Senin, 17 April 2017

Trotoar Malam Itu



Cinta.
Ungkapan bahagia tak pasti yang tak bisa—sesungguhnya tidak dapat didefinisikan, kadang ia hadir membawa rona pada wajahku dan membuat pipi serasa hangat, hembusan nafas seolah tercekat, muka serasa terbakar sejenak, jatung berdegup kencang dan aku tahu, aku bahagia. Kadang juga ia hadir menyayat hati, menusukan pisau tak kasat mata yang tidak melukai tubuh bagian luarku, tetapi di dalam ini, dadaku, aku merasakan sakit yang sangat hebat. Apa itu cinta?
Dari sekian banyak definisi, tidak satupun yang aku setujui arti dan maknanya karena selalu ada celah untuk menyalahkan. Bagiku?
Bagiku cinta adalah kebodohan dan ketidakwarasan. Bodoh,  saat aku tahu dia akan menyakiti,  tetapi kunikmati—menerimanya, juga  ketidakwarasan, saat kutahu ia mengabaikanku, namun harapku ia menganggapku ada—walau jelas tidak ada aku dalam benaknya.

*

            Perpaduan bodoh dan tidak waras tersebutlah yang membuatku ada di posisi ini. Sudah terlalu lama aku akrab dengan mereka, hingga tak kuanggap menjadi musuh lagi kehadiran keduanya, seutuhnya kuterima—merekalah perwujudan cinta yang aku nikmati.

Kutekuri sisi jalan dalam menung, sesekali kendaraan yang berseliweran dengan angkuh menggelegarkan suara kasarnya, para pengendara congkak ini memekakan hening dengan suara nyaring. Di sinilah aku ditemukan, bergerak dengan perlahan menyusuri trotoar pinggir jalan ini, ditemani sosok yang kukagumi—mungkin dulu lebih tepatnya, namun, Ah! Aku gusar, kuakui bahwa aku melepasnya, tetapi, tak bisa kupungkiri bahwa pesonanya masih memenjarakanku. Jadi seperti apakah aku ini? Aku berangan bebas, namun, terkurung—bahkan dirantai, oleh rasa tak pasti yang penyebabnya ada di sampingku saat ini. Kami terus berjalan melalui trotoar sisi jalan ini.

            Aku memandang ke langit yang kelabu, warna langit malam mengingatkanku pada mendung awan sebelum hujan, aku suka awan, aku juga menyukai hujan, menikmati rintik dan menghirup udara sehabis hujan memberikanku ketenangan yang tidak bisa aku ungkapkan. Kurasakan dingin angin malam menghempas tubuhku, segera kurengkuh badan ini dengan menyelimuti dan memeluknya menggunakan dua sisi jaketku. Kembali ku tatap dengan pandangan nanar, seliweran kendaraan yang lalu lalang. Aku merasa diejek dan dihempas oleh hina. Angin menari disekitarku dan hiruk pikuk ketidak pedulian bertengger di samping kegelisahanku.

Kuhelakan nafas panjang, selangkah kecil demi demi langkah berikutnya, di tengah keramaian, hadirnya senyap antara aku dan pria di sampingku saat ini. Kami hanya diam. Baru beberapa langkah kecil kutapaki, aku mencuri pandang pada sosok di sampingku, sebelum ketahuan mengaguminya, kulemparkan pandangan kedepan, senyum tipis tercipta di bibirku—aku tidak mengerti akan diriku.
Dalam senyap ini, di tengah ramai suara kendaraan, aku menoleh ke sisi lain jalanan. Seperti dihipnotis dan dibius ketidakberdayaan, kurasakan ragaku seperti tidak di sini, konsentrasiku pudar dan anganku lepas, jiwaku terbang seolah meninggalkan raga. Aku melesat, ke suatu tempat, menuju suatu masa—masa lalu, dan kepingan gambar-gambar yang bergerak memenuhi diriku. Aku ingat masa itu. Ingatan dimana aku dan dia pertama kali bertemu.

**

“Lu ngapain di sini?” Suara laki-laki di belakangku membuatku akhirnya menoleh.

“Kenapa emangnya?” Tanyaku ketus.

“Lu engga perhatikan baik-baik instruksi senior?” Ia menatapku tajam.

“Kenapa sih? Apanya yang salah?” Aku mulai ragu dengan posisiku sekarang dan memperhatikan barisan di sekeliling.

“Ini barisan cowok, lu ngapain masuk di sini?” Balasnya kembali dengan nada meninggi, sempat kutangkap senyum sinis di wajahnya.

“EH??, salah ya.. aduh maaf-maaf..” Aku keluar dari barisan tersebut dan buru-buru mencari barisan lain, walaupun aku sendiri tidak mendengar jelas apa yang senior katakan, namun, dari apa yang laki-laki tersebut katakan, aku bisa menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan ditaruh pada barisan terpisah.

Saat sudah berpindah barisan, aku merasa risih karena seperti sedang diawasi seseorang, kuberanikan diri untuk menoleh pada barisan samping, terlihat laki-laki yang sinis tadi melemparkan senyum ke arahku.

“Heh?” Responku singkat sambil mencoba senyum seadanya. Cowok aneh! Modus banget senyumnya!

Program ospek fakultas yang aku ikuti berlangsung sehari saja dikarenakan adanya aturan yang mulai melarang adanya ospek karena menyebabkan banyaknya pem-bully­an juga kekerasan. Aku beruntung berada di angkatan ini.
Sehari sudah berlalu, esoknya kami para mahasiswa baru sudah diijinkan untuk datang ke fakultas masing-masing dan mengikuti pengarahan yang akan diberikan oleh para pemimpin juga senior yang ada di fakultas.
Aku datang pagi-pagi untuk mengikuti arahan hari ini karena takut akan terlambat dan menjadi bulan-bulanan senior, walaupun senioritas sudah dihapuskan, namun, perkataan sinis tetap menjadi budaya yang beberapa senior suka kumandangkan, bagiku hal ini termasuk bully.
            Mahasiswa baru yang satu jurusan denganku juga satu angkatan dikumpulkan dalam ruangan ini. Beberapa arahan diberikan oleh para dosen juga senior, mulai dari perkenalan para pemimpin fakultas, keunikan kampus hingga arahan profesi setelah lulus nanti, peluang kerja apa saja yang bisa ditekuni setelah lulus dari tempat ini. Waktu berlalu, dari pagi hingga siang hari mendengarkan arahan yang diberikan membuatku mengantuk, fokusku buyar saat beberapa mahasiswa baru saling berkenalan dan mulai riuh. Kami dibiarkan diam dalam ruangan, sementara para senior dan dosen meninggalkan ruangan untuk istirahat, sungguh tidak adil.
Lamunanku terganggu oleh seseorang dibelakangku,
“Hai..” Sapanya. Kuperhatikan baik-baik sosok tersebut..
“Mau informasi engga?” Lanjutnya sambil terus memandangiku yang termanggu.

“Apa?” Jawabku singkat.

“Kenalan dulu dong..” Ia menyodorkan tangannya disertai senyuman pada wajahnya.
“Nama lu siapa?..” lanjutnya.

“Eza Helna Raya” Jawabku seadanya.

“Panggil gue Shin..” Ia melepaskan salamannya dan terus memperhatikanku..
Aku gugup dan coba melanjutkan.. “Udahkan? Apa infonya?..”.

Ia kembali tersenyum.
“Besok datang lagi ya, pakai pakaian yang sama kayak sekarang, pakai almet, rambut lu kepang dan bawa tanaman hijau..”. Aku terperangkap dalam tatapannya yang tak lepas memperhatikanku. “Ngertikan?” Pungkasnya.

“I-iya..”.

“Boleh minta kontak lu engga?” Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya.

“Bentar..” Aku meraih hpku dan memberikan kontakku padanya.

            Seperti kisah klise yang umumnya terjadi, itu adalah awal dari kedekatanku padanya. Kami sempat menjalani hubungan layaknya sepasang kekasih, namun, kisah kami kandas. Ada hal yang belum kuat untuk hatiku mengisahkannya.
Yang pasti, posisi sekarang..
Di sinilah aku berada.. Sudah dua tahun sejak pertemuan pertama kami..

            Malam ini, ia berjalan di sampingku dengan acuh, tidak mengungkapkan satu katapun. Kami terus berjalan menyusuri trotoar ini.
Sore tadi ia menghubungiku untuk bertemu, segera ku iyakan, tidak bisa kupungkiri, apapun yang ia minta, sejauh ini dalam hidupku, tepatnya setelah kisah dua tahun yang lalu, sebisaku, akan selalu kuturuti kemauannya. Begitu juga dengan malam ini, walau aku hanya menjadi teman heningnya dalam perjalanan di trotoar ini, aku merasa bahagia.

Mengapa aku begitu bodoh dan lumpuh oleh ketidakwarasan dalam cinta..

Langkah itu tiba-tiba berhenti.

Aku ikut membatu, menghentikan gerakku..

Ia mengarahkan badannya menghadapku, aku hanya bisa tertunduk sambil sesekali mencoba menantang padangan itu, ia menatapku seperti pada tatapan pertamanya dulu, tetap mata dan tatapan yang sama.

“Za.. lu kapan sih bisa ngelepasin gua? Biar gua bebas..” Ia menatapku dengan dalam. Aku terkesiak, kata-katanya begitu menyakitkan bagiku, bagaikan pisau yang menusuk jantung.

Jadi aku adalah penghalang kebebasannya?

Aku berbalik dari hadapannya, kembali kutekuri trotoar ini, suara kendaraan terus lalu-lalang tak kuhiraukan. “Biar gua bebas..”
Tetap kata-katanya barusan menggema dalam batinku.
Apakah aku penghalang kebebasannya?

Bodoh dan tidak waras. Sudah terlalu lama aku akrab dengan mereka, hingga tak kuanggap menjadi musuh lagi kehadiran keduanya, seutuhnya kuterima—merekalah perwujudan cinta yang aku nikmati. Namun...
Kali ini, aku ragu akan rasa ini..
Apa itu cinta?

7 komentar:

  1. I know this story wkwkwk

    Everyone has different thought about love,the different meaning. According to their experienced.

    So, what is love for the writter?

    BalasHapus
  2. Definisikan kembali "cinta". Kemudian, apakah cinta itu membebaskan atau malah memenjarakan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cinta tidak bisa didefinisikan tapi dirasakan, pertanyaan dalam bentuk pernyataanmu adalah sebuah pencarian, bukan utk diskusi :) .... yang aku percaya, Cinta membebaskan..

      Hapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H