Sabtu, 15 April 2017

Awam


Suatu desa dikelilingi oleh barisan pepohonan hijau. Mengalir deras air mengaliri lereng bukit untuk menghidupi penduduk. Pada sisi atas bukit terdapat sebuah bendungan tua yang berusia ratusan tahun, tidak tahu bagaimana bendungan alami itu terbentuk, konon yang dipercayai  turun temurun, bendungan tersebut adalah hasil kerja keras dan gotong royong nenek moyang—para pendahulu desa, untuk membendung air agar tidak selalu meluap dan membanjiri desa  setiap kali hujan turun.

Usia tua bendungan tidak bisa diperkirakan, di atas bendungan tersebut terdapat sebuah danau purba yang masih sangat terjaga kelestariannya, tidak ada satupun penduduk desa yang berani menjangkau tempat tersebut karena konon dijadikan tempat hunian para siluman. Ada juga yang percaya bahwa tempat tersebut keramat karena tempat para malaikat menyucikan diri setelah berperang dengan roh-roh dunia yang jahat.

Lokasi yang berdekatan antara danau tak bernama dan bendungan yang sudah berusia tua tersebut menjadikan keduanya tempat yang keramat—jarang, bahkan tidak pernah dikunjungi penduduk. Para penghuni desa hanya menggunakan air yang mengalir dari bendungan tersebut, baik untuk keperluan minum sehari-hari, mencuci hingga mengairi sawah. Kehidupan sederhana namun bahagia tercipta di tempat ini, sebuah koloni hidup pada kaki gunung tak bernama yang tak seorangpun berani menjelajah puncak tempat tersebut, desa asri tumbuh dengan jumlah penduduk yang kian hari kian bertambah jumlah penduduknya. Kebutuhan sehari-hari warga desa dipenuhi dengan bertani pada kaki gunung dan keperluan lainnya dapat mereka peroleh dari kota atau desa-desa sekitar. Hanya, puncak gunung saja yang tidak tersentuh sama sekali.

“Seram, jangan kau coba untuk pergi ke puncaknya”

“Benar? Bu-bukit? Rak-raksasa?” Seorang anak laki-laki mengarahkan telunjuknya pada puncak gunung raksasa yang menaungi desa.

“Jangan macam-macam!” Tepis seorang tua. Tingkahnya gusar sambil melintir sebatang rokok daun pada tangannya.

“Kau tak tahu makhluk mengerikan macam apa yang ada di sana” Matanya melotot mengakhiri ucapannya. “Kenapa kau mau tahu?” Tanyanya memastikan kepada bocah kecil yang tengah duduk memperhatikan, sesekali mencuri pandang pada puncak bukit.

Bocah kecil pengidap gangguan dalam berbahasa di hadapannya ciut. Dengan sekuat diri ia mencoba menjawab. “Ha-hanya. Cerita”.

“Apa maksudmu hanya cerita?, Aih, sudahlah sebaiknya kau pulang saja, aku masih banyak kerjaan” Dengan sikap tak ramah pria tua tersebut mengebas bocah kecil di hadapannya bak membersihkan debu dari kain lap.

Terpaksa ia beranjak. Bocah tersebut berlalu, ia masih diburu rasa penasaran. Dilihatnya baik-baik keadaan sekitar, orang-orang di desa tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, berladang. Terlihat juga pria tua yang mengusirnya tadi turun dari kediamannya dan membawa parang pada tangannya sambil mengenakan topi seraung di kepala.
“Apa yang kau perbuat? Pulanglah.. jangan keluyuran Awam! Nanti orang tuamu cari” Bentak lelaki tua tersebut saat mendapati bocah tadi masih belum berlalu jauh dari tempatnya.

Dengan gesit ia berlari.
Panas yang terik membuat kerongkongannya kering, Awam berlari kecil untuk mencapai aliran air yang deras dekat dengan posisinya sekarang. Beberapa meter ia mendekati aliran air, tertangkap olehnya seorang wanita setengah baya tengah mencuci pakaian.
“..Mama!..” Pekiknya dalam hati sambil melotot melihat sosok dekat aliran air.
Habislah aku, kalau terlihat pasti disuruh tidur siang” Batinnya. Segera ia mencoba berlari-lari kecil menjauhi tempat tersebut.

Seteguk air segar menyegarkan kerongkongannya.

Saat selesai menghilangkan haus, matanya menangkap gerik  seekor burung kecil tengah berusaha untuk terbang, terseok-seok diombang-ambingkan angin siang hari yang cukup keras menghantam. Sigap ia mengejarnya untuk menangkap makhluk kecil tersebut.
Pengejaran yang sengit membuatnya lupa bahwa sudah cukup jauh tempat yang ia telusuri sekarang.
Sang burung luput dari kejarannya dan berhasil meraih dahan pohon lalu menghilang, Awam memperhatikan tempat ia berada sekarang, ia terhipnotis oleh keindahan alam. Ditangkap olehnya pemandangan luas setelah ia perhatikan baik-baik tempat tersebut, menghampar luas permadani air yang terlihat tenang di hadapannya. Cukup menakutkan baginya saat melihat bagaimana air tersebut meliuk dan membentuk sebuah pusar air, terdapat juga air deras yang jatuh dari sisi atas tempat ini. Semakin membuat riuh suara air beradu. Terdengar suara retakan dan dentuman besar, ia terperanjat lalu melompat pergi, jantungnya berpacu, langkah kakinya semakin cepat. Ia berlari hingga lupa diri, lalu masuk ke dalam rumah. Mendapati ibunya yang bingung dengan tingkah Awam.

“Ada apa? Kenapa lari-lari?” Ibunya mencoba mendekati Awam yang terlihat panik.

“Air. Besar. Retak..” Awam menunjuk dengan gemetar ke arah bukit.

“Kau main ke situ?” Terlihat raut ketakutan sekaligus marah di wajah ibunya.

“I-iya. Ter-sesat” Awam menjawab terbata.

“Jangan main kesitu lagi, tempat itu angker!” Ia segera menarik Awam dan memeluknya.

“Sudahlah..” Sambungnya. “Jangan sampai ayahmu tahu nanti, jangan kesitu lagi..” Awam menangis dalam pelukan ibunya, tubuh ia sekarang menggigil hebat membuat ibunya tak sampai hati untuk marah.

            Awam yang memiliki keterbatasan dalam hal berbicara, seringkali menjadi bahan olok-olok atau dihindari orang untuk bercakap-cakap karena bahasanya yang terbata-bata dan sulit untuk dimengerti, mungkin ia berbeda dalam hal itu, namun, tidak dengan satu hal ini, rasa penasaran. Rasa ingin tahu meluap dalam dirinya, meski tempo hari ia terbirit-birit karena dikagetkan suara desau yang menggelegar, namun, Awam merasa perlu untuk mengunjungi kembali tempatnya tersesat beberapa saat yang lalu.

“Ma!, ma-main..” Awam berlalu dan berlari kecil setelah berpamitan dengan ibunya.

            Sekarang kembali terhampar di hadapannya, permadani dan pemandangan tempo hari. Masih dengan liuk arus tenang dan pusaran air yang terbentuk karena arus yang bertabrakan pada permadani jernih ini. Suara dentuman kembali terdengar. Awam mencoba tenang, ia memperhatikan sekitarnya dan mencoba menemukan asal suara tersebut.
Tertangkap oleh pengamatannya, sebuah batu besar sedang goyang dan sesekali menyentuh batu-batu sekitarnya, sehingga menimbulkan suara dentuman yang keras. Ia mencoba mengambil jarak lebih dekat. Sedikit retakan nampak pada batu-batu sekitarnya karena derasnya arus air, hingga batu tersebut seperti digerakan untuk mendorong batu-batu sekitarnya bergeser.

Awam terperanjat. Teringat ibunya yang akan mencari ia jika tidak terlihat di sekitar rumah, karena biasanya ia hanya bermain dekat rumah saja, tidak pernah begitu jauh, tetapi mengenai kejadian tempo hari, ia sudah pamit untuk bertemu Datok Mangi, dalam hal itu saja ia diperbolehkan untuk pergi sedikit jauh dari rumahnya. Ia berlari kecil menuju rumahnya. Dari kejauhan ia melihat ayahnya sedang membersihkan jalur air.

“Buat a-apa?” Tanyanya saat dekat.

“Ini, memperlancar aliran airnya..” Balas ayahnya yang terus membersihkan aliran air.

Ia mendekat dan mencoba membantu ayahnya.
“Yakk, tarik..” Ucap ayahnya memberi aba-aba.

Sebongkah batu yang lumayan besar disingkirkan dari aliran air.
“Akhir-akhir ini kok banyak bongkahan batu yang menghambat aliran air ya..” Ayahnya kebingungan.

“Ke-kenapa?” Tanggap Awam.

“kalau ada batu kan menyumbat airnya, jadi kayak bendungan.. airnya tertahan..” Jelas ayah kepada Awam.

“O.. o..” Awam tampak berpikir.
“Ka-kalau.. batu.. tidak a-ada.. air le-lepas?” Tanyanya.

“Iya..” Ayahnya keluar dari aliran air.
“Nah, sekarang sudah lancar..” Ia meraih anaknya untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Awam tampak berpikir mengenai ilmu yang di dapatnya barusan.
Batu menghalangi air,
Batu menghambat aliran air.. Jika batu tidak ada pada jalur air.. air dapat mengalir..
Ia terus berpikir. Begitu takjub dengan pengetahuan baru yang ia dapat.

Hari berikutnya, ia kembali mengunjungi aliran air pada sisi puncak bukit dekat desanya. Kembali ia perhatikan, terdapat retakan tempo hari pada batu-batu di sekitar batu yang bergerak oleh hempasan air mulai membesar, makin hebat retakannya. Aliran air yang meluap melalui sisi-sisi retakannya makin terlihat.
Tanpa batu, aliran air akan deras..” Ia melihat arah aliran air jika lepas dari batu besar tersebut.

Tatapannya mengarah ke desa.

Ia meneliti kembali permadani jernih tersebut, kapasitas air yang sangat besar.

Sangat deras.. sangat banyak..”

Awam kembali berpikir tentang aliran air tersebut. Ia menimbang-nimbang apa yang kiranya akan terjadi jika batu-batu besar tersebut lepas dan merelakan jumlah besar air yang telah tertahan sekian lama ini.

“..Tanpa batu.. air deras.. air lancar..” Ia melirik ke arah desanya.

Tak mau ambil pusing ia berpikir belum saatnya untuk mengetahui hal ini.
Ia berlari pulang ke rumahnya.

            Esok dan hari-hari berikutnya, Awam kembali datang dan mencoba belajar tentang batu-batu besar tersebut dan aliran air. Semakin hari, semakin ia temukan bahwa retakan pada batu tersebut semakin besar. Akhirnya ia sadar, bahwa hantaman batu besar yang terhempas oleh besarnya arus air tersebutlah yang telah membuat batu-batu di sekitarnya retak. Beberapa kepingan batu jatuh pada arus ke arah desanya. Awam mengangguk-angguk. Mungkin batu-batu itu yang menghambat aliran air tempo hari. Ia mengingat bagaimana ayahnya membersihkan aliran air dari batu-batu yang menghambat arusnya.
Cukuplah pelajaran hari ini. Ia merasa puas dengan pengetahuan barunya, bahwa kepingan batu-batu itulah yang menghambat arus tempo hari.
**

            Hari berikutnya Ia kembali pada tempat tersebut, didapatinya retakan semakin besar dan arus air semakin deras menerobos celah-celah pecahnya batu tersebut. Awam tercengang, memperhatikan fenomena di hadapannya. Suara dentuman keras terdengar. Arus besar terlepas. Sejumlah besar air yang sekian lama tertahan menerobos dengan liar. Menyapu bersih pepohonan dijalurnya. Mengarah ke desa yang terletak dibagian kaki gunung. Terdengar suara riuh, air menyapu desa dengan hebat.
Lalu Awam?
Setidaknya ia belajar, lepasnya penahan pada bendungan purba itu telah menguras habis air yang ditampung selama ini dan menyapu bersih seisi desa pada kaki gunung.
Selesai

6 komentar:

  1. yang selamat cuma Awam doang dong?
    iya ga sih ??

    BalasHapus
  2. Uahaha aku dapet inti cerpennya sesuai judulnya. Orang-orang sekitar desa memang awam dan mengenai tempat yang dianggap angker itu padahal cuma mitos aja dan belum ada pembuktian. Dan anak kecil yang kurang dalam hal berbicara justru dia yang mencari tahu dan mempelajari apa yang terjadi dengan fenomena alam tersebut

    BalasHapus
  3. Ke-awam-an si Awam yang membuat sesuatu yang tidak awam menjadi awam.

    BalasHapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H