Detak jam terus mengusik. Malam ini aku lalui dengan
pilu, bukan sebuah rasa patah hati yang merasuk. Aku kesepian.
Yolan,
gadis manis yang selalu mengisi hari-hariku terbaring.
Di
dalam kamarnya, di ujung kota ini.
*
“Kemana
aja? Kok seminggu ini tidak terlihat di kampus?” Sekali sentuhan pada layar smartphoneku. Pesan dikirimkan.
Beberapa
saat aku menunggu balasannya, tidak kunjung ia merespon pesanku.
Kulirik
jam pada layar handphoneku yang
sesekali kuusap untuk memastikan balasan darinya, waktu menunjukan pukul 02:45.
Mungkin dia sudah tertidur.
Kurebahkan
diri, memasrahkan buai dalam kantuk. Kulepaskan lelah dan membiarkan tubuh
beristirahat.
Bep! Bep!
Spontan tanganku meraih HP yang semalam kuletakan dekat tempat tidur. Kuusap layarnya untuk
mematikan alarm. Waktu menunjukan pukul 05:45. Waktu favoriteku, karena pada suasana pagi seperti inilah aku bisa
menikmati cahaya oranye pagi dari mentari yang masih malu-malu untuk menampakan
dirinya.
Kembali kupastikan balasan pesanku semalam. Yolan tidak membalas, ia bahkan belum membaca pesan dariku karena icon centang satu saja yang ditampilkan pada pesan yang kukirimkan, jika pesan sudah centang dua berwarna biru berarti pesan sudah dibaca. Ia masih belum melihat pesanku. Barangkali belum bangun.
Kembali kupastikan balasan pesanku semalam. Yolan tidak membalas, ia bahkan belum membaca pesan dariku karena icon centang satu saja yang ditampilkan pada pesan yang kukirimkan, jika pesan sudah centang dua berwarna biru berarti pesan sudah dibaca. Ia masih belum melihat pesanku. Barangkali belum bangun.
**
Layar Hpku
menyala dan bergetar, saat aku baru selesai mandi dan bersiap-siap ke kampus. Segera
kuraih, terlihat pesan balasan dari Yolan, “Kangen?” Aku tersenyum. Segera
kusentuhkan jari menekan tuts keyboard pada
layar HP untuk membalas pesannya.
“Geer!
Kemana aja?”
“Ga
kemana-kemana kok, ini tanya aku pasti kangen ya? Hihihi” Balas Yolan kemudian.
“Seminggu
engga ada kabar, kirain pindah ke dunia lain, wajar aja nanyain kabar..”
Kembali kukirimkan pesan padanya.
Jari
terus bergerak untuk membalas tiap pesan yang Yolan kirimkan,
Ada
suatu rasa yang meledak-ledak dalam dadaku. Sebegitu
bahagiakah aku mendapat pesan darinya? Sebelumnya tidak seperti ini.
Layar
Hpku kembali menampilkan pesan dari
Yolan, “Aku sakit, Raf..”
Aku
tertegun. Sakit? Kok aku engga tau?
“Sakit
apa?” Tanyaku.
“Bukan
apa-apa kok.. sekarang sudah pulih”
“Kok
aku engga dikasih tahu dari kemarin-kemarin?”
“Buat
apa?”
“Supaya
bisa jenguk kamu atau setidaknya temani kalau kamu dirawat di rumah sakit”
“Terus?”
“Terus??
Hey, I am your friend, Ok? If something
happen on you, you should call or text me!”
“Does it matter to you?”
“What do you mean?”
“Engga,
intinya aku engga apa-apa kok..”
“Beneran
engga apa-apa? Kok balasanmu jadi aneh gitu?” Pesan terkirim, namun, belum
dibaca oleh Yolan.
Beberapa saat kutunggu jawabannya, ia tidak membalas. Bunyi
helaan nafasku berat, memenuhi ruang ini.
Dengan berat hati dan masih memikirkan tentang
Yolan, aku bersiap untuk berangkat ke kampus. Pojok biasa tempat aku selalu
membaca buku, pandanganku menerawang ke tempat tersebut, aku ingat bagaimana ia
selalu menghampiriku untuk mengajakku sekedar mengobrol atau pergi ke kantin. Apa yang terjadi atasmu?
***
Kembali kuraih Hp
dari dalam saku celana dan memeriksa kembali pesan yang kukirimkan padanya.
Pesan telah ia baca, namun tak ada balasan.
“Yolan,
are you ok?” Kukirimkan kembali pesan
padanya. Hanya centang satu. Rasa khawatir bercampur sedih beradu dalam hatiku.
Apa yang terjadi kepadanya?
Berulang
kali kupastikan pesan yang kukirimkan padanya, tetap sama, centang satu dan
tidak ada balasan.
Beberapa hari berlalu, tetap tak
kudapatkan balasan ataupun kabar dari Yolan. Sudah sebulan ini ia tidak
terlihat di kampus.
Saat
sore hari aku mengunjungi sebuah taman,
Tempat
dimana aku dan Yolan sering menghabiskan waktu.
Kukenang
masa pertamaku berjumpa dengannya, kami berkenalan beberapa bulan yang lalu
saat pertama kali masuk kuliah, aku dan dia sekarang menginjak semester dua.
Hanya sekitar lima atau enam bulan ini aku mengenalnya, ia seorang teman yang
selalu ceria, ramah dan perhatian. Entah mengapa aku menjadi sayang padanya. Tunggu dulu, apa aku mencintainya?
Rasa aneh hadir saat ia tidak lagi mengisi
hari-hariku dan menyapa dengan senyum menawannya yang kunikmati. Tanpa
kusadari, ia telah menjadi pengisi hari-hariku yang hampa, tanpanya aku merasa
sangat kesepian.
Beberapa hari kemudian, aku mencoba untuk
menghubungi Yolan kembali. Tetap centang satu dan kucoba untuk menelponnya,
nomor yang tertera pada kontaknya tidak aktif.
Taman
ini kembali kutelusuri sambil terus mengenang waktuku bersamanya. Sudah dua
bulan aku tidak melihatnya atau menerima kabar darinya. Bagiku serasa
bertahun-tahun. Aku kesepian...
Suatu sore kukunjungi kembali taman
nostalgia ini,
Dalam
sedih dan sepiku, aku hanya ditemani hembusan angin, suara riuh kendaraan yang
masih terdengar dari jalan raya dekat tempat ini dan beberapa suara kicau
burung. Pulpen dan kertas kujadikan sahabat untuk melepas kisah, aku mulai
menulis untuknya, ceritaku, curhatku pada sang kertas melalui kontribusi tinta
pulpen :
Aku merenung,
biarkan aku hanyut dalam murung..
Aku mengerang,
biarkan aku kandas dihempas ombak duka pada karang harapan,
Aku merintih,
disesap habis sukaku, oleh cekikikan pilu yang menggerogoti malam dan siang,
Kurehatkan diri
sejenak,
Pada pelabuhan
ingatan aku terdampar,
Layar yang
kugunakan koyak, saat mencoba menggapai asa
Pupuslah seri
dalam tumbuhan duri yang membelit hati,
Aku di sini,
Aku sendiri,
Aku kesepian..
Dadaku
sesak. Akhirnya aku mengerti rasa ini. Aku
mencintainya..
Kulipat
kertas tersebut dan menggenggamnya erat, lalu kuletakan dalam saku.
Berharap
jika dapat bertemu, akan aku sampaikan padanya bahwa kasihku adalah untuknya.
Keseharianku dirundung pilu. Perkuliahanku
tidak berjalan dengan lancar, beberapa tugas terlambat aku selesaikan, fokusku
menjadi kacau, tiap ada gadis yang berlalu, bayangan Yolan selalu kudapati pada
wajah mereka. Keadaanku benar-benar rapuh.
Kulangkahkan
kaki menuju kamar indekos, dengan
langkah berat dan lesu kuhempaskan tubuh pada kursi untuk mengistirahatkan
tubuhku.
Hpku
bergetar. Segera kuraih, menampilkan pesan baru dari sebuah nomor tak dikenal.
“Do you miss me?” Alisku terangkat. Darah
serasa mengalir deras dalam tubuhku. Segera kucoba membalas pesan tersebut.
“Yolan,
kamu kah?”
“Hahaha..
Iya, aku ini.. Gimana? Kangenkah sama aku?”
“Iya”
Balasku cepat, lalu timbul rasa canggung juga menyesal saat pesan tersebut
dikirimkan.
“Aku
sudah tahu sih, engga nyangka ya.. kamu segitunya rindu sama aku” Balasnya kemudian.
“Kalau
kamu tahu kenapa tetap pergi jauh?”
“Aku
engga jauh, kamu aja yang terlalu sibuk dengan tidak hadirnya aku di sekitar
kamu..”
“Maksudnya?”
“Kamu
terlalu larut dalam kesedihan yang sebenarnya engga jelas, padahal aku ada di
sekitar kamu, tapi fokusmu pada hilangnya aku.. akhirnya kamu engga bisa liat
kalau aku ada di dekatmu..”
“Apa
maksudnya?”
Layar
handphoneku menyala, terlihat nomor asing tersebut pada panggilan masuk.
“Halo..”
Jawabku.
“Besok
coba kamu ke kantin lagi..” Suara tersebut singkat dan berakhir dengan nada
hening..
****
Ku
datangi kantin pagi ini,
Seseorang
menepuk bahuku, membuyarkan lamunan..
“Hey..”
Sosok tersebut membuatku terbelalak.
“Yolan!..
Kok kamu ada di sini?”
“Apaan
sih?” Nadanya mengejek sambil melebarkan senyum pada wajahnya.. “Aku hampir
tiap hari ada di sini kali..” Lanjutnya sambil menatapku dengan senyum dan
meletakan sebotol minuman pada meja di antara kami..
“Hah?,
maksudnya gimana? Aku bingung..”
“Dua
bulan yang lalu, aku sakit demam gitu.. Cuma seminggu sih, pas aku udah pulih
kamu ada hubungi aku..”
“Setelah
itu kamu engga ada balas pesanku..” Potongku sambil memperhatikan wajahnya.
Ia
menggigit bibir.
‘Iya
sih,..”
“Kenapa?”
“Aku
dapat kabar dari teman-teman kalau kamu murung saat aku engga ada, jadi aku tes
aja untuk membuang kartuku dan tidak memberimu kabar..”
“Kamu
tahu gimana terpuruknya aku tanpa kamu?”
“Apaan
sih?, lemah banget jadi cowok.. Hey! Kita masih satu kampus!, aku daftar ulang
di jurusan lain, dan fakultas kita bersebelahan.. aku juga liat kok kalau kamu
ada di kantin, aku duduk di bagian tengah.. kamu selalu memilih pojokan..” Ia
menunjuk ke arah tempat biasa aku menyendiri.
Aku
tidak bisa berkata apa-apa.
“..Aku
sayang sama kamu, Yolan..” Hanya itu yang bisa aku ungkapkan, seketika
kerongkonganku seperti tercekat sesuatu.
Getir, aku menelan ludah.
Getir, aku menelan ludah.
“I know! Tapi engga segila itu juga
kali.. duniamu jadi sempit! Kita satu kampus aja kamu engga tau? Kamu terlalu
sibuk dengan kesedihanmu yang engga jelas” Ia menatapku dengan tajam.
“Kenapa
kamu menjauh?” Balasku.
“Siapa
yang menjauh?, kamu aja yang terlalu gila akan tidak hadirnya aku, come on! Rafli, kita udah dewasa,
mahasiswa.. kamu tiap hari sedih dan tidak semangat sejak kita engga ketemu
lagi di fakultas? Lalu selain aku, kamu tidak punya teman lain, kamu terlalu
menutup diri..” Yolan melotot sambil menekankan tiap perkataannya padaku.
“Engga
ada yang bisa aku percaya..”
“Itu
masalahmu, itu juga yang buat aku akhirnya takut! Selama seminggu aku engga
ada, kamu udah merasa hidupmu engga berguna? Oh, God!..” Ia meneguk sebotol
minuman yang ada di hadapannya.
“Aku
merasa kamu benar-benar pergi..” Dadaku sesak.
“Pikiranmu
terlalu sempit! Dunia engga cuma tentang aku, kalau aku engga ada pun, kamu
tetap punya duniamu.. jangan rusak hidup karena ada aku, kalau begini aku jadi
merasa aku yang merusak hidupmu..”
Aku
terdiam. Kucerna baik-baik tiap perkataannya padaku.
“..Jangan
terlalu gila karena aku engga ada di sekitarmu, dunia engga sesempit yang kamu
kira, bertemanlah dengan yang lain, jangan melulu tentang aku.. tiap malam aku
tetap tidur baik, aku tetap bernafas dan aku punya Tuhan yang memeliharaku..
jangan penjarakan dirimu pada ilusi bodoh tentang kepergianku..” Ia menghela
nafas dan berdiri.
“..Oh
iya, nomor aku simpan ya.. hubungi aku dan ceritakan tentang teman-teman
barumu, carilah teman.. jangan sibuk menyendiri, C’est la vie! .. maaf kalau seolah menghilang dari hidupmu, aku cuma
mau kamu belajar kalau hidup bukan soal bersedih tentang hal yang tidak pasti,
kuharap kamu menjadi dewasa.. Fakultas kita berseberangan kok, kalau mau
bertemu hubungi aja atau kamu bisa main-main ke fakultasku..” Ia berlalu.
Hari menutup, malam membentangkan
bintang menggantikan matahari. Langit penuh akan kerlap kerlip. Di dalam
kamarnya, di ujung kota ini, Yolan terbaring, ia terlelap dalam tidurnya. Aku merasakan
pilu, ini bukan patah hati tapi sebuah duri yang menyadarkanku, Aku kesepian. Sampai kapan aku bisa
bertahan dalam situasi ini,
Kata-kata
Yolan terus bergema dalam batinku. Aku
butuh teman-teman dalam menjalani hidup ini.
THE END
Setelah membaca ini saya mendapat pesan moral bahwa hidup bukan hanya kesedihan dan juga bukan hanya soal bahagia, cinta dan soal patah hati... hanya saja kita tidak mau keluar dari zona kita yang menghalangi untuk menelusuri hidup lebih lagi. I love this story so much keren tingkah laku si yolan berharap ingin melakukan seperti ini ke seseorang wkekwkw
BalasHapusDah kayak sinetron hidayah, ada hikmahnya wkwwk..
BalasHapusThanks anyway for your comment :)
Terfavofit. Suka caranya Yolan. Cara paling efektif sampai saat ini. Terima kasih Yolan sudah meluruhkan selaput hitam di matanya.
BalasHapus