*
Cahayamu adalah kilau buta yang
menyesatkan dalam keberadaan,
Rantaiku gemetar menekuni jalur
yang kau tempuh,
Dalam peluh dan dera tapakku diasah
oleh duka
Engkaulah tebing akhir tempatku
beradu,
Mengenalmu membuatku kalap dan tak
tentu arah,
Kehilanganmu mengembalikan
keberadaan,
Melepasmu adalah akhir—sebuah
coretan penghabisan kisah bahagia,
Luka dan benci kau torehkan pada
nuansa asmara,
Engkau,
Penjarah dan penyesat jiwa.
**
“Kenapa? Ada apa lagi?” Dage menatap dongkol pada lelaki
yang sekonyong-konyong datang—yang sekarang menempatkan dirinya diujung tempat
tidur ini. Wajahnya kusut, tatapnya pilu dan keadaannya seperti terluka—bukan
karena pertempuran, hanya perasaan saja yang bergejolak, meledak dan menghambur
berkeping-keping. Dage paham betul kondisi ini. Ia meraih sebotol minuman,
menenggaknya untuk melepas dahaga juga berharap bisa mengusir kantuk yang tadi
telah ia penuhi dengan mimpi, sebelum akhirnya dikacaukan lelaki pengganggu di sampingnya
saat ini.
Beberapa saat yang
lalu,
__
Dage yang sibuk dengan
game online pada layar komputernya merasa kelelahan, ia mulai bosan dengan apa
yang ia lakukan. Liriknya pada jam sejenak menampilkan angka 5, ia mengintip
sedikit pada celah jendelanya, keadaan sekitar masih gelap. Berarti masih subuh, sebentar lagi pagi. Batinnya.
“Ada baiknya tidur dulu..” Saran Dage pada diri sendiri.
Baru beberapa menit ia
memejamkan mata, juga berusaha menikmati ilusi mimpi, gedoran keras pada pintu
kamar indekosnya membuat ia kembali terjaga.
Ketokan pada pintu
kosnya makin menjadi saat berusaha Dage abaikan, dengan pasrah ia menuruti
keingin seorang di luar sana—Ia membuka pintu. Dilihatnya sosok lelaki dengan
wajah kusut dan nafas naik turun. Sepertinya
ia berlari menuju tempat ini.
__
“Aku sudah tidak
bersamanya lagi..” Suara itu bergetar. “Maksudnya?, gimana tadi?” Dage ragu dan
meminta pria tersebut mengulangi perkataannya barusan. “Gue udah putus bego!”
Ulangnya lagi dengan menaikan volume suara. “Weh! Sabar bro Pasdi..” Sergah
Dage seraya menepuk bahu Pasdi. Sepertinya rasa kantuk tidak menguasainya lagi.
“K-kok bisa bro?” Dage
kembali bertanya.
“Gak tau, gak ngerti
juga..” Pasdi menjawab ketus. Ia menelan ludah, getir.
Kembali ia mencoba
membuka mulutnya untuk menyampaikan kata.
“Mungkin udah bosan
kali.. Yah, ga tau juga.. mungkin aja..” Pasdi meringkukan badan, menegakan
kembali tubuhnya, kedua tangannya meremas-remas rambutnya. Ia berdiri dan
mondar-mandir di hadapan Dage.
Dage hanya bisa diam
untuk sejenak, sesekali menenggak minuman yang ada di tangannya.
“Kenapa bisa putus?”
Dage berusaha memulai percakapan.
“Tadi kau sudah
tanyakan, dan jawabku tidak tahu.... dan.....” Jawaban Pasdi meragu, ia kembali
duduk di samping Dage, lalu terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Apa mungkin
karena itu?..” Lanjutnya.
“Itu apa?” Dage
bingung.
“Setelah pertempuran
terakhir, Sophie menunjukan sikap yang aneh..”
“Aneh bagaimana?
Maksudnya gimana sih? Jangan sepenggal-sepenggal dong ngomongnya..”
“Saat beberapa orang
menghilang kala itu, ia mulai menunjukan sikap-sikap yang berbeda..”
“Yah, kalau hal itu sih
sudah jelas bro.. Coba kau jelaskan, bagaimana bisa seseorang seperti Sophie
tidak akan bersedih saat kehilangan teman-teman seperjuangannya?” Dage mencoba
mengarahkan pengertian kepada Pasdi.
“Benar juga..” Pasdi
kembali berpikir, tangannya merogoh saku celana lalu mengeluarkan smartphone miliknya. Tangannya menyentuh
layar hp, menggeser fungsi menu pada aplikasi hp beberapa kali, lalu menekan
fungsi pesan, matanya mengarah pada sebuah pesan yang ia terima beberapa saat
lalu.
“Pesan dari Sophie?”
Tanya Dage tiba-tiba.
“Iya..” Pasdi menjawab
sekenanya.
“Putusnya lewat sms?”
“Iya, dia bilang untuk break dan engga mau bicara lagi..”
“Sudah kau coba
hubungi?”
“Sudah, tapi dia engga
mau angkat teleponku, juga sms tidak dibalas..”
“Penyebabnya engga tahu
kenapa?”
“Engga, makanya aku
kesini untuk minta pendapatmu, aku harus bagaimana?”
Dage manggut-manggut.
Tangan kirinya memegang dagu menunjukan gelagat akan memberi solusi yang tepat.
“Kenapa engga coba
temui dia aja?” Saran Dage dengan mantap.
Pasdi menatap Dage
sejenak, pandangannya kembali ke depan.
“Benar juga saranmu,
tapi bagaimana aku bisa menemukannya?” Pasdi ragu.
“Dia kemana kalau lagi
sedih atau ingin menyendiri?” Balas Dage.
Pasdi melirik Dage
sejenak, ia kembali seperti memikirkan sesuatu. Ia berdiri, lalu keluar dari
tempat itu tanpa pamit atau berkata-kata.
__
Sebuah
gedung tua dengan beberapa bagian yang sudah mulai retak dan hancur oleh waktu.
Bekas bakaran serta hantaman bebatuan kasar menjadi corak yang khas di tempat
ini. Jendela-jendela dilalui angin merajalela, bermain dan berlari melaluinya.
Pintu tidak lagi dikenali, sebab sudah terlepas dari kusennya. Besi-besi
pondasi bangunan terpampang keluar dari sisi-sisi gedung. Setengah tempat ini
telah hancur.
Matahari akan berlalu,
memasuki salam perpisahan pada masa ini, angin berhembus—selaras dengan tarikan
nafas seorang yang sejak tadi duduk diam di bagian puncak bangunan ini.
“Ngapain kamu di sini?”
Ia mengucapkan kalimat dingin dengan terus membelakangi seseorang yang baru
tiba di tempat ini.
Pasdi terus melangkah,
ia mencoba untuk mendekat.
“Untuk ketemu kamu..”
Balas Pasdi.
“Kita sudah engga ada
hubungan apa-apa, buat apa ketemu aku?..” Balas perempuan tersebut tetap
dingin.
“Sophie, jangan
begini.. ada apa sebenarnya?” Pasdi mencoba membujuk. Ia mencoba untuk
mendekat.
“Stop di situ!, jangan
dekat-dekat!” Bentak Sophie sembari berdiri.
“Ini ada apa sih
sebenarnya?” Pasdi gelagapan.
Hening
tercipta. Sophie membalikan tubuhnya ke arah Pasdi. Ia memunggungi pemandangan
yang sedari tadi dinikmati olehnya. Sebuah daratan yang porak poranda dan
fosil-fosil bangunan juga gundukan-gundukan tanah yang kasar kelihatannya—tercipta
karena hantaman atau dorongan tenaga yang besar. Pada daratan itu menyiratkan
telah terjadinya pertempuran besar—entah kapanpun itu.
“Ada apa sebenarnya,
Sophie.. Tolong jelaskan sama aku..” Suara Pasdi lirih, matanya menatap Sophie
dalam.
“Kamu berubah.. kamu
lupa semuanya.. kamu bukan Pasdi yang dulu aku kenal..”
Bersamaan dengan
kalimat itu, Sophie melepaskan dirinya untuk ditarik gravitasi.
Tubuhnya rebah dari
puncak gedung itu, ia jatuh melesat.
Spontan Pasdi
menampilkan ekspresi kaget, kakinya bergerak secepat mungkin—semampu yang ia
bisa. Sesuatu aneh terjadi. Ia seperti melesat diantara partikel debu di tempat
tersebut, gerakannya seperti melesat lebih laju dari hembusan angin sekalipun,
dalam satu kilatan, sedikit lagi, sebentar lagi, di sisi sana, ia mengarah pada
Sophie, tangannya hampir menjangkau tangan itu—jemari itu yang sangat ia kenal.
Satu tangkapan ia meraih Sophie, berusaha menariknya. Sebuah ledakan cahaya
terjadi, Pasdi kehilangan penglihatannya dalam letupan itu, perlahan ia
menyadari keadaannya sekarang, sunyi dalam keberadaannya.
“Apa yang terjadi?”
Pasdi kalap, mencoba untuk bertanya pada apapun yang bisa memberi jawaban.
Perlahan ia mulai
memfokuskan penglihatannya, di hadapannya sekarang berdiri seorang wanita yang
sangat ia kenali—juga ia cintai. “Sophie, apa ini?” Pasdi kembali bertanya saat
menyadari tempatnya sekarang ada di sebuah ruangan—tidak, mungkin sebuah
tempat—tapi apa ini? Semuanya serba putih.
“Kamu lupa semuanya?”
Sophie menatap sedih ke arah Pasdi.
“Lupa apa? Tentang
apa?” Pasdi kebingungan.
“Tugasmu untuk
menemukannya..” Senyum getir Sophie daratkan pada tatapan Pasdi yang sedang
bingung. “Kita akan kembali bertemu saat kau sudah sadar, kasihku untukmu
selalu..” Langkahnya mundur menjauhi Pasdi.
“Tunggu!..” Pasdi
berusaha meraih wanita kekasihnya itu.
Saat hampir saja ia
menyentuhnya, Sophie lebur dalam gelombang rantai dan kemudian meledak, juga
menciptakan partikel-partikel kecil yang membuat Pasdi sesak untuk bernafas.
Semakin lama ia semakin merasa tercekik, tenggorokannya serasa sangat kering,
tubuhnya menjadi sangat letih.
“Awfhhhh!” Satu tarikan
nafas. Pasdi batuk-batuk, dan menemukan dirinya ada di daratan dekat gedung tua
itu saat ini. Ia memperhatikan tempat sekitarnya.
Dimana Sophie? Semua
itu tadi apa?
Bagaimana aku bisa ada
di sini tapi tidak terluka apa-apa? Batinnya menimbulkan banyak pertanyaan,
berulang kali ia memeriksa dirinya sendiri untuk memastikan kondisi tubuhnya
baik-baik saja.
“Apa yang terjadi saat
aku juga terjun dari lantai atas, saat berusaha menangkap Sophie, aku merasa
sangat cepat dan ringan..” Batinnya kembali resah.
Kepalanya pening, ia
menahan rasa sakit yang sangat dahsyat, kedua tangannya menggenggam kepala.
Carilah.. temukan kembali..
kembalilah.. temukan lagi.. cari kembali! Cahaya!
Suara keras yang
memekakan dalam batinnya—dirinya, membuat kepala Pasdi serasa akan pecah. “Apa
arti perpisahan ini?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar