
kabar masa lalu?” Batin Fadi.
“Sedang
apa di sini?” Dena seolah bicara walau tanpa suara.
Untuk apa engkau
hadir lagi?
Demi menjumpaimu
ungkapku
Buat apa kau muncul
lagi?
Mengulang cerita
bukanlah tujuanku—percayalah!
Kau percaya pada
kebetulan?
Mungkin takdir yang
menuliskan
Apa kabar cahaya
purnama?
Masihkah merengkuhmu
memampukanku melihat dunia?
Fadi
melirik ke arah Edin dan memberi isyarat untuk beranjak pergi.
Dena
membuyarkan lamun Loren, “Sudah yuk, udah segar lagi..” Bujuknya dengan senyum.
Tak
ada sedih, tidak juga tangis.
Tatapan
merekalah yang menjadi pemicu keanehan,
Semua
karena lagu, namun tidak sepenuhnya lagu yang salah diputarkan pada tempat ini.
Tidak
ada sakit,
Tidak
juga hadir penyesalan.
“Padahal
lagunya lagi bagus” Gerutu Loren pada Dena.
“Lagunya
lagi pas untuk nostalgia” Edin mencibir Fadi.
“Cuma
lagu biasa” Ungkap Dena dan Fadi pada saat bersamaan di posisi hadir yang
berbeda.
“Lagu
lama yang sudah memudar..” Fadi berkomentar.
“Pudarnya
bak gula yang larut dalam secangkir kopi, tidak pahit tidak juga manis, netral”
Pungkas Dena.
...
kenapa? kenapa cerita nya gantung? apakah ada kelanjutan cerit ini? mestinya ada. saya perlu tahun apa yang terjadi antara dena dan fadi hmmm
BalasHapusCuma tulisan brisi cuplikan2 aja sih aku mau coba buat, untuk kelanjutan? Sepertinya tidak ada wwkwk
Hapusberhasil bikin saya penasaran cerita selanjutnya..:)
BalasHapusThanks udah mampir utk membaca :)
HapusSuka. Cerita dari sudut pandang kedua tokoh. Lalu ketemu di satu titik. :)
BalasHapusThanks sudah baca :)
Hapus