Senin, 17 April 2017

Trotoar Malam Itu



Cinta.
Ungkapan bahagia tak pasti yang tak bisa—sesungguhnya tidak dapat didefinisikan, kadang ia hadir membawa rona pada wajahku dan membuat pipi serasa hangat, hembusan nafas seolah tercekat, muka serasa terbakar sejenak, jatung berdegup kencang dan aku tahu, aku bahagia. Kadang juga ia hadir menyayat hati, menusukan pisau tak kasat mata yang tidak melukai tubuh bagian luarku, tetapi di dalam ini, dadaku, aku merasakan sakit yang sangat hebat. Apa itu cinta?
Dari sekian banyak definisi, tidak satupun yang aku setujui arti dan maknanya karena selalu ada celah untuk menyalahkan. Bagiku?
Bagiku cinta adalah kebodohan dan ketidakwarasan. Bodoh,  saat aku tahu dia akan menyakiti,  tetapi kunikmati—menerimanya, juga  ketidakwarasan, saat kutahu ia mengabaikanku, namun harapku ia menganggapku ada—walau jelas tidak ada aku dalam benaknya.

*

            Perpaduan bodoh dan tidak waras tersebutlah yang membuatku ada di posisi ini. Sudah terlalu lama aku akrab dengan mereka, hingga tak kuanggap menjadi musuh lagi kehadiran keduanya, seutuhnya kuterima—merekalah perwujudan cinta yang aku nikmati.

Kutekuri sisi jalan dalam menung, sesekali kendaraan yang berseliweran dengan angkuh menggelegarkan suara kasarnya, para pengendara congkak ini memekakan hening dengan suara nyaring. Di sinilah aku ditemukan, bergerak dengan perlahan menyusuri trotoar pinggir jalan ini, ditemani sosok yang kukagumi—mungkin dulu lebih tepatnya, namun, Ah! Aku gusar, kuakui bahwa aku melepasnya, tetapi, tak bisa kupungkiri bahwa pesonanya masih memenjarakanku. Jadi seperti apakah aku ini? Aku berangan bebas, namun, terkurung—bahkan dirantai, oleh rasa tak pasti yang penyebabnya ada di sampingku saat ini. Kami terus berjalan melalui trotoar sisi jalan ini.

            Aku memandang ke langit yang kelabu, warna langit malam mengingatkanku pada mendung awan sebelum hujan, aku suka awan, aku juga menyukai hujan, menikmati rintik dan menghirup udara sehabis hujan memberikanku ketenangan yang tidak bisa aku ungkapkan. Kurasakan dingin angin malam menghempas tubuhku, segera kurengkuh badan ini dengan menyelimuti dan memeluknya menggunakan dua sisi jaketku. Kembali ku tatap dengan pandangan nanar, seliweran kendaraan yang lalu lalang. Aku merasa diejek dan dihempas oleh hina. Angin menari disekitarku dan hiruk pikuk ketidak pedulian bertengger di samping kegelisahanku.

Kuhelakan nafas panjang, selangkah kecil demi demi langkah berikutnya, di tengah keramaian, hadirnya senyap antara aku dan pria di sampingku saat ini. Kami hanya diam. Baru beberapa langkah kecil kutapaki, aku mencuri pandang pada sosok di sampingku, sebelum ketahuan mengaguminya, kulemparkan pandangan kedepan, senyum tipis tercipta di bibirku—aku tidak mengerti akan diriku.
Dalam senyap ini, di tengah ramai suara kendaraan, aku menoleh ke sisi lain jalanan. Seperti dihipnotis dan dibius ketidakberdayaan, kurasakan ragaku seperti tidak di sini, konsentrasiku pudar dan anganku lepas, jiwaku terbang seolah meninggalkan raga. Aku melesat, ke suatu tempat, menuju suatu masa—masa lalu, dan kepingan gambar-gambar yang bergerak memenuhi diriku. Aku ingat masa itu. Ingatan dimana aku dan dia pertama kali bertemu.

**

“Lu ngapain di sini?” Suara laki-laki di belakangku membuatku akhirnya menoleh.

“Kenapa emangnya?” Tanyaku ketus.

“Lu engga perhatikan baik-baik instruksi senior?” Ia menatapku tajam.

“Kenapa sih? Apanya yang salah?” Aku mulai ragu dengan posisiku sekarang dan memperhatikan barisan di sekeliling.

“Ini barisan cowok, lu ngapain masuk di sini?” Balasnya kembali dengan nada meninggi, sempat kutangkap senyum sinis di wajahnya.

“EH??, salah ya.. aduh maaf-maaf..” Aku keluar dari barisan tersebut dan buru-buru mencari barisan lain, walaupun aku sendiri tidak mendengar jelas apa yang senior katakan, namun, dari apa yang laki-laki tersebut katakan, aku bisa menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan ditaruh pada barisan terpisah.

Saat sudah berpindah barisan, aku merasa risih karena seperti sedang diawasi seseorang, kuberanikan diri untuk menoleh pada barisan samping, terlihat laki-laki yang sinis tadi melemparkan senyum ke arahku.

“Heh?” Responku singkat sambil mencoba senyum seadanya. Cowok aneh! Modus banget senyumnya!

Program ospek fakultas yang aku ikuti berlangsung sehari saja dikarenakan adanya aturan yang mulai melarang adanya ospek karena menyebabkan banyaknya pem-bully­an juga kekerasan. Aku beruntung berada di angkatan ini.
Sehari sudah berlalu, esoknya kami para mahasiswa baru sudah diijinkan untuk datang ke fakultas masing-masing dan mengikuti pengarahan yang akan diberikan oleh para pemimpin juga senior yang ada di fakultas.
Aku datang pagi-pagi untuk mengikuti arahan hari ini karena takut akan terlambat dan menjadi bulan-bulanan senior, walaupun senioritas sudah dihapuskan, namun, perkataan sinis tetap menjadi budaya yang beberapa senior suka kumandangkan, bagiku hal ini termasuk bully.
            Mahasiswa baru yang satu jurusan denganku juga satu angkatan dikumpulkan dalam ruangan ini. Beberapa arahan diberikan oleh para dosen juga senior, mulai dari perkenalan para pemimpin fakultas, keunikan kampus hingga arahan profesi setelah lulus nanti, peluang kerja apa saja yang bisa ditekuni setelah lulus dari tempat ini. Waktu berlalu, dari pagi hingga siang hari mendengarkan arahan yang diberikan membuatku mengantuk, fokusku buyar saat beberapa mahasiswa baru saling berkenalan dan mulai riuh. Kami dibiarkan diam dalam ruangan, sementara para senior dan dosen meninggalkan ruangan untuk istirahat, sungguh tidak adil.
Lamunanku terganggu oleh seseorang dibelakangku,
“Hai..” Sapanya. Kuperhatikan baik-baik sosok tersebut..
“Mau informasi engga?” Lanjutnya sambil terus memandangiku yang termanggu.

“Apa?” Jawabku singkat.

“Kenalan dulu dong..” Ia menyodorkan tangannya disertai senyuman pada wajahnya.
“Nama lu siapa?..” lanjutnya.

“Eza Helna Raya” Jawabku seadanya.

“Panggil gue Shin..” Ia melepaskan salamannya dan terus memperhatikanku..
Aku gugup dan coba melanjutkan.. “Udahkan? Apa infonya?..”.

Ia kembali tersenyum.
“Besok datang lagi ya, pakai pakaian yang sama kayak sekarang, pakai almet, rambut lu kepang dan bawa tanaman hijau..”. Aku terperangkap dalam tatapannya yang tak lepas memperhatikanku. “Ngertikan?” Pungkasnya.

“I-iya..”.

“Boleh minta kontak lu engga?” Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya.

“Bentar..” Aku meraih hpku dan memberikan kontakku padanya.

            Seperti kisah klise yang umumnya terjadi, itu adalah awal dari kedekatanku padanya. Kami sempat menjalani hubungan layaknya sepasang kekasih, namun, kisah kami kandas. Ada hal yang belum kuat untuk hatiku mengisahkannya.
Yang pasti, posisi sekarang..
Di sinilah aku berada.. Sudah dua tahun sejak pertemuan pertama kami..

            Malam ini, ia berjalan di sampingku dengan acuh, tidak mengungkapkan satu katapun. Kami terus berjalan menyusuri trotoar ini.
Sore tadi ia menghubungiku untuk bertemu, segera ku iyakan, tidak bisa kupungkiri, apapun yang ia minta, sejauh ini dalam hidupku, tepatnya setelah kisah dua tahun yang lalu, sebisaku, akan selalu kuturuti kemauannya. Begitu juga dengan malam ini, walau aku hanya menjadi teman heningnya dalam perjalanan di trotoar ini, aku merasa bahagia.

Mengapa aku begitu bodoh dan lumpuh oleh ketidakwarasan dalam cinta..

Langkah itu tiba-tiba berhenti.

Aku ikut membatu, menghentikan gerakku..

Ia mengarahkan badannya menghadapku, aku hanya bisa tertunduk sambil sesekali mencoba menantang padangan itu, ia menatapku seperti pada tatapan pertamanya dulu, tetap mata dan tatapan yang sama.

“Za.. lu kapan sih bisa ngelepasin gua? Biar gua bebas..” Ia menatapku dengan dalam. Aku terkesiak, kata-katanya begitu menyakitkan bagiku, bagaikan pisau yang menusuk jantung.

Jadi aku adalah penghalang kebebasannya?

Aku berbalik dari hadapannya, kembali kutekuri trotoar ini, suara kendaraan terus lalu-lalang tak kuhiraukan. “Biar gua bebas..”
Tetap kata-katanya barusan menggema dalam batinku.
Apakah aku penghalang kebebasannya?

Bodoh dan tidak waras. Sudah terlalu lama aku akrab dengan mereka, hingga tak kuanggap menjadi musuh lagi kehadiran keduanya, seutuhnya kuterima—merekalah perwujudan cinta yang aku nikmati. Namun...
Kali ini, aku ragu akan rasa ini..
Apa itu cinta?

Sabtu, 15 April 2017

Awam


Suatu desa dikelilingi oleh barisan pepohonan hijau. Mengalir deras air mengaliri lereng bukit untuk menghidupi penduduk. Pada sisi atas bukit terdapat sebuah bendungan tua yang berusia ratusan tahun, tidak tahu bagaimana bendungan alami itu terbentuk, konon yang dipercayai  turun temurun, bendungan tersebut adalah hasil kerja keras dan gotong royong nenek moyang—para pendahulu desa, untuk membendung air agar tidak selalu meluap dan membanjiri desa  setiap kali hujan turun.

Usia tua bendungan tidak bisa diperkirakan, di atas bendungan tersebut terdapat sebuah danau purba yang masih sangat terjaga kelestariannya, tidak ada satupun penduduk desa yang berani menjangkau tempat tersebut karena konon dijadikan tempat hunian para siluman. Ada juga yang percaya bahwa tempat tersebut keramat karena tempat para malaikat menyucikan diri setelah berperang dengan roh-roh dunia yang jahat.

Lokasi yang berdekatan antara danau tak bernama dan bendungan yang sudah berusia tua tersebut menjadikan keduanya tempat yang keramat—jarang, bahkan tidak pernah dikunjungi penduduk. Para penghuni desa hanya menggunakan air yang mengalir dari bendungan tersebut, baik untuk keperluan minum sehari-hari, mencuci hingga mengairi sawah. Kehidupan sederhana namun bahagia tercipta di tempat ini, sebuah koloni hidup pada kaki gunung tak bernama yang tak seorangpun berani menjelajah puncak tempat tersebut, desa asri tumbuh dengan jumlah penduduk yang kian hari kian bertambah jumlah penduduknya. Kebutuhan sehari-hari warga desa dipenuhi dengan bertani pada kaki gunung dan keperluan lainnya dapat mereka peroleh dari kota atau desa-desa sekitar. Hanya, puncak gunung saja yang tidak tersentuh sama sekali.

“Seram, jangan kau coba untuk pergi ke puncaknya”

“Benar? Bu-bukit? Rak-raksasa?” Seorang anak laki-laki mengarahkan telunjuknya pada puncak gunung raksasa yang menaungi desa.

“Jangan macam-macam!” Tepis seorang tua. Tingkahnya gusar sambil melintir sebatang rokok daun pada tangannya.

“Kau tak tahu makhluk mengerikan macam apa yang ada di sana” Matanya melotot mengakhiri ucapannya. “Kenapa kau mau tahu?” Tanyanya memastikan kepada bocah kecil yang tengah duduk memperhatikan, sesekali mencuri pandang pada puncak bukit.

Bocah kecil pengidap gangguan dalam berbahasa di hadapannya ciut. Dengan sekuat diri ia mencoba menjawab. “Ha-hanya. Cerita”.

“Apa maksudmu hanya cerita?, Aih, sudahlah sebaiknya kau pulang saja, aku masih banyak kerjaan” Dengan sikap tak ramah pria tua tersebut mengebas bocah kecil di hadapannya bak membersihkan debu dari kain lap.

Terpaksa ia beranjak. Bocah tersebut berlalu, ia masih diburu rasa penasaran. Dilihatnya baik-baik keadaan sekitar, orang-orang di desa tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, berladang. Terlihat juga pria tua yang mengusirnya tadi turun dari kediamannya dan membawa parang pada tangannya sambil mengenakan topi seraung di kepala.
“Apa yang kau perbuat? Pulanglah.. jangan keluyuran Awam! Nanti orang tuamu cari” Bentak lelaki tua tersebut saat mendapati bocah tadi masih belum berlalu jauh dari tempatnya.

Dengan gesit ia berlari.
Panas yang terik membuat kerongkongannya kering, Awam berlari kecil untuk mencapai aliran air yang deras dekat dengan posisinya sekarang. Beberapa meter ia mendekati aliran air, tertangkap olehnya seorang wanita setengah baya tengah mencuci pakaian.
“..Mama!..” Pekiknya dalam hati sambil melotot melihat sosok dekat aliran air.
Habislah aku, kalau terlihat pasti disuruh tidur siang” Batinnya. Segera ia mencoba berlari-lari kecil menjauhi tempat tersebut.

Seteguk air segar menyegarkan kerongkongannya.

Saat selesai menghilangkan haus, matanya menangkap gerik  seekor burung kecil tengah berusaha untuk terbang, terseok-seok diombang-ambingkan angin siang hari yang cukup keras menghantam. Sigap ia mengejarnya untuk menangkap makhluk kecil tersebut.
Pengejaran yang sengit membuatnya lupa bahwa sudah cukup jauh tempat yang ia telusuri sekarang.
Sang burung luput dari kejarannya dan berhasil meraih dahan pohon lalu menghilang, Awam memperhatikan tempat ia berada sekarang, ia terhipnotis oleh keindahan alam. Ditangkap olehnya pemandangan luas setelah ia perhatikan baik-baik tempat tersebut, menghampar luas permadani air yang terlihat tenang di hadapannya. Cukup menakutkan baginya saat melihat bagaimana air tersebut meliuk dan membentuk sebuah pusar air, terdapat juga air deras yang jatuh dari sisi atas tempat ini. Semakin membuat riuh suara air beradu. Terdengar suara retakan dan dentuman besar, ia terperanjat lalu melompat pergi, jantungnya berpacu, langkah kakinya semakin cepat. Ia berlari hingga lupa diri, lalu masuk ke dalam rumah. Mendapati ibunya yang bingung dengan tingkah Awam.

“Ada apa? Kenapa lari-lari?” Ibunya mencoba mendekati Awam yang terlihat panik.

“Air. Besar. Retak..” Awam menunjuk dengan gemetar ke arah bukit.

“Kau main ke situ?” Terlihat raut ketakutan sekaligus marah di wajah ibunya.

“I-iya. Ter-sesat” Awam menjawab terbata.

“Jangan main kesitu lagi, tempat itu angker!” Ia segera menarik Awam dan memeluknya.

“Sudahlah..” Sambungnya. “Jangan sampai ayahmu tahu nanti, jangan kesitu lagi..” Awam menangis dalam pelukan ibunya, tubuh ia sekarang menggigil hebat membuat ibunya tak sampai hati untuk marah.

            Awam yang memiliki keterbatasan dalam hal berbicara, seringkali menjadi bahan olok-olok atau dihindari orang untuk bercakap-cakap karena bahasanya yang terbata-bata dan sulit untuk dimengerti, mungkin ia berbeda dalam hal itu, namun, tidak dengan satu hal ini, rasa penasaran. Rasa ingin tahu meluap dalam dirinya, meski tempo hari ia terbirit-birit karena dikagetkan suara desau yang menggelegar, namun, Awam merasa perlu untuk mengunjungi kembali tempatnya tersesat beberapa saat yang lalu.

“Ma!, ma-main..” Awam berlalu dan berlari kecil setelah berpamitan dengan ibunya.

            Sekarang kembali terhampar di hadapannya, permadani dan pemandangan tempo hari. Masih dengan liuk arus tenang dan pusaran air yang terbentuk karena arus yang bertabrakan pada permadani jernih ini. Suara dentuman kembali terdengar. Awam mencoba tenang, ia memperhatikan sekitarnya dan mencoba menemukan asal suara tersebut.
Tertangkap oleh pengamatannya, sebuah batu besar sedang goyang dan sesekali menyentuh batu-batu sekitarnya, sehingga menimbulkan suara dentuman yang keras. Ia mencoba mengambil jarak lebih dekat. Sedikit retakan nampak pada batu-batu sekitarnya karena derasnya arus air, hingga batu tersebut seperti digerakan untuk mendorong batu-batu sekitarnya bergeser.

Awam terperanjat. Teringat ibunya yang akan mencari ia jika tidak terlihat di sekitar rumah, karena biasanya ia hanya bermain dekat rumah saja, tidak pernah begitu jauh, tetapi mengenai kejadian tempo hari, ia sudah pamit untuk bertemu Datok Mangi, dalam hal itu saja ia diperbolehkan untuk pergi sedikit jauh dari rumahnya. Ia berlari kecil menuju rumahnya. Dari kejauhan ia melihat ayahnya sedang membersihkan jalur air.

“Buat a-apa?” Tanyanya saat dekat.

“Ini, memperlancar aliran airnya..” Balas ayahnya yang terus membersihkan aliran air.

Ia mendekat dan mencoba membantu ayahnya.
“Yakk, tarik..” Ucap ayahnya memberi aba-aba.

Sebongkah batu yang lumayan besar disingkirkan dari aliran air.
“Akhir-akhir ini kok banyak bongkahan batu yang menghambat aliran air ya..” Ayahnya kebingungan.

“Ke-kenapa?” Tanggap Awam.

“kalau ada batu kan menyumbat airnya, jadi kayak bendungan.. airnya tertahan..” Jelas ayah kepada Awam.

“O.. o..” Awam tampak berpikir.
“Ka-kalau.. batu.. tidak a-ada.. air le-lepas?” Tanyanya.

“Iya..” Ayahnya keluar dari aliran air.
“Nah, sekarang sudah lancar..” Ia meraih anaknya untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Awam tampak berpikir mengenai ilmu yang di dapatnya barusan.
Batu menghalangi air,
Batu menghambat aliran air.. Jika batu tidak ada pada jalur air.. air dapat mengalir..
Ia terus berpikir. Begitu takjub dengan pengetahuan baru yang ia dapat.

Hari berikutnya, ia kembali mengunjungi aliran air pada sisi puncak bukit dekat desanya. Kembali ia perhatikan, terdapat retakan tempo hari pada batu-batu di sekitar batu yang bergerak oleh hempasan air mulai membesar, makin hebat retakannya. Aliran air yang meluap melalui sisi-sisi retakannya makin terlihat.
Tanpa batu, aliran air akan deras..” Ia melihat arah aliran air jika lepas dari batu besar tersebut.

Tatapannya mengarah ke desa.

Ia meneliti kembali permadani jernih tersebut, kapasitas air yang sangat besar.

Sangat deras.. sangat banyak..”

Awam kembali berpikir tentang aliran air tersebut. Ia menimbang-nimbang apa yang kiranya akan terjadi jika batu-batu besar tersebut lepas dan merelakan jumlah besar air yang telah tertahan sekian lama ini.

“..Tanpa batu.. air deras.. air lancar..” Ia melirik ke arah desanya.

Tak mau ambil pusing ia berpikir belum saatnya untuk mengetahui hal ini.
Ia berlari pulang ke rumahnya.

            Esok dan hari-hari berikutnya, Awam kembali datang dan mencoba belajar tentang batu-batu besar tersebut dan aliran air. Semakin hari, semakin ia temukan bahwa retakan pada batu tersebut semakin besar. Akhirnya ia sadar, bahwa hantaman batu besar yang terhempas oleh besarnya arus air tersebutlah yang telah membuat batu-batu di sekitarnya retak. Beberapa kepingan batu jatuh pada arus ke arah desanya. Awam mengangguk-angguk. Mungkin batu-batu itu yang menghambat aliran air tempo hari. Ia mengingat bagaimana ayahnya membersihkan aliran air dari batu-batu yang menghambat arusnya.
Cukuplah pelajaran hari ini. Ia merasa puas dengan pengetahuan barunya, bahwa kepingan batu-batu itulah yang menghambat arus tempo hari.
**

            Hari berikutnya Ia kembali pada tempat tersebut, didapatinya retakan semakin besar dan arus air semakin deras menerobos celah-celah pecahnya batu tersebut. Awam tercengang, memperhatikan fenomena di hadapannya. Suara dentuman keras terdengar. Arus besar terlepas. Sejumlah besar air yang sekian lama tertahan menerobos dengan liar. Menyapu bersih pepohonan dijalurnya. Mengarah ke desa yang terletak dibagian kaki gunung. Terdengar suara riuh, air menyapu desa dengan hebat.
Lalu Awam?
Setidaknya ia belajar, lepasnya penahan pada bendungan purba itu telah menguras habis air yang ditampung selama ini dan menyapu bersih seisi desa pada kaki gunung.
Selesai

Kamis, 06 April 2017

Bertemu



Jemari tangan kanan mengetuk pelan di atas meja putih. Sesekali mengusap layar handphone, kembali memeriksa posisi jarum jam pada tembok cafe ini. Waktu terasa begitu lambat bergerak.
Kembali tangan itu mengeluarkan Hp dari sakunya, memeriksa pesan yang ia terima dari sebuah kontak asing pagi tadi, “Ada waktu kosong ga?, bisa ketemu nanti malam jam 9, di tempat biasa nongkrong dulu ya”. Pesan tersebut ia tutup, matanya kembali melirik ke arah jam dinding. Masih pukul 20:40.
Jarinya terus mengetuk pelan pada permukaan meja, sambil sesekali menyeruput minuman yang ia pesan saat tiba sekitar 20 menit yang lalu di tempat ini.
Penantiannya berakhir, seorang lelaki terlihat memasuki cafe ini, dengan setelan kaos oblong dan celanan jeans. Ia masih sama seperti yang dulu.

“Hai, apa kabar?” Lelaki tersebut mendekat dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Baik..” Balas gadis yang sudah menunggu 20 menit di cafe ini.

“Sudah lama tunggunya?” Tanya pria tersebut, sambil mengambil posisi duduk di hadapan si gadis.

“Engga juga, sekitar 20 menitan sih..” Jawab si gadis sekenanya.
“Pesan minum?” Lanjutnya menawarkan kepada laki-laki yang berada di hadapannya saat ini.

“Iya,  boleh..”.
*
            “Jadi?, Kenapa ajak ketemuan?” Si gadis mencoba membuka percakapan setelah beberapa menit berlalu dalam hening. Sementara si lelaki menampilkan ekspresi datar dengan terus memandang kepada sosok yang ada di hadapannya.

“Akhirnya, mau ketemu juga..” Balas lelaki tersebut.

“Maksudnya?” Si gadis kebingungan.

“Dulu kamu pernah bilang kalau engga mau ketemu karena hatimu belum siap..”

“Oh, iya sih.. itu sudah lama sih..” Si gadis mencoba untuk mengingat-ingat kembali masa saat ia menyampaikan hal tersebut.

“Dua tahun yang lalu lebih tepatnya..” Jelas lelaki yang ada di hadapannya sambil melempar senyuman.

“Nah, itu.. aku sudah lupa soalnya..” Hening tercipta sejenak.
“Jadi, ketemu untuk bahas ini?” Sambung si gadis penasaran.

“Engga sih, kebetulan pas lagi di sini aja, jadi ajak ketemuan..” Balas si lelaki seadanya sambil menyambut minuman yang ia pesan tiba.

“Oh, kirain ada perlu apa..” Pandangan si gadis beralih ke sisi jendela dekat mereka duduk saat ini.

“Kebetulan kamu mau ketemu juga kan?” Kembali senyum sang lelaki berikan bagi sosok di hadapannya.

“Iya, pas lagi engga sibuk juga..” Si gadis tertunduk, sambil meraih minuman yang ada di hadapannya, ia meneguk sedikit.

“Waktu itu kamu bilang mau ketemu kalau sudah siap hati?” Si lelaki kembali memulai pembicaraan.
“Itu gimana maksudnya? Emang kita musuhan?” Sambungnya dengan penuh selidik.

“Engga, bukan gitu.. Udahlah engga usah dibahas.. Sudah lama juga kan” Si gadis membenarkan posisi duduknya.

“Kayak merasa musuhan aja sih karena waktu itu kamu bilang soal belum siap hati segala untuk ketemu, maksudku kan untuk ketemua biasa aja sebagai teman lama..”

“Iya sih, aku lagi engga jelas waktu itu.. jadi ya begitulah..” Sipu si gadis tertunduk.

“Yaudah, aku cuma mau ketemu kamu aja.. engga akan bahas itu lagi kalau kamu engga mau..” Pungkas si lelaki untuk menyudahi perbincangan tentang hal dua tahun lalu.

Pembicaraan kecil terjadi,
Menyangkut kesibukan-kesibukan mereka saat ini.
Tidak banyak hal yang penting untuk diungkapkan. Kisah ini hanya sebuah pertemuan biasa.
Tidak ada ungkapan jelas untuk kisah dua tahun lalu, biarlah mereka masing-masing menyimpan misteri akan hal tersebut, sekiranya malaikat tahu hal tersebut, biarlah ia juga bungkam.

Sebuah Catatan Subuh



Serupa jalan sebuah pencarian,
Langkah kalut dan ekspresi getir tak harus digambarkan tatih pada pinggiran jalan, yang sering menjadi favorite view untuk mengundang iba.
Segelas kopi di atas meja yang tak tersentuh bisa bercerita tentang ini,
Berisik pagi terdengar, bukan hari yang meraung—manusialah yang mengerang.
Tiba pada satu titik,
Setelah malam dilewati, menjumpai garis pagi, yang tak kunjung menjadi tepi; sebuah peraduan untuk lelap—harusnya malam yang menjadi kawan.
“Seharusnya selesai..” Hempas,  gumam hampa untuk menyudahi aktivitas demi tugas tak tuntas.
Aku mengenal subuh ini,
Suara riuh—nuansa dingin embun yang menjadi khas, “Sudah pasti menjadi awal yang baik..”.
Ia berlalu, dalam ringkuk rana yang tak pasti, tatapan kosong sambil mengusap layar handphone.
“Tak kunjung pagi kujumpai..”. Pungkas.
Mengakhiri gerak, walau tanggung jawab masih belum terpenuhi.
            Entah gulana dalam rasuk lelah,
Apakah resah atas gundah yang tak berarah,
Sekali coba mereka, tak juga suara membentuk suaka.
Pagi merona, kami hanya bisa tertawa.
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H