Senin, 03 April 2017

Kesepian



Detak jam terus mengusik. Malam ini aku lalui dengan pilu, bukan sebuah rasa patah hati yang merasuk. Aku kesepian.
Yolan, gadis manis yang selalu mengisi hari-hariku terbaring.
Di dalam kamarnya, di ujung kota ini.
*
“Kemana aja? Kok seminggu ini tidak terlihat di kampus?” Sekali sentuhan pada layar smartphoneku. Pesan dikirimkan.
Beberapa saat aku menunggu balasannya, tidak kunjung ia merespon pesanku.
Kulirik jam pada layar handphoneku yang sesekali kuusap untuk memastikan balasan darinya, waktu menunjukan pukul 02:45. Mungkin dia sudah tertidur.
Kurebahkan diri, memasrahkan buai dalam kantuk. Kulepaskan lelah dan membiarkan tubuh beristirahat.
Bep! Bep!
Spontan tanganku meraih HP yang semalam kuletakan dekat tempat tidur. Kuusap layarnya untuk mematikan alarm. Waktu menunjukan pukul 05:45. Waktu favoriteku, karena pada suasana pagi seperti inilah aku bisa menikmati cahaya oranye pagi dari mentari yang masih malu-malu untuk menampakan dirinya.
Kembali kupastikan balasan pesanku semalam. Yolan tidak membalas, ia bahkan belum membaca pesan dariku karena icon centang satu saja yang ditampilkan pada pesan yang kukirimkan, jika pesan sudah centang dua berwarna biru berarti pesan sudah dibaca. Ia masih belum melihat pesanku. Barangkali belum bangun.
**
                Layar Hpku menyala dan bergetar, saat aku baru selesai mandi dan bersiap-siap ke kampus. Segera kuraih, terlihat pesan balasan dari Yolan, “Kangen?” Aku tersenyum. Segera kusentuhkan jari menekan tuts keyboard pada layar HP untuk membalas pesannya.
“Geer! Kemana aja?”
“Ga kemana-kemana kok, ini tanya aku pasti kangen ya? Hihihi” Balas Yolan kemudian.
“Seminggu engga ada kabar, kirain pindah ke dunia lain, wajar aja nanyain kabar..” Kembali kukirimkan pesan padanya.
Jari terus bergerak untuk membalas tiap pesan yang Yolan kirimkan,
Ada suatu rasa yang meledak-ledak dalam dadaku. Sebegitu bahagiakah aku mendapat pesan darinya? Sebelumnya tidak seperti ini.
Layar Hpku kembali menampilkan pesan dari Yolan, “Aku sakit, Raf..”
Aku tertegun. Sakit? Kok aku engga tau?
“Sakit apa?” Tanyaku.
“Bukan apa-apa kok.. sekarang sudah pulih”
“Kok aku engga dikasih tahu dari kemarin-kemarin?”
“Buat apa?”
“Supaya bisa jenguk kamu atau setidaknya temani kalau kamu dirawat di rumah sakit”
“Terus?”
“Terus?? Hey, I am your friend, Ok? If something happen on you, you should call or text me!
Does it matter to you?”
What do you mean?
“Engga, intinya aku engga apa-apa kok..”
“Beneran engga apa-apa? Kok balasanmu jadi aneh gitu?” Pesan terkirim, namun, belum dibaca oleh Yolan. 
Beberapa saat kutunggu jawabannya, ia tidak membalas. Bunyi helaan nafasku berat, memenuhi ruang ini.
Dengan berat hati dan masih memikirkan tentang Yolan, aku bersiap untuk berangkat ke kampus. Pojok biasa tempat aku selalu membaca buku, pandanganku menerawang ke tempat tersebut, aku ingat bagaimana ia selalu menghampiriku untuk mengajakku sekedar mengobrol atau pergi ke kantin. Apa yang terjadi atasmu?
***
Kembali kuraih Hp dari dalam saku celana dan memeriksa kembali pesan yang kukirimkan padanya. Pesan telah ia baca, namun tak ada balasan.
“Yolan, are you ok?” Kukirimkan kembali pesan padanya. Hanya centang satu. Rasa khawatir bercampur sedih beradu dalam hatiku. Apa yang terjadi kepadanya?
Berulang kali kupastikan pesan yang kukirimkan padanya, tetap sama, centang satu dan tidak ada balasan.
            Beberapa hari berlalu, tetap tak kudapatkan balasan ataupun kabar dari Yolan. Sudah sebulan ini ia tidak terlihat di kampus.
Saat sore hari aku mengunjungi sebuah taman,
Tempat dimana aku dan Yolan sering menghabiskan waktu.
Kukenang masa pertamaku berjumpa dengannya, kami berkenalan beberapa bulan yang lalu saat pertama kali masuk kuliah, aku dan dia sekarang menginjak semester dua. Hanya sekitar lima atau enam bulan ini aku mengenalnya, ia seorang teman yang selalu ceria, ramah dan perhatian. Entah mengapa aku menjadi sayang padanya. Tunggu dulu, apa aku mencintainya?
Rasa aneh hadir saat ia tidak lagi mengisi hari-hariku dan menyapa dengan senyum menawannya yang kunikmati. Tanpa kusadari, ia telah menjadi pengisi hari-hariku yang hampa, tanpanya aku merasa sangat kesepian.
Beberapa hari kemudian, aku mencoba untuk menghubungi Yolan kembali. Tetap centang satu dan kucoba untuk menelponnya, nomor yang tertera pada kontaknya tidak aktif.
Taman ini kembali kutelusuri sambil terus mengenang waktuku bersamanya. Sudah dua bulan aku tidak melihatnya atau menerima kabar darinya. Bagiku serasa bertahun-tahun. Aku kesepian...
            Suatu sore kukunjungi kembali taman nostalgia ini,
Dalam sedih dan sepiku, aku hanya ditemani hembusan angin, suara riuh kendaraan yang masih terdengar dari jalan raya dekat tempat ini dan beberapa suara kicau burung. Pulpen dan kertas kujadikan sahabat untuk melepas kisah, aku mulai menulis untuknya, ceritaku, curhatku pada sang kertas melalui kontribusi tinta pulpen :
Aku merenung, biarkan aku hanyut dalam murung..
Aku mengerang, biarkan aku kandas dihempas ombak duka pada karang harapan,
Aku merintih, disesap habis sukaku, oleh cekikikan pilu yang menggerogoti malam dan siang,

Kurehatkan diri sejenak,
Pada pelabuhan ingatan aku terdampar,
Layar yang kugunakan koyak, saat mencoba menggapai asa
Pupuslah seri dalam tumbuhan duri yang membelit hati,

Aku di sini,
Aku sendiri,
Aku kesepian..

Dadaku sesak. Akhirnya aku mengerti rasa ini. Aku mencintainya..
Kulipat kertas tersebut dan menggenggamnya erat, lalu kuletakan dalam saku.
Berharap jika dapat bertemu, akan aku sampaikan padanya bahwa kasihku adalah untuknya.
            Keseharianku dirundung pilu. Perkuliahanku tidak berjalan dengan lancar, beberapa tugas terlambat aku selesaikan, fokusku menjadi kacau, tiap ada gadis yang berlalu, bayangan Yolan selalu kudapati pada wajah mereka. Keadaanku benar-benar rapuh.
Kulangkahkan kaki menuju kamar indekos, dengan langkah berat dan lesu kuhempaskan tubuh pada kursi untuk mengistirahatkan tubuhku.
Hpku bergetar. Segera kuraih, menampilkan pesan baru dari sebuah nomor tak dikenal.
Do you miss me?” Alisku terangkat. Darah serasa mengalir deras dalam tubuhku. Segera kucoba membalas pesan tersebut.
“Yolan, kamu kah?”
“Hahaha.. Iya, aku ini.. Gimana? Kangenkah sama aku?”
“Iya” Balasku cepat, lalu timbul rasa canggung juga menyesal saat pesan tersebut dikirimkan.
“Aku sudah tahu sih, engga nyangka ya.. kamu segitunya rindu sama aku” Balasnya kemudian.
“Kalau kamu tahu kenapa tetap pergi jauh?”
“Aku engga jauh, kamu aja yang terlalu sibuk dengan tidak hadirnya aku di sekitar kamu..”
“Maksudnya?”
“Kamu terlalu larut dalam kesedihan yang sebenarnya engga jelas, padahal aku ada di sekitar kamu, tapi fokusmu pada hilangnya aku.. akhirnya kamu engga bisa liat kalau aku ada di dekatmu..”
“Apa maksudnya?”
Layar handphoneku menyala, terlihat nomor asing tersebut pada panggilan masuk.
“Halo..” Jawabku.
“Besok coba kamu ke kantin lagi..” Suara tersebut singkat dan berakhir dengan nada hening..
****
Ku datangi kantin pagi ini,
Seseorang menepuk bahuku, membuyarkan lamunan..
“Hey..” Sosok tersebut membuatku terbelalak.
“Yolan!.. Kok kamu ada di sini?”
“Apaan sih?” Nadanya mengejek sambil melebarkan senyum pada wajahnya.. “Aku hampir tiap hari ada di sini kali..” Lanjutnya sambil menatapku dengan senyum dan meletakan sebotol minuman pada meja di antara kami..
“Hah?, maksudnya gimana? Aku bingung..”
“Dua bulan yang lalu, aku sakit demam gitu.. Cuma seminggu sih, pas aku udah pulih kamu ada hubungi aku..”
“Setelah itu kamu engga ada balas pesanku..” Potongku sambil memperhatikan wajahnya.
Ia menggigit bibir.
‘Iya sih,..”
“Kenapa?”
“Aku dapat kabar dari teman-teman kalau kamu murung saat aku engga ada, jadi aku tes aja untuk membuang kartuku dan tidak memberimu kabar..”
“Kamu tahu gimana terpuruknya aku tanpa kamu?”
“Apaan sih?, lemah banget jadi cowok.. Hey! Kita masih satu kampus!, aku daftar ulang di jurusan lain, dan fakultas kita bersebelahan.. aku juga liat kok kalau kamu ada di kantin, aku duduk di bagian tengah.. kamu selalu memilih pojokan..” Ia menunjuk ke arah tempat biasa aku menyendiri.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
“..Aku sayang sama kamu, Yolan..” Hanya itu yang bisa aku ungkapkan, seketika kerongkonganku seperti tercekat sesuatu. 

Getir, aku menelan ludah.
I know! Tapi engga segila itu juga kali.. duniamu jadi sempit! Kita satu kampus aja kamu engga tau? Kamu terlalu sibuk dengan kesedihanmu yang engga jelas” Ia menatapku dengan tajam.
“Kenapa kamu menjauh?” Balasku.
“Siapa yang menjauh?, kamu aja yang terlalu gila akan tidak hadirnya aku, come on! Rafli, kita udah dewasa, mahasiswa.. kamu tiap hari sedih dan tidak semangat sejak kita engga ketemu lagi di fakultas? Lalu selain aku, kamu tidak punya teman lain, kamu terlalu menutup diri..” Yolan melotot sambil menekankan tiap perkataannya padaku.
“Engga ada yang bisa aku percaya..”
“Itu masalahmu, itu juga yang buat aku akhirnya takut! Selama seminggu aku engga ada, kamu udah merasa hidupmu engga berguna? Oh, God!..” Ia meneguk sebotol minuman yang ada di hadapannya.
“Aku merasa kamu benar-benar pergi..” Dadaku sesak.
“Pikiranmu terlalu sempit! Dunia engga cuma tentang aku, kalau aku engga ada pun, kamu tetap punya duniamu.. jangan rusak hidup karena ada aku, kalau begini aku jadi merasa aku yang merusak hidupmu..”
Aku terdiam. Kucerna baik-baik tiap perkataannya padaku.
“..Jangan terlalu gila karena aku engga ada di sekitarmu, dunia engga sesempit yang kamu kira, bertemanlah dengan yang lain, jangan melulu tentang aku.. tiap malam aku tetap tidur baik, aku tetap bernafas dan aku punya Tuhan yang memeliharaku.. jangan penjarakan dirimu pada ilusi bodoh tentang kepergianku..” Ia menghela nafas dan berdiri.
“..Oh iya, nomor aku simpan ya.. hubungi aku dan ceritakan tentang teman-teman barumu, carilah teman.. jangan sibuk menyendiri, C’est la vie! .. maaf kalau seolah menghilang dari hidupmu, aku cuma mau kamu belajar kalau hidup bukan soal bersedih tentang hal yang tidak pasti, kuharap kamu menjadi dewasa.. Fakultas kita berseberangan kok, kalau mau bertemu hubungi aja atau kamu bisa main-main ke fakultasku..” Ia berlalu.
            Hari menutup, malam membentangkan bintang menggantikan matahari. Langit penuh akan kerlap kerlip. Di dalam kamarnya, di ujung kota ini, Yolan terbaring, ia terlelap dalam tidurnya. Aku merasakan pilu, ini bukan patah hati tapi sebuah duri yang menyadarkanku, Aku kesepian. Sampai kapan aku bisa bertahan dalam situasi ini,
Kata-kata Yolan terus bergema dalam batinku. Aku butuh teman-teman dalam menjalani hidup ini.

THE END

3 komentar:

  1. Setelah membaca ini saya mendapat pesan moral bahwa hidup bukan hanya kesedihan dan juga bukan hanya soal bahagia, cinta dan soal patah hati... hanya saja kita tidak mau keluar dari zona kita yang menghalangi untuk menelusuri hidup lebih lagi. I love this story so much keren tingkah laku si yolan berharap ingin melakukan seperti ini ke seseorang wkekwkw

    BalasHapus
  2. Dah kayak sinetron hidayah, ada hikmahnya wkwwk..
    Thanks anyway for your comment :)

    BalasHapus
  3. Terfavofit. Suka caranya Yolan. Cara paling efektif sampai saat ini. Terima kasih Yolan sudah meluruhkan selaput hitam di matanya.

    BalasHapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H