Di
pagi yang dingin. Embun membasahi tempat ini, yang aku lakukan adalah berjuang.
Ya, berjuang untuk melawan tarikan kuat gravitasi tempat tidur. Segera jendela
kamar kubuka. Tiap jendela di sudut bagian rumah ini ku jangkau, menyambut
udara segar pagi hari. Kemudian pintu depan dibuka, aku disambut oleh serbuan
angin dingin berhembus, lebih tepatnya disebut embun pagi. Pemandangan putih
mengepul, mulai dari jalan depan rumah hingga lingkungan sekitar diselimuti
kabut; kemanapun mata terarah, tetap, yang dijangkau hanyalah pemandangan putih
yang samar-samar menyembunyikan area sekitar. Embun tebal.
Kondisi
yang sama saat lima tahun lalu masih di sini.
Suasana
desa yang cukup familiar bagiku.
...
Untuk
mengawali pagi, aku harus bersih-bersih sekitar rumah, mulai dari menyapu,
mengelap beberapa perabotan dan membersihkan sudut-sudut rumah hingga mengepel
lantai. Kegiatan yang normal untuk hidup di kampung seperti ini, tidak seperti
di kota--tidak bermaksud menyinggung atau anti post-modern, tapi mengawali pagi bersama notifikasi grup yang
bertumpuk dan menggetarkan hp setiap saat, bagiku lebih baik jika pagi diawali
dengan menyapu saja, untukku.. ini lebih normal dibanding kesibukan menyentuh layar
gadget demi merespon tiap notifikasi
masuk atau sekedar memeriksa. Kembali, sibuk seperti ini sangat normal bagiku.
Dalam
suasana pagi yang dingin; keadaan yang selalu aku rindukan saat jauh di kota
beberapa saat yang lalu, aku termenung sejenak, mengingat beberapa waktu lalu
dalam benak, sementara mengistirahatkan penat.
Relaks
sebentar, berlibur sementara setelah bekerja keras mengitari segala sudut rumah
demi kegiatan bersih-bersih, ilusi dan hipnotis melamun merasuk pikiranku. Daya
tariknya yang memikat seperti membius otak untuk stagnan dalam kondisi ngambang
berhasil menghentikan tiap gerakanku. Segala kegiatan berhenti keseluruhan,
mungkin hanya jantung saja yang terus berdetak, juga nadi, jangan lupakan nadi,
emm... juga beberapa teman si nadi lainnya. Intinya jika saat ini ada yang
memperhatikanku, aku dalam kondisi diam dengan tatapan menerawang dalam
ketidakjelasan.
Sempat
beberapa detik, lamun membawaku jauh dalam khayal, yang akupun tidak tahu
kemana arahnya; khayalan kosong. Mungkin ini yang disebut ‘dongo’ , suatu kondisi dimana otak bergerak bebas bersama alam
khayal, pemandangan kosong, namun ada ketenangan yang dirasakan dalam jiwa,
percayalah kawan, hal ini sangat baik untuk dinikmati, namun jangan terlalu
sering karena bisa menimbulkan kebodohan juga memperlambat fungsi otak dalam
menanggapi sesuatu.
Lamunanku
buyar oleh sentak gigitan kecil pada lengan kananku. Nyamuk. Lingkungan desa
memang menenangkan, namun, jangan lupakan bahwa hutan sangat dekat dengan
pemukiman di sini, jadi jangan heran jika akan banyak nyamuk yang merajalela
untuk menerobos kedalam rumah dan mencari darah manusia. Lagi, ini merupakan hal
yang normal.
Selesai
dengan melamun, aku meraih laptop yang telah kusiapkan saat kepulangan ke
tempat ini. Saat itu, pikirku akan menulis beberapa hal dalam liburan kali ini—mungkin
lebih enak jika disebut hilang sejenak dari kesibukan dan fokus. Hilang dari
jangkauan jaringan 4G, absen dari pemikiran akan skripsi dan bebas dari penat
asap polusi ibukota. Namun, hanya untuk sejenak.
Dalam
kesempatan ini, aku ingin menuliskannya sebagai pengingat, suatu tanda bahwa
aku pernah di sini beberapa saat yang lalu. Agar saat aku kembali membaca
tulisan ini, aku akan ingat suasana damai di kala ini—di tengah kepungan embun
dan perangkap dingin angin pagi, aku menulis. Aku menyisipkan ingatan dan momentku dalam tulisan, agar situasi ini
tak sirna. Supaya aku mengingatnya kelak.
Salam
dari masa ini.
(Berhadapan dengan meja kosong memangku laptop,
ditemani udara dingin dan kursi plastik)
Jantung berdetak, tapi nadi berdenyut, bukan berdetak.
BalasHapusCukup mengingatkan saya pada tetesan embun pagi hari dari daun pohon pekarangan rumah di kampung halaman.
Thanks untuk koreksinya, mbak D..
HapusYang dari responnya sudah bisa ditebak, siapa orang di balik inisial D ini.. :)