Senin, 12 Desember 2016

Kisah Burung Pipit

(Source : http://nzbirdsonline.org.nz/sites/all/files/1200599IMG_4291.JPG)
*


Adalah sebuah kisah tentang dua ekor burung pipit yang bersahabat. Mereka mulai mengenal sejak hari awal menetas, letak sarang induk keduanya berdampingan; yang satu terletak di ranting pohon langsat, satunya lagi di pohon jambu air, dekat sebuah rumah sederhana. Kedua pohon langsat dan jambu air tersebut tumbuh bersamping-sampingan, hanya berjarak satu decit suara; saat bayi pipit di pohon langsat berdecit, bayi pipit di pohon jambu dapat mendengarnya lalu kemudian ikut berdecit juga. Begitulah awal dari persahabatan mereka yang dikomunikasikan lewat decit pertama saat mereka menetas.

Beberapa waktu lamanya, keduanya tumbuh besar, sering menyanyi bersama untuk memulai hari dan menghibur sang mentari. Tarian angin di sekitar pohon jambu air dan langsat tersebut menjadi hiburan dan sorak riang keduanya.
Suatu hari burung pipit yang menetas di pohon jambu air tengah merenung di puncak pohon, ia termenung pada pucuknya. Pandangannya menatap jauh, terawangnya ke suatu tempat yang luas, kemudian melahirkan baginya sebuah penglihatan, matanya berbinar, ia memicingkan matanya, mencoba untuk menjangkau titik jauh tersebut dengan harapan dapat memuaskan matanya, agar hasrat penasarannya sirna oleh pemandangan akan kebebasan dan harapan besar. Mimpi tercipta dalam dirinya.

Setiap sore hari sang Burung Pipit Pohon jambu Air selalu menghabiskan waktunya untuk termenung dan menyaksikan titik jauh tersebut, sang waktu menumbuhkan mimpi dan ambisinya dari hari ke hari semakin besar, hingga suatu sore ia merasa tempat tersebut harus ia capai.

“Kawan, apa yang engkau gusarkan?” Decit Pipit Pohon Langsat yang tiba-tiba hadir di belakangnya. lamunan Pipit Pohon Jambu Air buyar.

“Ah, kawanku.. aku sedang menikmati mimpi” Balasnya kembali menatap ke ujung sana, hasrat jiwanya seakan meraih titik tersebut.

“Mimpi apakah itu.. sampaikanlah pada kawanmu ini..” Pipit Pohon Langsat penasaran.

“Angan yang besar, kawanku.. letaknya di ujung sana” Pipit Pohon Jambu Air menunjuk ke arah pandangannya.

Ia menjelaskan kepada kawannya tentang mimpi dan kebebasan yang ia percaya terdapat di ujung titik sana. Mendengar tentang tempat yang baik dan harapan akan hidup yang bebas di tempat itu membuat Pipit Pohon Langsat ikut tergugah lalu memimpikan hal yang sama.

**
Suatu pagi keduanya memutuskan untuk pergi, mereka memutuskan untuk menjejaki kehidupan dewasa, pergi dari kedua orang tua kemudian memulai langkah baru di tempat yang penuh dengan kebebasan serta harapan.

“Pagi hari adalah waktu yang tepat, kawanku.. kita akan tiba di ujung sana pada sore hari..” Semangat Pipit Pohon Jambu Air semakin menggebu-gebu meyakinkan kawannya, Pipit Pohon Langsat, sebelum keberangkatan.
 **

Keduanya gembira dalam perjalanan, setengah hari tengah mereka lewati, keduanya begitu berseri dan penuh antusias, sebuah nyanyian mereka ciptakan dalam perjalanan, mulai dari pagi hingga tengah hari, nyanyian yang sama yang mereka kumandangkan untuk mengabarkan tempat terindah dan harapan akan hidup yang besar yang sudah menanti di ujung sana, tepat di akhir hari ini.
Saat keduanya tengah asyik mengumandangkan lagu yang mereka ciptakan, sebuah bayangan hitam hinggap pada Pipit Pohon Langsat, Dor!
Suara tersebut menyentak Pipit Pohon Langsat. Seluruh pepohonan dan ranting-rantingnya bergeming.

Seketika nyanyiannya terhenti, suara kilatan mengheningkan seluruh tempat itu.
Tubuh Pipit Pohon Langsat kaku, darah mengalir. Ia terjatuh dari ranting pohon tempat ia berpijak.
Jatuh ke semak-semak. Jantung Pipit Pohon Jambu Air seakan berhenti melihat kawannya, darah seakan mengalir deras dalam dirinya, ia terbang ke bawah, mencoba untuk meraih kawannya. Saat sampai di dalam rimba semak tersebut, matanya melihat kesana-kemari, ia mencoba untuk menemukan kawannya.

Di tepi sana, samar-samar ia melihat sosok hitam yang tergeletak diantara ranting semak-semak.
Kawannya terbujur kaku, tidak ada tanda kehidupan, tidak ada decit. Pipit Pohon Jambu Air mematung, menyaksikan kawannya.

Seketika terdengar suara manusia yang menyibak semak-semak tersebut, semakin dekat, hingga berhasil menemukannya. Pipit Pohon Jambu Air panik, ia gelisah saat tangan manusia meraih jasad kawannya, ingin ia merebutnya namun hal tersebut tidak mungkin.

Ia mematung, panik menguasai dirinya, darahnya seakan bergejolak seperti angin ribut dalam dirinya. Ia terbang ke atas pohon dekat semak tersebut, bersembunyi dalam kerumunan ranting, melihat kawannya yang dimasukan manusia dalam sebuah tempat yang tidak ia kenali namanya.
Pilu, sedih, amarah dan ketakutan; semuanya menguasai dirinya.
Manusia tersebut berlalu,
Pipit pohon jambu air terus mematung, ia berkabung atas kawannya.
Kesedihan luar biasa mengisi kehilangan jiwanya.

Oh.. Kawanku!,
Kawan Pohon Langsat,
Kawan masa kecil, teman jiwaku..
Kawan seperjalanan!

Mengapa takdir begitu kejam!
Mengapa waktu begitu egois!
Mengapa mereka merenggut senyum dan nyanyianmu..
Tidak ada lagi nyanyian atas hariku,
Tidak akan ada sapa untuk pagiku,
Oh.. kawan seperjalananku,
Kiranya angin yang menuntun jiwamu..


Hanya pilu yang menjadi teman petualangannya.
Sempat terpikir olehnya untuk kembali dan menghentikan perjalanan, namun, ia teringat bahwa mimpi kawannya pun untuk melihat tempat impian mereka di ujung sana, sebentar lagi, hanya berjarak setengah hari. Sepanjang perjalanan ia bercerita kepada alam tentang kawannya, tentang kehilangannya di tengah perjuangan mencapai angan.

Setengah hari yang berat telah berlalu, Sang Pipit berhasil mencapai titik ujung tersebut, terbangnya berhenti pada suatu pohon.

Ia melihat sebuah sungai, deretan pepohonan yang berbuah lebah, tanah yang lembab menandakan kesuburan, tempat ini terletak di dekat sebuah ladang yang sepertinya telah di tinggalkan pemiliknya, hanya menyisakan bekas gubuk yang sudah usang.

“Di tempat ini..” Batinnya berbisik, ia memilih sebuah pohon besar, pada salah satu rantingnya ia membangun sarang.

***

Tempat yang sangat indah dan berlimpah akan pesona dewi alam.
Buah-buahan dapat ia kecap, rasa manis madu ia nikmati, dari bunganya,
Tanah lembab yang menyediakan banyak cacing untuk kebutuhannya,
Kesegaran air sungai dapat ia sesap untuk menghilangkan dahaganya,
Kebutuhannya terpenuhi di tempat ini,

Beberapa waktu ia alami, beberapa masa ia lewati,
Tetaplah sepi menggerogoti jiwanya,
Beberapa kejadian berlalu, sekumpulan burung pipit lainnya mulai hadir di tempat ini.
Mereka selalu ramah menyapanya, kondisi hidup yang sangat damai.

“Panggil aku Si Pipit Pohon Jambu Air..” Haturnya pada setiap kerabat baru yang ia temui atau ia sambut. Merekapun mengenal ia sebagai Si Pipit Pohon Jambu Air, sesuai permintaanya.
Suatu hari, Si Pipit Pohon Jambu Air tengah termenung, ia menatap dari tempatnya, beberapa bayi baru menetas, beberapa anak burung pipit tengah belajar untuk terbang, yang lainnya bermain.
Ia kembali ditikam pilu, pikirannya kembali mengingat kawannya, Sang Pipit Pohon Langsat.

Apakah gunanya tempat ini kawan?
Bukankah ini surga kita, namun mengapa tak kudapati kebahagiaan?
Mengapa pilu yang aku kecap tiap waktu,
Beritahu aku kawan, apa artinya hidup.
Ajari aku untuk menikmati tempat ini,
Apakah kematian itu baik?
Aku penasaran mengapa engkau memilih menghampirinya pada waktu itu.
Kawan, sampaikanlah padaku tentangmu,
Sampaikan beritamu saat ini,
Berceritalah padaku..
Sebab aku kesepian di sini...
Kawan, dengarkah engkau?
Kawanku!, Si Pipit Pohon Langsat.

Pada pagi hari yang cerah, dimana riak air sungai mengisi suasana hari.
Tempat tersebut di gemparkan oleh menghilangnya Si Pipit Pohon Jambu Air.
Beberapa pipit lain mengatakan mereka sempat melihatnya pergi ke sebuah pohon besar pada hutan sebelah, ia pergi sendiri. Keadaan menjadi jelas saat berita sampai di tempat itu, Sang Pipit Pohon Jambu Air telah menyerahkan dirinya kepada seekor ular yang diam di hutan sebelah. Hidup tidak mungkin tetap hadir dalam dirinya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H