Cinta.
Ungkapan
bahagia tak pasti yang tak bisa—sesungguhnya tidak dapat didefinisikan, kadang
ia hadir membawa rona pada wajahku dan membuat pipi serasa hangat, hembusan
nafas seolah tercekat, muka serasa terbakar sejenak, jatung berdegup kencang
dan aku tahu, aku bahagia. Kadang juga ia hadir menyayat hati, menusukan pisau
tak kasat mata yang tidak melukai tubuh bagian luarku, tetapi di dalam ini,
dadaku, aku merasakan sakit yang sangat hebat. Apa itu cinta?
Dari
sekian banyak definisi, tidak satupun yang aku setujui arti dan maknanya karena
selalu ada celah untuk menyalahkan. Bagiku?
Bagiku
cinta adalah kebodohan dan ketidakwarasan. Bodoh, saat aku tahu dia akan menyakiti, tetapi kunikmati—menerimanya, juga ketidakwarasan, saat kutahu ia mengabaikanku,
namun harapku ia menganggapku ada—walau jelas tidak ada aku dalam benaknya.
*
Perpaduan bodoh dan tidak waras
tersebutlah yang membuatku ada di posisi ini. Sudah terlalu lama aku akrab
dengan mereka, hingga tak kuanggap menjadi musuh lagi kehadiran keduanya,
seutuhnya kuterima—merekalah perwujudan cinta yang aku nikmati.
Kutekuri
sisi jalan dalam menung, sesekali kendaraan yang berseliweran dengan angkuh
menggelegarkan suara kasarnya, para pengendara congkak ini memekakan hening
dengan suara nyaring. Di sinilah aku ditemukan, bergerak dengan perlahan
menyusuri trotoar pinggir jalan ini, ditemani sosok yang kukagumi—mungkin dulu
lebih tepatnya, namun, Ah! Aku gusar, kuakui bahwa aku melepasnya, tetapi, tak
bisa kupungkiri bahwa pesonanya masih memenjarakanku. Jadi seperti apakah aku
ini? Aku berangan bebas, namun, terkurung—bahkan dirantai, oleh rasa tak pasti
yang penyebabnya ada di sampingku saat ini. Kami terus berjalan melalui trotoar
sisi jalan ini.
Aku memandang ke langit yang kelabu,
warna langit malam mengingatkanku pada mendung awan sebelum hujan, aku suka
awan, aku juga menyukai hujan, menikmati rintik dan menghirup udara sehabis
hujan memberikanku ketenangan yang tidak bisa aku ungkapkan. Kurasakan dingin
angin malam menghempas tubuhku, segera kurengkuh badan ini dengan menyelimuti
dan memeluknya menggunakan dua sisi jaketku. Kembali ku tatap dengan pandangan
nanar, seliweran kendaraan yang lalu lalang. Aku merasa diejek dan dihempas
oleh hina. Angin menari disekitarku dan hiruk pikuk ketidak pedulian bertengger
di samping kegelisahanku.
Kuhelakan
nafas panjang, selangkah kecil demi demi langkah berikutnya, di tengah
keramaian, hadirnya senyap antara aku dan pria di sampingku saat ini. Kami
hanya diam. Baru beberapa langkah kecil kutapaki, aku mencuri pandang pada
sosok di sampingku, sebelum ketahuan mengaguminya, kulemparkan pandangan
kedepan, senyum tipis tercipta di bibirku—aku tidak mengerti akan diriku.
Dalam
senyap ini, di tengah ramai suara kendaraan, aku menoleh ke sisi lain jalanan.
Seperti dihipnotis dan dibius ketidakberdayaan, kurasakan ragaku seperti tidak
di sini, konsentrasiku pudar dan anganku lepas, jiwaku terbang seolah
meninggalkan raga. Aku melesat, ke suatu tempat, menuju suatu masa—masa lalu,
dan kepingan gambar-gambar yang bergerak memenuhi diriku. Aku ingat masa itu.
Ingatan dimana aku dan dia pertama kali bertemu.
**
“Lu
ngapain di sini?” Suara laki-laki di belakangku membuatku akhirnya menoleh.
“Kenapa
emangnya?” Tanyaku ketus.
“Lu
engga perhatikan baik-baik instruksi senior?” Ia menatapku tajam.
“Kenapa
sih? Apanya yang salah?” Aku mulai ragu dengan posisiku sekarang dan
memperhatikan barisan di sekeliling.
“Ini
barisan cowok, lu ngapain masuk di sini?” Balasnya kembali dengan nada
meninggi, sempat kutangkap senyum sinis di wajahnya.
“EH??,
salah ya.. aduh maaf-maaf..” Aku keluar dari barisan tersebut dan buru-buru
mencari barisan lain, walaupun aku sendiri tidak mendengar jelas apa yang
senior katakan, namun, dari apa yang laki-laki tersebut katakan, aku bisa
menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan ditaruh pada barisan terpisah.
Saat
sudah berpindah barisan, aku merasa risih karena seperti sedang diawasi
seseorang, kuberanikan diri untuk menoleh pada barisan samping, terlihat
laki-laki yang sinis tadi melemparkan senyum ke arahku.
“Heh?”
Responku singkat sambil mencoba senyum seadanya. Cowok aneh! Modus banget senyumnya!
Program
ospek fakultas yang aku ikuti berlangsung sehari saja dikarenakan adanya aturan
yang mulai melarang adanya ospek karena menyebabkan banyaknya pem-bullyan juga kekerasan. Aku beruntung
berada di angkatan ini.
Sehari
sudah berlalu, esoknya kami para mahasiswa baru sudah diijinkan untuk datang ke
fakultas masing-masing dan mengikuti pengarahan yang akan diberikan oleh para
pemimpin juga senior yang ada di fakultas.
Aku
datang pagi-pagi untuk mengikuti arahan hari ini karena takut akan terlambat
dan menjadi bulan-bulanan senior, walaupun senioritas sudah dihapuskan, namun,
perkataan sinis tetap menjadi budaya yang beberapa senior suka kumandangkan,
bagiku hal ini termasuk bully.
Mahasiswa baru yang satu jurusan
denganku juga satu angkatan dikumpulkan dalam ruangan ini. Beberapa arahan
diberikan oleh para dosen juga senior, mulai dari perkenalan para pemimpin
fakultas, keunikan kampus hingga arahan profesi setelah lulus nanti, peluang
kerja apa saja yang bisa ditekuni setelah lulus dari tempat ini. Waktu berlalu,
dari pagi hingga siang hari mendengarkan arahan yang diberikan membuatku
mengantuk, fokusku buyar saat beberapa mahasiswa baru saling berkenalan dan
mulai riuh. Kami dibiarkan diam dalam ruangan, sementara para senior dan dosen
meninggalkan ruangan untuk istirahat, sungguh tidak adil.
Lamunanku
terganggu oleh seseorang dibelakangku,
“Hai..”
Sapanya. Kuperhatikan baik-baik sosok tersebut..
“Mau
informasi engga?” Lanjutnya sambil terus memandangiku yang termanggu.
“Apa?”
Jawabku singkat.
“Kenalan
dulu dong..” Ia menyodorkan tangannya disertai senyuman pada wajahnya.
“Nama
lu siapa?..” lanjutnya.
“Eza
Helna Raya” Jawabku seadanya.
“Panggil
gue Shin..” Ia melepaskan salamannya dan terus memperhatikanku..
Aku
gugup dan coba melanjutkan.. “Udahkan? Apa infonya?..”.
Ia
kembali tersenyum.
“Besok
datang lagi ya, pakai pakaian yang sama kayak sekarang, pakai almet, rambut lu
kepang dan bawa tanaman hijau..”. Aku terperangkap dalam tatapannya yang tak
lepas memperhatikanku. “Ngertikan?” Pungkasnya.
“I-iya..”.
“Boleh
minta kontak lu engga?” Ia mengeluarkan handphone
dari saku celananya.
“Bentar..”
Aku meraih hpku dan memberikan
kontakku padanya.
Seperti kisah klise yang umumnya
terjadi, itu adalah awal dari kedekatanku padanya. Kami sempat menjalani hubungan
layaknya sepasang kekasih, namun, kisah kami kandas. Ada hal yang belum kuat
untuk hatiku mengisahkannya.
Yang
pasti, posisi sekarang..
Di
sinilah aku berada.. Sudah dua tahun sejak pertemuan pertama kami..
Malam ini, ia berjalan di sampingku
dengan acuh, tidak mengungkapkan satu katapun. Kami terus berjalan menyusuri
trotoar ini.
Sore
tadi ia menghubungiku untuk bertemu, segera ku iyakan, tidak bisa kupungkiri,
apapun yang ia minta, sejauh ini dalam hidupku, tepatnya setelah kisah dua
tahun yang lalu, sebisaku, akan selalu kuturuti kemauannya. Begitu juga dengan
malam ini, walau aku hanya menjadi teman heningnya dalam perjalanan di trotoar
ini, aku merasa bahagia.
Mengapa
aku begitu bodoh dan lumpuh oleh ketidakwarasan dalam cinta..
Langkah
itu tiba-tiba berhenti.
Aku
ikut membatu, menghentikan gerakku..
Ia
mengarahkan badannya menghadapku, aku hanya bisa tertunduk sambil sesekali
mencoba menantang padangan itu, ia menatapku seperti pada tatapan pertamanya
dulu, tetap mata dan tatapan yang sama.
“Za..
lu kapan sih bisa ngelepasin gua? Biar gua bebas..” Ia menatapku dengan dalam.
Aku terkesiak, kata-katanya begitu menyakitkan bagiku, bagaikan pisau yang
menusuk jantung.
Jadi aku adalah penghalang
kebebasannya?
Aku
berbalik dari hadapannya, kembali kutekuri trotoar ini, suara kendaraan terus
lalu-lalang tak kuhiraukan. “Biar gua bebas..”
Tetap
kata-katanya barusan menggema dalam batinku.
Apakah aku penghalang kebebasannya?
Bodoh
dan tidak waras. Sudah terlalu lama aku akrab dengan mereka, hingga tak
kuanggap menjadi musuh lagi kehadiran keduanya, seutuhnya kuterima—merekalah
perwujudan cinta yang aku nikmati. Namun...
Kali
ini, aku ragu akan rasa ini..
Apa
itu cinta?