(Source : http://nzbirdsonline.org.nz/sites/all/files/1200599IMG_4291.JPG)
*
Adalah
sebuah kisah tentang dua ekor burung pipit yang bersahabat. Mereka mulai
mengenal sejak hari awal menetas, letak sarang induk keduanya berdampingan;
yang satu terletak di ranting pohon langsat,
satunya lagi di pohon jambu air,
dekat sebuah rumah sederhana. Kedua pohon langsat dan jambu air tersebut tumbuh
bersamping-sampingan, hanya berjarak satu decit
suara; saat bayi pipit di pohon langsat berdecit, bayi pipit di pohon jambu
dapat mendengarnya lalu kemudian ikut berdecit juga. Begitulah awal dari
persahabatan mereka yang dikomunikasikan lewat decit pertama saat mereka menetas.
Beberapa
waktu lamanya, keduanya tumbuh besar, sering menyanyi bersama untuk memulai
hari dan menghibur sang mentari. Tarian angin di sekitar pohon jambu air dan
langsat tersebut menjadi hiburan dan sorak riang keduanya.
Suatu
hari burung pipit yang menetas di pohon jambu air tengah merenung di puncak pohon,
ia termenung pada pucuknya. Pandangannya menatap jauh, terawangnya ke suatu
tempat yang luas, kemudian melahirkan baginya sebuah penglihatan, matanya
berbinar, ia memicingkan matanya, mencoba untuk menjangkau titik jauh tersebut
dengan harapan dapat memuaskan matanya, agar hasrat penasarannya sirna oleh
pemandangan akan kebebasan dan harapan besar. Mimpi tercipta dalam dirinya.
Setiap
sore hari sang Burung Pipit Pohon jambu Air
selalu menghabiskan waktunya untuk termenung dan menyaksikan titik jauh
tersebut, sang waktu menumbuhkan mimpi dan ambisinya dari hari ke hari semakin
besar, hingga suatu sore ia merasa tempat tersebut harus ia capai.
“Kawan,
apa yang engkau gusarkan?” Decit Pipit Pohon
Langsat yang tiba-tiba hadir di belakangnya. lamunan Pipit Pohon Jambu Air buyar.
“Ah,
kawanku.. aku sedang menikmati mimpi” Balasnya kembali menatap ke ujung sana,
hasrat jiwanya seakan meraih titik tersebut.
“Mimpi
apakah itu.. sampaikanlah pada kawanmu ini..” Pipit Pohon Langsat penasaran.
“Angan
yang besar, kawanku.. letaknya di ujung sana” Pipit Pohon Jambu Air menunjuk ke arah pandangannya.
Ia
menjelaskan kepada kawannya tentang mimpi dan kebebasan yang ia percaya
terdapat di ujung titik sana. Mendengar tentang tempat yang baik dan harapan
akan hidup yang bebas di tempat itu membuat Pipit Pohon Langsat ikut tergugah lalu memimpikan hal yang sama.
**
Suatu
pagi keduanya memutuskan untuk pergi, mereka memutuskan untuk menjejaki kehidupan
dewasa, pergi dari kedua orang tua kemudian memulai langkah baru di tempat yang
penuh dengan kebebasan serta harapan.
“Pagi
hari adalah waktu yang tepat, kawanku.. kita akan tiba di ujung sana pada sore
hari..” Semangat Pipit Pohon Jambu Air
semakin menggebu-gebu meyakinkan kawannya, Pipit Pohon Langsat, sebelum keberangkatan.
**
Keduanya
gembira dalam perjalanan, setengah hari tengah mereka lewati, keduanya begitu
berseri dan penuh antusias, sebuah nyanyian mereka ciptakan dalam perjalanan,
mulai dari pagi hingga tengah hari, nyanyian yang sama yang mereka kumandangkan
untuk mengabarkan tempat terindah dan harapan akan hidup yang besar yang sudah
menanti di ujung sana, tepat di akhir hari ini.
Saat keduanya
tengah asyik mengumandangkan lagu yang mereka ciptakan, sebuah bayangan hitam
hinggap pada Pipit Pohon Langsat,
Dor!
Suara
tersebut menyentak Pipit Pohon Langsat. Seluruh
pepohonan dan ranting-rantingnya bergeming.
Seketika
nyanyiannya terhenti, suara kilatan mengheningkan seluruh tempat itu.
Tubuh Pipit
Pohon Langsat kaku, darah mengalir.
Ia terjatuh dari ranting pohon tempat ia berpijak.
Jatuh ke
semak-semak. Jantung Pipit Pohon Jambu
Air seakan berhenti melihat kawannya, darah seakan mengalir deras dalam
dirinya, ia terbang ke bawah, mencoba untuk meraih kawannya. Saat sampai di
dalam rimba semak tersebut, matanya melihat kesana-kemari, ia mencoba untuk
menemukan kawannya.
Di tepi
sana, samar-samar ia melihat sosok hitam yang tergeletak diantara ranting
semak-semak.
Kawannya
terbujur kaku, tidak ada tanda kehidupan, tidak ada decit. Pipit Pohon Jambu Air mematung, menyaksikan kawannya.
Seketika
terdengar suara manusia yang menyibak semak-semak tersebut, semakin dekat,
hingga berhasil menemukannya. Pipit Pohon
Jambu Air panik, ia gelisah saat tangan manusia meraih jasad kawannya,
ingin ia merebutnya namun hal tersebut tidak mungkin.
Ia
mematung, panik menguasai dirinya, darahnya seakan bergejolak seperti angin
ribut dalam dirinya. Ia terbang ke atas pohon dekat semak tersebut, bersembunyi
dalam kerumunan ranting, melihat kawannya yang dimasukan manusia dalam sebuah
tempat yang tidak ia kenali namanya.
Pilu,
sedih, amarah dan ketakutan; semuanya menguasai dirinya.
Manusia
tersebut berlalu,
Pipit
pohon jambu air terus mematung, ia berkabung atas kawannya.
Kesedihan
luar biasa mengisi kehilangan jiwanya.
Oh.. Kawanku!,
Kawan Pohon Langsat,
Kawan masa kecil,
teman jiwaku..
Kawan seperjalanan!
Mengapa takdir
begitu kejam!
Mengapa waktu
begitu egois!
Mengapa mereka
merenggut senyum dan nyanyianmu..
Tidak ada lagi
nyanyian atas hariku,
Tidak akan ada sapa
untuk pagiku,
Oh.. kawan
seperjalananku,
Kiranya angin yang
menuntun jiwamu..
Hanya
pilu yang menjadi teman petualangannya.
Sempat
terpikir olehnya untuk kembali dan menghentikan perjalanan, namun, ia teringat
bahwa mimpi kawannya pun untuk melihat tempat impian mereka di ujung sana,
sebentar lagi, hanya berjarak setengah hari. Sepanjang perjalanan ia bercerita
kepada alam tentang kawannya, tentang kehilangannya di tengah perjuangan
mencapai angan.
Setengah
hari yang berat telah berlalu, Sang Pipit berhasil mencapai titik ujung
tersebut, terbangnya berhenti pada suatu pohon.
Ia
melihat sebuah sungai, deretan pepohonan yang berbuah lebah, tanah yang lembab
menandakan kesuburan, tempat ini terletak di dekat sebuah ladang yang
sepertinya telah di tinggalkan pemiliknya, hanya menyisakan bekas gubuk yang
sudah usang.
“Di
tempat ini..” Batinnya berbisik, ia memilih sebuah pohon besar, pada salah satu
rantingnya ia membangun sarang.
***
Tempat yang
sangat indah dan berlimpah akan pesona dewi alam.
Buah-buahan
dapat ia kecap, rasa manis madu ia nikmati, dari bunganya,
Tanah
lembab yang menyediakan banyak cacing untuk kebutuhannya,
Kesegaran
air sungai dapat ia sesap untuk menghilangkan dahaganya,
Kebutuhannya
terpenuhi di tempat ini,
Beberapa
waktu ia alami, beberapa masa ia lewati,
Tetaplah
sepi menggerogoti jiwanya,
Beberapa
kejadian berlalu, sekumpulan burung pipit lainnya mulai hadir di tempat ini.
Mereka selalu
ramah menyapanya, kondisi hidup yang sangat damai.
“Panggil
aku Si Pipit Pohon Jambu Air..”
Haturnya pada setiap kerabat baru yang ia temui atau ia sambut. Merekapun mengenal
ia sebagai Si Pipit Pohon Jambu Air, sesuai
permintaanya.
Suatu hari,
Si Pipit Pohon Jambu Air tengah termenung, ia menatap dari tempatnya, beberapa
bayi baru menetas, beberapa anak burung pipit tengah belajar untuk terbang,
yang lainnya bermain.
Ia
kembali ditikam pilu, pikirannya kembali mengingat kawannya, Sang Pipit Pohon Langsat.
Apakah gunanya
tempat ini kawan?
Bukankah ini surga
kita, namun mengapa tak kudapati kebahagiaan?
Mengapa pilu yang
aku kecap tiap waktu,
Beritahu aku kawan,
apa artinya hidup.
Ajari aku untuk
menikmati tempat ini,
Apakah kematian itu
baik?
Aku penasaran
mengapa engkau memilih menghampirinya pada waktu itu.
Kawan, sampaikanlah
padaku tentangmu,
Sampaikan beritamu
saat ini,
Berceritalah padaku..
Sebab aku kesepian
di sini...
Kawan, dengarkah
engkau?
Kawanku!, Si Pipit
Pohon Langsat.
Pada
pagi hari yang cerah, dimana riak air sungai mengisi suasana hari.
Tempat tersebut
di gemparkan oleh menghilangnya Si Pipit Pohon
Jambu Air.
Beberapa
pipit lain mengatakan mereka sempat melihatnya pergi ke sebuah pohon besar pada
hutan sebelah, ia pergi sendiri. Keadaan menjadi jelas saat berita sampai di
tempat itu, Sang Pipit Pohon Jambu Air
telah menyerahkan dirinya kepada seekor ular yang diam di hutan sebelah. Hidup tidak mungkin tetap hadir dalam dirinya.
***