Suatu desa dikelilingi oleh
barisan pepohonan hijau. Mengalir deras air mengaliri lereng bukit untuk
menghidupi penduduk. Pada sisi atas bukit terdapat sebuah bendungan tua yang
berusia ratusan tahun, tidak tahu bagaimana bendungan alami itu terbentuk, konon
yang dipercayai turun temurun, bendungan
tersebut adalah hasil kerja keras dan gotong royong nenek moyang—para pendahulu
desa, untuk membendung air agar tidak selalu meluap dan membanjiri desa setiap kali hujan turun.
Usia tua bendungan tidak bisa
diperkirakan, di atas bendungan tersebut terdapat sebuah danau purba yang masih
sangat terjaga kelestariannya, tidak ada satupun penduduk desa yang berani
menjangkau tempat tersebut karena konon dijadikan tempat hunian para siluman.
Ada juga yang percaya bahwa tempat tersebut keramat karena tempat para malaikat
menyucikan diri setelah berperang dengan roh-roh dunia yang jahat.
Lokasi yang berdekatan antara
danau tak bernama dan bendungan yang sudah berusia tua tersebut menjadikan
keduanya tempat yang keramat—jarang, bahkan tidak pernah dikunjungi penduduk.
Para penghuni desa hanya menggunakan air yang mengalir dari bendungan tersebut,
baik untuk keperluan minum sehari-hari, mencuci hingga mengairi sawah.
Kehidupan sederhana namun bahagia tercipta di tempat ini, sebuah koloni hidup
pada kaki gunung tak bernama yang tak seorangpun berani menjelajah puncak
tempat tersebut, desa asri tumbuh dengan jumlah penduduk yang kian hari kian
bertambah jumlah penduduknya. Kebutuhan sehari-hari warga desa dipenuhi dengan
bertani pada kaki gunung dan keperluan lainnya dapat mereka peroleh dari kota
atau desa-desa sekitar. Hanya, puncak gunung saja yang tidak tersentuh sama
sekali.
“Seram,
jangan kau coba untuk pergi ke puncaknya”
“Benar?
Bu-bukit? Rak-raksasa?” Seorang anak laki-laki mengarahkan telunjuknya pada
puncak gunung raksasa yang menaungi desa.
“Jangan
macam-macam!” Tepis seorang tua. Tingkahnya gusar sambil melintir sebatang
rokok daun pada tangannya.
“Kau
tak tahu makhluk mengerikan macam apa yang ada di sana” Matanya melotot
mengakhiri ucapannya. “Kenapa kau mau tahu?” Tanyanya memastikan kepada bocah
kecil yang tengah duduk memperhatikan, sesekali mencuri pandang pada puncak
bukit.
Bocah
kecil pengidap gangguan dalam berbahasa di hadapannya ciut. Dengan sekuat diri
ia mencoba menjawab. “Ha-hanya. Cerita”.
“Apa
maksudmu hanya cerita?, Aih, sudahlah sebaiknya kau pulang saja, aku masih
banyak kerjaan” Dengan sikap tak ramah pria tua tersebut mengebas bocah kecil
di hadapannya bak membersihkan debu dari kain lap.
Terpaksa ia beranjak. Bocah
tersebut berlalu, ia masih diburu rasa penasaran. Dilihatnya baik-baik keadaan
sekitar, orang-orang di desa tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, berladang.
Terlihat juga pria tua yang mengusirnya tadi turun dari kediamannya dan membawa
parang pada tangannya sambil mengenakan topi seraung di kepala.
“Apa
yang kau perbuat? Pulanglah.. jangan keluyuran Awam! Nanti orang tuamu cari”
Bentak lelaki tua tersebut saat mendapati bocah tadi masih belum berlalu jauh
dari tempatnya.
Dengan
gesit ia berlari.
Panas
yang terik membuat kerongkongannya kering, Awam berlari kecil untuk mencapai
aliran air yang deras dekat dengan posisinya sekarang. Beberapa meter ia
mendekati aliran air, tertangkap olehnya seorang wanita setengah baya tengah
mencuci pakaian.
“..Mama!..” Pekiknya dalam hati sambil
melotot melihat sosok dekat aliran air.
“Habislah aku, kalau terlihat pasti disuruh
tidur siang” Batinnya. Segera ia mencoba berlari-lari kecil menjauhi tempat
tersebut.
Seteguk air segar menyegarkan
kerongkongannya.
Saat selesai menghilangkan haus,
matanya menangkap gerik seekor burung
kecil tengah berusaha untuk terbang, terseok-seok diombang-ambingkan angin
siang hari yang cukup keras menghantam. Sigap ia mengejarnya untuk menangkap
makhluk kecil tersebut.
Pengejaran
yang sengit membuatnya lupa bahwa sudah cukup jauh tempat yang ia telusuri
sekarang.
Sang
burung luput dari kejarannya dan berhasil meraih dahan pohon lalu menghilang,
Awam memperhatikan tempat ia berada sekarang, ia terhipnotis oleh keindahan
alam. Ditangkap olehnya pemandangan luas setelah ia perhatikan baik-baik tempat
tersebut, menghampar luas permadani air yang terlihat tenang di hadapannya.
Cukup menakutkan baginya saat melihat bagaimana air tersebut meliuk dan
membentuk sebuah pusar air, terdapat juga air deras yang jatuh dari sisi atas
tempat ini. Semakin membuat riuh suara air beradu. Terdengar suara retakan dan
dentuman besar, ia terperanjat lalu melompat pergi, jantungnya berpacu, langkah
kakinya semakin cepat. Ia berlari hingga lupa diri, lalu masuk ke dalam rumah.
Mendapati ibunya yang bingung dengan tingkah Awam.
“Ada
apa? Kenapa lari-lari?” Ibunya mencoba mendekati Awam yang terlihat panik.
“Air.
Besar. Retak..” Awam menunjuk dengan gemetar ke arah bukit.
“Kau
main ke situ?” Terlihat raut ketakutan sekaligus marah di wajah ibunya.
“I-iya.
Ter-sesat” Awam menjawab terbata.
“Jangan
main kesitu lagi, tempat itu angker!” Ia segera menarik Awam dan memeluknya.
“Sudahlah..”
Sambungnya. “Jangan sampai ayahmu tahu nanti, jangan kesitu lagi..” Awam
menangis dalam pelukan ibunya, tubuh ia sekarang menggigil hebat membuat ibunya
tak sampai hati untuk marah.
Awam yang memiliki keterbatasan
dalam hal berbicara, seringkali menjadi bahan olok-olok atau dihindari orang
untuk bercakap-cakap karena bahasanya yang terbata-bata dan sulit untuk
dimengerti, mungkin ia berbeda dalam hal itu, namun, tidak dengan satu hal ini,
rasa penasaran. Rasa ingin tahu meluap dalam dirinya, meski tempo hari ia
terbirit-birit karena dikagetkan suara desau yang menggelegar, namun, Awam
merasa perlu untuk mengunjungi kembali tempatnya tersesat beberapa saat yang
lalu.
“Ma!,
ma-main..” Awam berlalu dan berlari kecil setelah berpamitan dengan ibunya.
Sekarang kembali terhampar di
hadapannya, permadani dan pemandangan tempo hari. Masih dengan liuk arus tenang
dan pusaran air yang terbentuk karena arus yang bertabrakan pada permadani
jernih ini. Suara dentuman kembali terdengar. Awam mencoba tenang, ia
memperhatikan sekitarnya dan mencoba menemukan asal suara tersebut.
Tertangkap
oleh pengamatannya, sebuah batu besar sedang goyang dan sesekali menyentuh
batu-batu sekitarnya, sehingga menimbulkan suara dentuman yang keras. Ia
mencoba mengambil jarak lebih dekat. Sedikit retakan nampak pada batu-batu
sekitarnya karena derasnya arus air, hingga batu tersebut seperti digerakan
untuk mendorong batu-batu sekitarnya bergeser.
Awam
terperanjat. Teringat ibunya yang akan mencari ia jika tidak terlihat di
sekitar rumah, karena biasanya ia hanya bermain dekat rumah saja, tidak pernah
begitu jauh, tetapi mengenai kejadian tempo hari, ia sudah pamit untuk bertemu
Datok Mangi, dalam hal itu saja ia diperbolehkan untuk pergi sedikit jauh dari
rumahnya. Ia berlari kecil menuju rumahnya. Dari kejauhan ia melihat ayahnya
sedang membersihkan jalur air.
“Buat
a-apa?” Tanyanya saat dekat.
“Ini,
memperlancar aliran airnya..” Balas ayahnya yang terus membersihkan aliran air.
Ia
mendekat dan mencoba membantu ayahnya.
“Yakk,
tarik..” Ucap ayahnya memberi aba-aba.
Sebongkah
batu yang lumayan besar disingkirkan dari aliran air.
“Akhir-akhir
ini kok banyak bongkahan batu yang menghambat aliran air ya..” Ayahnya
kebingungan.
“Ke-kenapa?”
Tanggap Awam.
“kalau
ada batu kan menyumbat airnya, jadi kayak bendungan.. airnya tertahan..” Jelas
ayah kepada Awam.
“O..
o..” Awam tampak berpikir.
“Ka-kalau..
batu.. tidak a-ada.. air le-lepas?” Tanyanya.
“Iya..”
Ayahnya keluar dari aliran air.
“Nah,
sekarang sudah lancar..” Ia meraih anaknya untuk pulang.
Sesampainya
di rumah, Awam tampak berpikir mengenai ilmu yang di dapatnya barusan.
Batu menghalangi air,
Batu menghambat aliran air.. Jika
batu tidak ada pada jalur air.. air dapat mengalir..
Ia
terus berpikir. Begitu takjub dengan pengetahuan baru yang ia dapat.
Hari berikutnya, ia kembali
mengunjungi aliran air pada sisi puncak bukit dekat desanya. Kembali ia
perhatikan, terdapat retakan tempo hari pada batu-batu di sekitar batu yang
bergerak oleh hempasan air mulai membesar, makin hebat retakannya. Aliran air
yang meluap melalui sisi-sisi retakannya makin terlihat.
“Tanpa batu, aliran air akan deras..” Ia
melihat arah aliran air jika lepas dari batu besar tersebut.
Tatapannya
mengarah ke desa.
Ia
meneliti kembali permadani jernih tersebut, kapasitas air yang sangat besar.
“Sangat deras.. sangat banyak..”
Awam
kembali berpikir tentang aliran air tersebut. Ia menimbang-nimbang apa yang
kiranya akan terjadi jika batu-batu besar tersebut lepas dan merelakan jumlah
besar air yang telah tertahan sekian lama ini.
“..Tanpa batu.. air deras.. air lancar..” Ia
melirik ke arah desanya.
Tak
mau ambil pusing ia berpikir belum saatnya untuk mengetahui hal ini.
Ia
berlari pulang ke rumahnya.
Esok dan hari-hari berikutnya, Awam
kembali datang dan mencoba belajar tentang batu-batu besar tersebut dan aliran
air. Semakin hari, semakin ia temukan bahwa retakan pada batu tersebut semakin
besar. Akhirnya ia sadar, bahwa hantaman batu besar yang terhempas oleh
besarnya arus air tersebutlah yang telah membuat batu-batu di sekitarnya retak.
Beberapa kepingan batu jatuh pada arus ke arah desanya. Awam mengangguk-angguk.
Mungkin batu-batu itu yang menghambat
aliran air tempo hari. Ia mengingat bagaimana ayahnya membersihkan aliran
air dari batu-batu yang menghambat arusnya.
Cukuplah
pelajaran hari ini. Ia merasa puas dengan pengetahuan barunya, bahwa kepingan
batu-batu itulah yang menghambat arus tempo hari.
**
Hari berikutnya Ia kembali pada
tempat tersebut, didapatinya retakan semakin besar dan arus air semakin deras
menerobos celah-celah pecahnya batu tersebut. Awam tercengang, memperhatikan
fenomena di hadapannya. Suara dentuman keras terdengar. Arus besar terlepas.
Sejumlah besar air yang sekian lama tertahan menerobos dengan liar. Menyapu
bersih pepohonan dijalurnya. Mengarah ke desa yang terletak dibagian kaki gunung.
Terdengar suara riuh, air menyapu desa dengan hebat.
Lalu
Awam?
Setidaknya
ia belajar, lepasnya penahan pada bendungan purba itu telah menguras habis air
yang ditampung selama ini dan menyapu bersih seisi desa pada kaki gunung.
Selesai
yang selamat cuma Awam doang dong?
BalasHapusiya ga sih ??
Mungkin. Masih awam.. wkwk
HapusUahaha aku dapet inti cerpennya sesuai judulnya. Orang-orang sekitar desa memang awam dan mengenai tempat yang dianggap angker itu padahal cuma mitos aja dan belum ada pembuktian. Dan anak kecil yang kurang dalam hal berbicara justru dia yang mencari tahu dan mempelajari apa yang terjadi dengan fenomena alam tersebut
BalasHapusThanks dah mampir :)
HapusKe-awam-an si Awam yang membuat sesuatu yang tidak awam menjadi awam.
BalasHapusa w a m..
Hapus