Rabu, 28 Desember 2016

Bicara Kisah


Pagi adalah teman,
Malam adalah kerabat,
Tak ada siang sebagai musuh, tidak juga subuh mengundang konflik,

Dalam riuh kita berlabuh,
Menata rindu pada suasana syahdu,

Bukan esok,
Tidak juga kemarin

Katamu saat ini adalah tahta kita,
Segala kemanisan engkau sajikan,
Segala kisah alam engkau bagikan,

Bersenda dengan waktu di kala ini,
Menyinggung batas pemicu kisah,
Memandang akrab bahagia
Membuka kembali ingatan akan hari tersebut,

Setengah pilu dan kaku,
Hatiku bertanya dalam kalap,

Dimanakah keindahan itu?
Dimanakah tergulung segala puisi?

Sempatkah keakraban waktu berkunjung,
Saat jenuh mampir untuk mengolok
Adakah kasih yang datang menghibur, kala duka menjumpa jiwa,
Hadirkah asmara dalam kepedihan?

Dimanakah senyum dan sapa?
Dimana penyembuh dalam suasana sendu?
Hadirkah engkau yang membawa segala kebaikan?

Hadirkah engkau,
Seperti masa itu,
Di kala itu,

Saat dunia masih milik kita,

Saat,

Engkau tidak mabuk oleh asmara lain

(Pengantar singkat sebuah kisah)

Tahta Pagi



 
Tumbuh dekat sebuah rumah sederhana,
Sepasang pohon langsat dan jambu air hanyut dalam buai partikel kesejukan,
Mentari malu menampakan dirinya,
Pesona dewi embun membuatnya enggan untuk mengusir pagi,
Meski siang mendesak untuk hadir, tetaplah pagi yang berkuasa,
Mentari enggan untuk mendekat,
Sinarnya bukanlah panah beracun lagi untuk mengusik sang pagi..

(Bersama pohon langsat dan pohon jambu air, di sebuah desa tempat tumbuh jadi remaja)

**


 

Secarik Catatan Dalam Kepulangan








Di pagi yang dingin. Embun membasahi tempat ini, yang aku lakukan adalah berjuang. Ya, berjuang untuk melawan tarikan kuat gravitasi tempat tidur. Segera jendela kamar kubuka. Tiap jendela di sudut bagian rumah ini ku jangkau, menyambut udara segar pagi hari. Kemudian pintu depan dibuka, aku disambut oleh serbuan angin dingin berhembus, lebih tepatnya disebut embun pagi. Pemandangan putih mengepul, mulai dari jalan depan rumah hingga lingkungan sekitar diselimuti kabut; kemanapun mata terarah, tetap, yang dijangkau hanyalah pemandangan putih yang samar-samar menyembunyikan area sekitar. Embun tebal.
Kondisi yang sama saat lima tahun lalu masih di sini.
Suasana desa yang cukup familiar bagiku.
...
Untuk mengawali pagi, aku harus bersih-bersih sekitar rumah, mulai dari menyapu, mengelap beberapa perabotan dan membersihkan sudut-sudut rumah hingga mengepel lantai. Kegiatan yang normal untuk hidup di kampung seperti ini, tidak seperti di kota--tidak bermaksud menyinggung atau anti post-modern, tapi mengawali pagi bersama notifikasi grup yang bertumpuk dan menggetarkan hp setiap saat, bagiku lebih baik jika pagi diawali dengan menyapu saja, untukku.. ini lebih normal dibanding kesibukan menyentuh layar gadget demi merespon tiap notifikasi masuk atau sekedar memeriksa. Kembali, sibuk seperti ini sangat normal bagiku.
Dalam suasana pagi yang dingin; keadaan yang selalu aku rindukan saat jauh di kota beberapa saat yang lalu, aku termenung sejenak, mengingat beberapa waktu lalu dalam benak, sementara mengistirahatkan penat.
Relaks sebentar, berlibur sementara setelah bekerja keras mengitari segala sudut rumah demi kegiatan bersih-bersih, ilusi dan hipnotis melamun merasuk pikiranku. Daya tariknya yang memikat seperti membius otak untuk stagnan dalam kondisi ngambang berhasil menghentikan tiap gerakanku. Segala kegiatan berhenti keseluruhan, mungkin hanya jantung saja yang terus berdetak, juga nadi, jangan lupakan nadi, emm... juga beberapa teman si nadi lainnya. Intinya jika saat ini ada yang memperhatikanku, aku dalam kondisi diam dengan tatapan menerawang dalam ketidakjelasan.

Sempat beberapa detik, lamun membawaku jauh dalam khayal, yang akupun tidak tahu kemana arahnya; khayalan kosong. Mungkin ini yang disebut ‘dongo’ , suatu kondisi dimana otak bergerak bebas bersama alam khayal, pemandangan kosong, namun ada ketenangan yang dirasakan dalam jiwa, percayalah kawan, hal ini sangat baik untuk dinikmati, namun jangan terlalu sering karena bisa menimbulkan kebodohan juga memperlambat fungsi otak dalam menanggapi sesuatu.
Lamunanku buyar oleh sentak gigitan kecil pada lengan kananku. Nyamuk. Lingkungan desa memang menenangkan, namun, jangan lupakan bahwa hutan sangat dekat dengan pemukiman di sini, jadi jangan heran jika akan banyak nyamuk yang merajalela untuk menerobos kedalam rumah dan mencari darah manusia. Lagi, ini merupakan hal yang normal.
Selesai dengan melamun, aku meraih laptop yang telah kusiapkan saat kepulangan ke tempat ini. Saat itu, pikirku akan menulis beberapa hal dalam liburan kali ini—mungkin lebih enak jika disebut hilang sejenak dari kesibukan dan fokus. Hilang dari jangkauan jaringan 4G, absen dari pemikiran akan skripsi dan bebas dari penat asap polusi ibukota. Namun, hanya untuk sejenak.
Dalam kesempatan ini, aku ingin menuliskannya sebagai pengingat, suatu tanda bahwa aku pernah di sini beberapa saat yang lalu. Agar saat aku kembali membaca tulisan ini, aku akan ingat suasana damai di kala ini—di tengah kepungan embun dan perangkap dingin angin pagi, aku menulis. Aku menyisipkan ingatan dan momentku dalam tulisan, agar situasi ini tak sirna. Supaya aku mengingatnya kelak.

Salam dari masa ini.
(Berhadapan dengan meja kosong memangku laptop, ditemani udara dingin dan kursi plastik)

Rabu, 21 Desember 2016

Nuansaku



 
Kicau burung dan deru gelombang embun menari-nari di atas angin adalah hiburanku,
Tangis bayi burung pipit bukanlah buyar tenang,
biarkan waktu ini bertahan
Tak inginku cepat beranjak dari masa ini
Kucoba abadikan sejuk jiwa
menyesap hingga habis nuansa sang dewi alam,

Bukan dengan kecanggihan—rumit teknologi,
Tidak juga tawa ramah seorang teman;
Bukan itu yang membawa damai sejati,

Biarlah aku dipisahkan,
Biar saja aku sendirian,
Sejenak saja menikmati ini,

Dingin pagi,
Suasana tenang begitu lembut di jiwa;

Hanya kicau burung—kokok ayam jantan,
Riuh binatang lainnya di hutan sekitar rumah,
Juga pepohonan tempat berkumpul makhluk kecil;
Rumah sapa bagi yang bernafas mungil..

Inilah damai,
Di sinilah jiwaku beradu.
(Di hadapan kabut putih sambil menghirup dingin pagi, pada desa masa kecil)

Senin, 19 Desember 2016

Lamunan Angin



Kisahkan  aku mimpimu
Ceritakan angan terbesarmu

Dalam peraduan gelisah angin malam
Segala tulisan dan gema suara terus memusingkanku

Sempat aku terdiam sesaat,
Termenung segala bisikan yang mengisi kepala

Tidak ada angin berlalu,
Tak ada rentetan waktu yang aku abadikan,
Tidak juga pencarian kutemukan di tempat ini,

Engkaulah pusat dari segala gusar;
Angin berlalu yang sejenak aku nikmati,
Sampaikan padaku keindahan,
Berikan padaku pesona asmara

Bersama keheningan ini,
Tetaplah engkau, pengganggu kecil yang bersembunyi di hati,

Kau, penjarah jiwa

(Ditemani segelas kopi hitam, pada kesunyian malam di bawah atap rumah sederhana)

Rabu, 14 Desember 2016

Raka Dan Reyna




(Source : http://il8.picdn.net/shutterstock/videos/8677573/thumb/1.jpg)

Ia mengingat beberapa cuplikan tua dalam khayalnya. Raka kembali membongkar berkas-berkas usang yang sempat ia penjarakan dalam sebuah ruangan gelap pada lubuk hatinya.
Kini segel itu telah rusak. Deretan gambar muncul dalam kepalanya, berkas-berkas ingatan beterbangan mengisi udara sekitarnya, ia sesak oleh kisah lampau yang merasuk setiap atom oksigen di tempat ini; udaranya sudah dikontaminasi unsur lain.

Seketika segala rasa dalam dirinya menjadi kacau. Dia, Raka, seorang yang sudah lama menghilang, empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sekedar pergi sejenak.

Sejak tadi ia hanya bisa membeku. Tatapannya memperhatikan seorang perempuan di ujung sana, yang duduk di bawah sebuah pohon tua, dimana kursi sederhana menjadi singgasananya. Nuansa alam di tepi tebing ini menyajikan keindahan yang sungguh menggugah, tapi segala keindahan itu sirna, semuanya takluk oleh binar kehadiran, bidadari yang bertengger santai di tahta bawah pohon rindang. Seolah tebing adalah singgasananya yang menghadap ke arah pemandangan desa, sekilas menyiratkan, ia ingin menggapai segala hidup yang ada di tempat itu dan menyesapnya hingga kepalang tak tertahankan, tersedak oleh manisnya kehidupan dan keharmonisan alam.

Namanya Reyna. Perempuan yang sejak beberapa saat lalu berhasil mematikan waktu dan antusias Raka saat hadir di tempat ini.

Raka mencoba mendekat, mencoba untuk meraih sisi gadis tersebut. Gelombang rasa bergejolak dalam dirinya, ia terus melangkah, memaksa dirinya untuk menahan tiap getaran kuat yang sudah lama tak ia rasakan.

“Masih tempat yang sama..” Raka memecah keheningan Reyna, saat ia tengah asyik bercengkrama dengan dewi alam. Sekilas ia menengok, Reyna kaget dengan kehadiran tiba-tiba sosok laki-laki di sampingnya.

“I-iya..” Jawabnya terbata, Reyna kembali mencoba untuk fokus saja pada pemandangan di hadapannya.

“Kamu apa kabar?..” Raka kembali memaksa kata-kata keluar dari mulutnya, meski kerongkongannya tercekat, ia merasakan seolah tenggorokannya sangat kering.

“Ehm.. ba-baik..” Hal yang sama sepertinya menimpa Reyna juga.

“Bagaimana perjalananmu?” Reyna menyambung, sekilas ia kembali mencoba untuk menangkap sosok Raka di sampingnya.

Raka mengambil posisi duduk, ia memilih tempat kosong yang tersedia pada kursi panjang sederhana, yang terbuat dari kayu ulin, tergeletak lama di tempat ini, tempat yang tengah menjadi singgasana Reyna beberapa saat yang lalu, dengan memberanikan diri, Raka mencoba untuk menduduki tahta tersebut, mengisi tempat yang kosong. Ia menatap Reyna sekilas.
Badannya dibungkukan, ia mengusap kedua tangannya, beberapa kali, melihat kedepan, tatapannya menerawang.

“Entahlah Na.. Bagaimana harus aku gambarkan perjalananku” Raka terkekeh. Ia menoleh sejenak ke arah Reyna, dicobanya untuk menggapai pesona wajah yang ada di sampingnya sekarang.
“Pasti menyenangkan..” Reyna menjawab datar.

“Sejak kamu pergi...” Ia melanjutkan. Nafasnya tercekat, seolah tak ada udara di sekitarnya. Raka terdiam, menunggu kata berikutnya.

“Aku selalu di sini... menikmati semuanya sendiri..” Reyna berhasil menguatkan dirinya. Nafasnya tersenggal-senggal, dadanya terasa sesak.

Angin berhembus. Suara kicauan burung terdengar.

Ranting-ranting pohon dan dedaunannya menari gembira, di gerakan oleh sang angin.

Tercipta keheningan antara Raka dan Reyna.

Setelah beberapa saat, Raka kembali mengusap tangannya, ia menelan ludah. Mulutnya bergerak pelan, kembali kata-kata berat yang ingin ia utarakan.

“Maaf, aku egois saat itu.. aku hanya mementingkan kebahagiaanku..” Raka mencoba menjelaskan, dengan tatapan terus menatap ke suatu titik di depan sana.
“Ngga kok, ngga apa-apa, aku bahagia juga kok di sini..” Balas Reyna cepat, namun suaranya sedikit parau.


Suasana sunyi kembali membanjiri ruang cengkrama keduanya.


“Kamu masih ingat nggak sama kisah yang Ibu Sud pernah sampaikan, waktu itu kita masih SD” Raka mencoba memecah suasana canggung.

“Kisah Burung Pipit..” Balas Reyna pelan.
“Iya.. itu adalah cerita kesenangan kita, walaupun banyak cerita lain yang beliau sampaikan..” Raka sedikit antusias, ia coba untuk mengukir wajahnya dengan sedikit senyuman. Ia menoleh, ditangkapnya sejenak senyum tipis pada raut Reyna.

Raka menatapnya dalam. Reyna menyadari tatapan itu, ia membalasnya. Raka kembali mengusap kedua tangannya, suasana menjadi sangat dingin, ia merasa kepayahan dengan kondisi ini, bukan dirinya, tapi hatinya, seolah dihajar deru ombak yang tak pasti, merasa gusar walau dalam ketidakhadiran sedih. Pandangannya kembali Raka arahkan kedepan.

“Tempat ini....” Reyna mencoba berbicara, namun segera di potong oleh Raka, “Akulah Pipit Pohon Jambu Air itu Na..”.

Reyna kaget dengan perkataan Raka, ia menanti kata setelahnya.

“Aku memilih pergi untuk mencari bahagia dan tujuan hidupku.. aku tinggalkan kekasih dan membujuk cinta, aku meyakinkannya bahwa di ujung sana adalah kebahagiaanku.. namun, ditengah perjalanan, cinta itu mati.. ia direnggut waktu..” Reyna hanya bisa diam. Rasa terus bergejolak dalam dirinya. Ia mencoba untuk tenang. Raka kembali melanjutkan kata-katanya, “Saat di ujung sana aku menemukan mimpiku, aku jadi bertanya tentang apa sebenarnya tujuan hidupku.. Untuk apa aku meraih hal itu.. Aku mengingatmu Na..” Raka menoleh ke arah Reyna, yang kini tengah berjuang untuk tidak melepas butiran-butiran kristal air di wajahnya, beberapa menetes, ia terus mencoba tegar.
“Reyna, maaf aku menjadi egois waktu itu, aku memimpikan hal di ujung sana, namun sesungguhnya yang ingin aku nikmati adalah cinta itu sendiri, bukan cinta yang direnggut waktu, namun yang hidup dalam diri seorang kekasih.. Maaf kalau aku meninggalkanmu” Raka mencoba untuk meraih Reyna, mencoba menenangkannya.

Waktu berlalu. Angin berhembus.

Dedaunan bergoyang, burung-burung berkicauan. Alam tetaplah riang.

Namun, sang waktu tetap hadir dalam kisah perjuangan dalam kesia-siaan.

Tetaplah, cinta hidup seorang kekasih menjadi juara.

***

Senin, 12 Desember 2016

Kisah Burung Pipit

(Source : http://nzbirdsonline.org.nz/sites/all/files/1200599IMG_4291.JPG)
*


Adalah sebuah kisah tentang dua ekor burung pipit yang bersahabat. Mereka mulai mengenal sejak hari awal menetas, letak sarang induk keduanya berdampingan; yang satu terletak di ranting pohon langsat, satunya lagi di pohon jambu air, dekat sebuah rumah sederhana. Kedua pohon langsat dan jambu air tersebut tumbuh bersamping-sampingan, hanya berjarak satu decit suara; saat bayi pipit di pohon langsat berdecit, bayi pipit di pohon jambu dapat mendengarnya lalu kemudian ikut berdecit juga. Begitulah awal dari persahabatan mereka yang dikomunikasikan lewat decit pertama saat mereka menetas.

Beberapa waktu lamanya, keduanya tumbuh besar, sering menyanyi bersama untuk memulai hari dan menghibur sang mentari. Tarian angin di sekitar pohon jambu air dan langsat tersebut menjadi hiburan dan sorak riang keduanya.
Suatu hari burung pipit yang menetas di pohon jambu air tengah merenung di puncak pohon, ia termenung pada pucuknya. Pandangannya menatap jauh, terawangnya ke suatu tempat yang luas, kemudian melahirkan baginya sebuah penglihatan, matanya berbinar, ia memicingkan matanya, mencoba untuk menjangkau titik jauh tersebut dengan harapan dapat memuaskan matanya, agar hasrat penasarannya sirna oleh pemandangan akan kebebasan dan harapan besar. Mimpi tercipta dalam dirinya.

Setiap sore hari sang Burung Pipit Pohon jambu Air selalu menghabiskan waktunya untuk termenung dan menyaksikan titik jauh tersebut, sang waktu menumbuhkan mimpi dan ambisinya dari hari ke hari semakin besar, hingga suatu sore ia merasa tempat tersebut harus ia capai.

“Kawan, apa yang engkau gusarkan?” Decit Pipit Pohon Langsat yang tiba-tiba hadir di belakangnya. lamunan Pipit Pohon Jambu Air buyar.

“Ah, kawanku.. aku sedang menikmati mimpi” Balasnya kembali menatap ke ujung sana, hasrat jiwanya seakan meraih titik tersebut.

“Mimpi apakah itu.. sampaikanlah pada kawanmu ini..” Pipit Pohon Langsat penasaran.

“Angan yang besar, kawanku.. letaknya di ujung sana” Pipit Pohon Jambu Air menunjuk ke arah pandangannya.

Ia menjelaskan kepada kawannya tentang mimpi dan kebebasan yang ia percaya terdapat di ujung titik sana. Mendengar tentang tempat yang baik dan harapan akan hidup yang bebas di tempat itu membuat Pipit Pohon Langsat ikut tergugah lalu memimpikan hal yang sama.

**
Suatu pagi keduanya memutuskan untuk pergi, mereka memutuskan untuk menjejaki kehidupan dewasa, pergi dari kedua orang tua kemudian memulai langkah baru di tempat yang penuh dengan kebebasan serta harapan.

“Pagi hari adalah waktu yang tepat, kawanku.. kita akan tiba di ujung sana pada sore hari..” Semangat Pipit Pohon Jambu Air semakin menggebu-gebu meyakinkan kawannya, Pipit Pohon Langsat, sebelum keberangkatan.
 **

Keduanya gembira dalam perjalanan, setengah hari tengah mereka lewati, keduanya begitu berseri dan penuh antusias, sebuah nyanyian mereka ciptakan dalam perjalanan, mulai dari pagi hingga tengah hari, nyanyian yang sama yang mereka kumandangkan untuk mengabarkan tempat terindah dan harapan akan hidup yang besar yang sudah menanti di ujung sana, tepat di akhir hari ini.
Saat keduanya tengah asyik mengumandangkan lagu yang mereka ciptakan, sebuah bayangan hitam hinggap pada Pipit Pohon Langsat, Dor!
Suara tersebut menyentak Pipit Pohon Langsat. Seluruh pepohonan dan ranting-rantingnya bergeming.

Seketika nyanyiannya terhenti, suara kilatan mengheningkan seluruh tempat itu.
Tubuh Pipit Pohon Langsat kaku, darah mengalir. Ia terjatuh dari ranting pohon tempat ia berpijak.
Jatuh ke semak-semak. Jantung Pipit Pohon Jambu Air seakan berhenti melihat kawannya, darah seakan mengalir deras dalam dirinya, ia terbang ke bawah, mencoba untuk meraih kawannya. Saat sampai di dalam rimba semak tersebut, matanya melihat kesana-kemari, ia mencoba untuk menemukan kawannya.

Di tepi sana, samar-samar ia melihat sosok hitam yang tergeletak diantara ranting semak-semak.
Kawannya terbujur kaku, tidak ada tanda kehidupan, tidak ada decit. Pipit Pohon Jambu Air mematung, menyaksikan kawannya.

Seketika terdengar suara manusia yang menyibak semak-semak tersebut, semakin dekat, hingga berhasil menemukannya. Pipit Pohon Jambu Air panik, ia gelisah saat tangan manusia meraih jasad kawannya, ingin ia merebutnya namun hal tersebut tidak mungkin.

Ia mematung, panik menguasai dirinya, darahnya seakan bergejolak seperti angin ribut dalam dirinya. Ia terbang ke atas pohon dekat semak tersebut, bersembunyi dalam kerumunan ranting, melihat kawannya yang dimasukan manusia dalam sebuah tempat yang tidak ia kenali namanya.
Pilu, sedih, amarah dan ketakutan; semuanya menguasai dirinya.
Manusia tersebut berlalu,
Pipit pohon jambu air terus mematung, ia berkabung atas kawannya.
Kesedihan luar biasa mengisi kehilangan jiwanya.

Oh.. Kawanku!,
Kawan Pohon Langsat,
Kawan masa kecil, teman jiwaku..
Kawan seperjalanan!

Mengapa takdir begitu kejam!
Mengapa waktu begitu egois!
Mengapa mereka merenggut senyum dan nyanyianmu..
Tidak ada lagi nyanyian atas hariku,
Tidak akan ada sapa untuk pagiku,
Oh.. kawan seperjalananku,
Kiranya angin yang menuntun jiwamu..


Hanya pilu yang menjadi teman petualangannya.
Sempat terpikir olehnya untuk kembali dan menghentikan perjalanan, namun, ia teringat bahwa mimpi kawannya pun untuk melihat tempat impian mereka di ujung sana, sebentar lagi, hanya berjarak setengah hari. Sepanjang perjalanan ia bercerita kepada alam tentang kawannya, tentang kehilangannya di tengah perjuangan mencapai angan.

Setengah hari yang berat telah berlalu, Sang Pipit berhasil mencapai titik ujung tersebut, terbangnya berhenti pada suatu pohon.

Ia melihat sebuah sungai, deretan pepohonan yang berbuah lebah, tanah yang lembab menandakan kesuburan, tempat ini terletak di dekat sebuah ladang yang sepertinya telah di tinggalkan pemiliknya, hanya menyisakan bekas gubuk yang sudah usang.

“Di tempat ini..” Batinnya berbisik, ia memilih sebuah pohon besar, pada salah satu rantingnya ia membangun sarang.

***

Tempat yang sangat indah dan berlimpah akan pesona dewi alam.
Buah-buahan dapat ia kecap, rasa manis madu ia nikmati, dari bunganya,
Tanah lembab yang menyediakan banyak cacing untuk kebutuhannya,
Kesegaran air sungai dapat ia sesap untuk menghilangkan dahaganya,
Kebutuhannya terpenuhi di tempat ini,

Beberapa waktu ia alami, beberapa masa ia lewati,
Tetaplah sepi menggerogoti jiwanya,
Beberapa kejadian berlalu, sekumpulan burung pipit lainnya mulai hadir di tempat ini.
Mereka selalu ramah menyapanya, kondisi hidup yang sangat damai.

“Panggil aku Si Pipit Pohon Jambu Air..” Haturnya pada setiap kerabat baru yang ia temui atau ia sambut. Merekapun mengenal ia sebagai Si Pipit Pohon Jambu Air, sesuai permintaanya.
Suatu hari, Si Pipit Pohon Jambu Air tengah termenung, ia menatap dari tempatnya, beberapa bayi baru menetas, beberapa anak burung pipit tengah belajar untuk terbang, yang lainnya bermain.
Ia kembali ditikam pilu, pikirannya kembali mengingat kawannya, Sang Pipit Pohon Langsat.

Apakah gunanya tempat ini kawan?
Bukankah ini surga kita, namun mengapa tak kudapati kebahagiaan?
Mengapa pilu yang aku kecap tiap waktu,
Beritahu aku kawan, apa artinya hidup.
Ajari aku untuk menikmati tempat ini,
Apakah kematian itu baik?
Aku penasaran mengapa engkau memilih menghampirinya pada waktu itu.
Kawan, sampaikanlah padaku tentangmu,
Sampaikan beritamu saat ini,
Berceritalah padaku..
Sebab aku kesepian di sini...
Kawan, dengarkah engkau?
Kawanku!, Si Pipit Pohon Langsat.

Pada pagi hari yang cerah, dimana riak air sungai mengisi suasana hari.
Tempat tersebut di gemparkan oleh menghilangnya Si Pipit Pohon Jambu Air.
Beberapa pipit lain mengatakan mereka sempat melihatnya pergi ke sebuah pohon besar pada hutan sebelah, ia pergi sendiri. Keadaan menjadi jelas saat berita sampai di tempat itu, Sang Pipit Pohon Jambu Air telah menyerahkan dirinya kepada seekor ular yang diam di hutan sebelah. Hidup tidak mungkin tetap hadir dalam dirinya.

***
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H