Jumat, 03 Februari 2017

The Unknown : Bentangan Rantai dan Jurang Cahaya








*
Cahayamu adalah kilau buta yang menyesatkan dalam keberadaan,
Rantaiku gemetar menekuni jalur yang kau tempuh,
Dalam peluh dan dera tapakku diasah oleh duka

Engkaulah tebing akhir tempatku beradu,
Mengenalmu membuatku kalap dan tak tentu arah,

Kehilanganmu mengembalikan keberadaan,
Melepasmu adalah akhir—sebuah coretan penghabisan kisah bahagia,
Luka dan benci kau torehkan pada nuansa asmara,
Engkau,
Penjarah dan penyesat jiwa.

**
            “Kenapa? Ada apa lagi?” Dage menatap dongkol pada lelaki yang sekonyong-konyong datang—yang sekarang menempatkan dirinya diujung tempat tidur ini. Wajahnya kusut, tatapnya pilu dan keadaannya seperti terluka—bukan karena pertempuran, hanya perasaan saja yang bergejolak, meledak dan menghambur berkeping-keping. Dage paham betul kondisi ini. Ia meraih sebotol minuman, menenggaknya untuk melepas dahaga juga berharap bisa mengusir kantuk yang tadi telah ia penuhi dengan mimpi, sebelum akhirnya dikacaukan lelaki pengganggu di sampingnya saat ini.
Beberapa saat yang lalu,
__
Dage yang sibuk dengan game online pada layar komputernya merasa kelelahan, ia mulai bosan dengan apa yang ia lakukan. Liriknya pada jam sejenak menampilkan angka 5, ia mengintip sedikit pada celah jendelanya, keadaan sekitar masih gelap. Berarti masih subuh, sebentar lagi pagi. Batinnya. “Ada baiknya tidur dulu..” Saran Dage pada diri sendiri.
Baru beberapa menit ia memejamkan mata, juga berusaha menikmati ilusi mimpi, gedoran keras pada pintu kamar indekosnya membuat ia kembali terjaga.
Ketokan pada pintu kosnya makin menjadi saat berusaha Dage abaikan, dengan pasrah ia menuruti keingin seorang di luar sana—Ia membuka pintu. Dilihatnya sosok lelaki dengan wajah kusut dan nafas naik turun. Sepertinya ia berlari menuju tempat ini.
__
“Aku sudah tidak bersamanya lagi..” Suara itu bergetar. “Maksudnya?, gimana tadi?” Dage ragu dan meminta pria tersebut mengulangi perkataannya barusan. “Gue udah putus bego!” Ulangnya lagi dengan menaikan volume suara. “Weh! Sabar bro Pasdi..” Sergah Dage seraya menepuk bahu Pasdi. Sepertinya rasa kantuk tidak menguasainya lagi.

“K-kok bisa bro?” Dage kembali bertanya.

“Gak tau, gak ngerti juga..” Pasdi menjawab ketus. Ia menelan ludah, getir.
Kembali ia mencoba membuka mulutnya untuk menyampaikan kata.
“Mungkin udah bosan kali.. Yah, ga tau juga.. mungkin aja..” Pasdi meringkukan badan, menegakan kembali tubuhnya, kedua tangannya meremas-remas rambutnya. Ia berdiri dan mondar-mandir di hadapan Dage.
Dage hanya bisa diam untuk sejenak, sesekali menenggak minuman yang ada di tangannya.
“Kenapa bisa putus?” Dage berusaha memulai percakapan.
“Tadi kau sudah tanyakan, dan jawabku tidak tahu.... dan.....” Jawaban Pasdi meragu, ia kembali duduk di samping Dage, lalu terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Apa mungkin karena itu?..” Lanjutnya.
“Itu apa?” Dage bingung.
“Setelah pertempuran terakhir, Sophie menunjukan sikap yang aneh..”
“Aneh bagaimana? Maksudnya gimana sih? Jangan sepenggal-sepenggal dong ngomongnya..”
“Saat beberapa orang menghilang kala itu, ia mulai menunjukan sikap-sikap yang berbeda..”
“Yah, kalau hal itu sih sudah jelas bro.. Coba kau jelaskan, bagaimana bisa seseorang seperti Sophie tidak akan bersedih saat kehilangan teman-teman seperjuangannya?” Dage mencoba mengarahkan pengertian kepada Pasdi.
“Benar juga..” Pasdi kembali berpikir, tangannya merogoh saku celana lalu mengeluarkan smartphone miliknya. Tangannya menyentuh layar hp, menggeser fungsi menu pada aplikasi hp beberapa kali, lalu menekan fungsi pesan, matanya mengarah pada sebuah pesan yang ia terima beberapa saat lalu.
“Pesan dari Sophie?” Tanya Dage tiba-tiba.
“Iya..” Pasdi menjawab sekenanya.
“Putusnya lewat sms?”
“Iya, dia bilang untuk break dan engga mau bicara lagi..”
“Sudah kau coba hubungi?”
“Sudah, tapi dia engga mau angkat teleponku, juga sms tidak dibalas..”
“Penyebabnya engga tahu kenapa?”
“Engga, makanya aku kesini untuk minta pendapatmu, aku harus bagaimana?”
Dage manggut-manggut. Tangan kirinya memegang dagu menunjukan gelagat akan memberi solusi yang tepat.
“Kenapa engga coba temui dia aja?” Saran Dage dengan mantap.
Pasdi menatap Dage sejenak, pandangannya kembali ke depan.
“Benar juga saranmu, tapi bagaimana aku bisa menemukannya?” Pasdi ragu.
“Dia kemana kalau lagi sedih atau ingin menyendiri?” Balas Dage.
Pasdi melirik Dage sejenak, ia kembali seperti memikirkan sesuatu. Ia berdiri, lalu keluar dari tempat itu tanpa pamit atau berkata-kata.

__
Sebuah gedung tua dengan beberapa bagian yang sudah mulai retak dan hancur oleh waktu. Bekas bakaran serta hantaman bebatuan kasar menjadi corak yang khas di tempat ini. Jendela-jendela dilalui angin merajalela, bermain dan berlari melaluinya. Pintu tidak lagi dikenali, sebab sudah terlepas dari kusennya. Besi-besi pondasi bangunan terpampang keluar dari sisi-sisi gedung. Setengah tempat ini telah hancur.
Matahari akan berlalu, memasuki salam perpisahan pada masa ini, angin berhembus—selaras dengan tarikan nafas seorang yang sejak tadi duduk diam di bagian puncak bangunan ini.
“Ngapain kamu di sini?” Ia mengucapkan kalimat dingin dengan terus membelakangi seseorang yang baru tiba di tempat ini.
Pasdi terus melangkah, ia mencoba untuk mendekat.
“Untuk ketemu kamu..” Balas Pasdi.
“Kita sudah engga ada hubungan apa-apa, buat apa ketemu aku?..” Balas perempuan tersebut tetap dingin.
“Sophie, jangan begini.. ada apa sebenarnya?” Pasdi mencoba membujuk. Ia mencoba untuk mendekat.
“Stop di situ!, jangan dekat-dekat!” Bentak Sophie sembari berdiri.
“Ini ada apa sih sebenarnya?” Pasdi gelagapan.

Hening tercipta. Sophie membalikan tubuhnya ke arah Pasdi. Ia memunggungi pemandangan yang sedari tadi dinikmati olehnya. Sebuah daratan yang porak poranda dan fosil-fosil bangunan juga gundukan-gundukan tanah yang kasar kelihatannya—tercipta karena hantaman atau dorongan tenaga yang besar. Pada daratan itu menyiratkan telah terjadinya pertempuran besar—entah kapanpun itu.
“Ada apa sebenarnya, Sophie.. Tolong jelaskan sama aku..” Suara Pasdi lirih, matanya menatap Sophie dalam.
“Kamu berubah.. kamu lupa semuanya.. kamu bukan Pasdi yang dulu aku kenal..”
Bersamaan dengan kalimat itu, Sophie melepaskan dirinya untuk ditarik gravitasi.
Tubuhnya rebah dari puncak gedung itu, ia jatuh melesat.
Spontan Pasdi menampilkan ekspresi kaget, kakinya bergerak secepat mungkin—semampu yang ia bisa. Sesuatu aneh terjadi. Ia seperti melesat diantara partikel debu di tempat tersebut, gerakannya seperti melesat lebih laju dari hembusan angin sekalipun, dalam satu kilatan, sedikit lagi, sebentar lagi, di sisi sana, ia mengarah pada Sophie, tangannya hampir menjangkau tangan itu—jemari itu yang sangat ia kenal. Satu tangkapan ia meraih Sophie, berusaha menariknya. Sebuah ledakan cahaya terjadi, Pasdi kehilangan penglihatannya dalam letupan itu, perlahan ia menyadari keadaannya sekarang, sunyi dalam keberadaannya.
“Apa yang terjadi?” Pasdi kalap, mencoba untuk bertanya pada apapun yang bisa memberi jawaban.
Perlahan ia mulai memfokuskan penglihatannya, di hadapannya sekarang berdiri seorang wanita yang sangat ia kenali—juga ia cintai. “Sophie, apa ini?” Pasdi kembali bertanya saat menyadari tempatnya sekarang ada di sebuah ruangan—tidak, mungkin sebuah tempat—tapi apa ini? Semuanya serba putih.
“Kamu lupa semuanya?” Sophie menatap sedih ke arah Pasdi.
“Lupa apa? Tentang apa?” Pasdi kebingungan.
“Tugasmu untuk menemukannya..” Senyum getir Sophie daratkan pada tatapan Pasdi yang sedang bingung. “Kita akan kembali bertemu saat kau sudah sadar, kasihku untukmu selalu..” Langkahnya mundur menjauhi Pasdi.
“Tunggu!..” Pasdi berusaha meraih wanita kekasihnya itu.
Saat hampir saja ia menyentuhnya, Sophie lebur dalam gelombang rantai dan kemudian meledak, juga menciptakan partikel-partikel kecil yang membuat Pasdi sesak untuk bernafas. Semakin lama ia semakin merasa tercekik, tenggorokannya serasa sangat kering, tubuhnya menjadi sangat letih.
“Awfhhhh!” Satu tarikan nafas. Pasdi batuk-batuk, dan menemukan dirinya ada di daratan dekat gedung tua itu saat ini. Ia memperhatikan tempat sekitarnya.
Dimana Sophie? Semua itu tadi apa?
Bagaimana aku bisa ada di sini tapi tidak terluka apa-apa? Batinnya menimbulkan banyak pertanyaan, berulang kali ia memeriksa dirinya sendiri untuk memastikan kondisi tubuhnya baik-baik saja.
“Apa yang terjadi saat aku juga terjun dari lantai atas, saat berusaha menangkap Sophie, aku merasa sangat cepat dan ringan..” Batinnya kembali resah.
Kepalanya pening, ia menahan rasa sakit yang sangat dahsyat, kedua tangannya menggenggam kepala.
Carilah.. temukan kembali.. kembalilah.. temukan lagi.. cari kembali! Cahaya!
Suara keras yang memekakan dalam batinnya—dirinya, membuat kepala Pasdi serasa akan pecah. “Apa arti perpisahan ini?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H