Rabu, 04 Oktober 2017

Keping

            Mereka sepasang kekasih. Joni dan Rea. Bertemu saat di bangku SMP, berkenalan, berteman dekat, sangat akrab. Hingga SMA mereka tetap memilih sekolah yang sama untuk menuntut ilmu. Lama memendam rasa yang dulu disebut labil—Cinta Monyet, orang bilang, semester awal kelas sepuluh, pada Jumat siang, jam istirahat selesai kerja bakti bersama, Joni mengirimkan pesan kepada ponsel Rea.

“Nanti sama-sama ke kantin ya, aku mau ngomong sesuatu” Singkat dan ampuh membuat Rea bertanya-tanya diiringi perasaan gugup yang aneh karena topik ‘sesuatu’ yang Joni bukakan akan menjadi hal perbincangan nanti. Tidak biasanya seperti itu. Joni selalu terang-terangan tentang apapun yang mau diceritakan ataupun didiskusikan bersama Rea. Tidak kali ini, aneh dan hawanya berbeda. Ada letupan sekaligus girang tak tertahan yang dibelenggu penasaran aneh. Jantung Rea berdetak kencang saat berjalan untuk menemui Joni.

“Aku suka sama kamu, sejak SMP, maaf kalau harus bilang sekarang..” Rea membeku dengan pernyataan Joni yang tiba-tiba dan tanpa basa-basi saat mereka bertemu di meja kantin favorite keduanya.

Dalam beku dan hening, Rea terus bertanya-tanya, tubuhnya kaku, namun, pada saat yang bersamaan ia merasa sedang melesat bebas, tak tahu bagaimana bentuknya, yang pasti ia merasa sangat ringan, hanya dalam batinnya. Tubuhnya diam. Hening tercipta, keduanya beku, Joni sibuk menggosok-gosokan kedua telapak tangannya, seolah ia tengah diserang dingin kutub utara, Rea terdiam, tubuhnya tak bergerak, hanya bola matanya saja yang gelisah dan memandang ke sana kemari.
“Be-beneran?” Rea mencoba merespon.
“Aku serius, maaf kalau harus begini..” Joni gelagapan dan terlihat ekspresi gugup serta ketakutan di raut wajahnya. “Tadinya aku pikir untuk tidak menyampaikan ini, tapi, aku engga bisa, aku berharap walaupun tidak jawabmu, kita jangan saling menjauh akhirnya..” Joni berharap dan berkata-kata sekenanya saja. Rea membisu dan batinnya gelisah sekaligus gembira yang bergejolak. Perasaan aneh macam apa ini?

            Beberapa kali Rea menghembuskan nafasnya. Dia tetap bergeming. Ia menegakan badannya dan mencoba menatap mata Joni yang tengah gugup dan tidak berhenti menggosok-gosokan kedua telapak tangannya.

            “Sebenarnya..” Rea bersuara. “Aku juga suka sama kamu sejak awal, tapi.. aku takut aku salah sangka dengan perasaanku” Joni membeku dan terus menyimak jawaban Rea.
            “Aku mau jadi pacarmu” Pungkas Rea akhirnya.

++

Mereka sepasang kekasih sejak SMA yang sekarang sudah bersama duduk di bangku kuliah. Mereka beda jurusan saat SMA, namun, satu jurusan dan prodi saat ini di sebuah universitas swasta ternama. Mereka sepasang kekasih yang menulis kisah asmara pada tiap lembar hidup masing-masing, lembaran yang terpisah, namun, sepakat untuk menulis cerita yang sama.

Joni dan Rea.


Senin, 11 September 2017

Serpihan Kisah

Keping terakhir yang kuingat sebagai cuplikan,
Saat pertama tangan kita bertemu,
Kuingat mengapa hari itu sangat indah dan cerah,
Tak ada alasan untuk tidak bahagia, ungkapmu.
aku setuju, sebab bahagiaku adalah kamu.

Kamu, pelumpuh jiwa yang suka bercanda dengan realita,
Sangkamu aku adalah pujangga yang tidak terluka,
Lukaku menganga, bukan untuk menderita,
Kubiarkan luka untuk menanggung deritamu.

Bermula dengan semula luka untuk tanggungan derita,
Aku putus asa dibungkam waktu kala pergimu,
Dalam diam dan kalut, coba kujumpa cinta meski mimpi tak kunjung mempertemukan

Aku nelangsa,
Aku berduka,
bukan dalam derita
Hanya bercerita

Ku Lihat Kau

Ku lihat kau,
Sosok lemah menodong pisau tumpul,
Dikira pedang tajam

Ku amati dalam tegun,
Todongan ancam dalam getir akan celaka

Tidak dirasa iba, bukan juga benci
Miris,
Digerogoti gelap,
Kawanmu sisi itu?

Tidak ada lahir dalam suram,
Tak ada harap pekat di bawah naung cahaya

Sangkamu paham tentang kekelaman?
Buat apa pisau itu?
Untuk apa kuda-kuda menyerang itu?
Siapa kawanmu? Di manakah sengatmu?

Perhatikan saja pijak,
Jangan begitu ambisi untuk melumpuhkan

Perlahan,
Sebelum beranjak cobalah untuk tersadar dahulu

Sebelum terjang cobalah tidak buyar
Sadar! apa yang memabukanmu?

Sosok yang berdiri dalam ringkuk,
Tanpa pijak akan terhempas,
Mengancam tanpa perlindungan,
Mengerang dalam cekam suram dan rapuh,

Buat apa posisi itu?
Jangan berbangga,
Tidak aman tempatmu sekarang.

Ku lihat kau,
Sedang apa di situ?

Kemari dan sadarlah,
Tengok atasmu, cahaya begitu terang
Jangan butakan mata dengan dangkal pemahaman,
Tidak ada gelap dan suram

Semuanya terang,
Yang suram sisi sana,
Tapi bukan pijakmu,
Kau salah, kau keliru
Pijakmu remang-remang,
Bukan pekat gelap sebenarnya

Kemarilah,
Atau setidaknya bergeraklah ke sana,
Sisi kelam yang tidak bisa dipahami

Rabu, 09 Agustus 2017

Sebuah Catatan

Enam Simpul Awal
Dua Sosok
Dua Rintisan

Delapan Gebu Menyala
Nol Kesempatan Berpaling
Sembilan Awalan Mengikatsatukan Ruas Simpai

Dua Masa
Nol Harap Sesal
Satu Kebaikan Waktu
Tujuh Garis Pertanda Akhir

Salam malam,
Kabut tidak turun kala ini
Panas menyerang, mentari bukan dalangnya kali ini

Pintu tertutup
Tidurlah,
Kembali bermimpi,
Bangunlah
Lakukan sekali lagi, sedikit lagi
Selamat Pagi Pejuang.


Catatan Tatih Medan Pertempuran,
Kemungkinan Menangpun Menyerah dan Dikuasai Kesempatan Kalah,
Sang Prajurit Tumbang Menulis Surat
Kiranya Kabar Ini Tersampai.

Dengan segala harapan,
Berjuanglah, sedikit lagi
Segala pengorbanan akan mendapat ganjaran kelayakan

Kiranya hingga akhir

Senin, 31 Juli 2017

Tanya dan Cari

Bertanya,
Mencari,
Kita tidak tahu dan tidak menemukan

Pertanyaan hanya sekedar tanya
Terkadang pencarian sekedar mencari

Akhir,
Tanya dan cari tidak menjadi jawab

Jika ungkap berkenan ditemukan
Buat apa menjadi beban?

Untuk Seorang Asing

 (Teruntuk yang tidak dikenal)

            Dia terus mencari. Tidak tahu apa yang ia cari. Secangkir kopi. Seteguk lembut caffeine kala suntuk menguasainya. Senyata aroma kopi yang dihirup. Sekuat ilusi pikat kenikmatan penggila hidup. Serumit itulah perasaan dan pencarian yang ia lakukan.

“Diana..” Nama itu disebutkan oleh seseorang pada sisi jalan sana.

Gadis itu segera menoleh, dengan ekspresi datar, butuh satu detik kira-kira hingga ia mulai melukiskan senyum pada wajahnya, memperlihatkan lekuk bibir yang mempertontonkan sedikit deretan gigi. Matanya kembali mengarah pada kertas yang terhampar di depannya, di atas meja. Pinggir jalan ini, sebuah meja dan kursi tempat mengusir suntuk, tempat mengarungi banyak petunjuk akan sebuah pencarian. Diana memilih tempat ini, sudah lama ia menghabiskan banyak waktu bersama tempat tongkrongan pinggir jalan ini.

“Udah dari tadi di sini?” Tanya seseorang yang mendekatinya dan mengambil posisi duduk di samping Diana.

“Iya..” Balas Diana seadanya. Matanya dan fokusnya tetap pada selembar kertas di hadapannya. Pada tangan kanannya ia menjentik-jentikan sebuah pulpen dan membuatnya bergoyang ke depan dan belakang, seolah ditarik-ulur angin. Pulpen terus dibuat menari, matanya tetap pada kertas putih polos di hadapannya. Sesekali ia mendekatkan pulpen pada tangannya pada kertas tersebut, seperti akan menuliskan sesuatu, namun, dalam sekejap juga ia diserang ragu, kemudian memilih untuk tidak menaruh tinta tulisan pada kertas polos di hadapannya kini.

“Hey..” Seseorang di sampingnya menggerakan tangan di depan wajah Diana untuk mengalihkan fokusnya. “Aku juga di sini lhoo..”

Diana melirik sejenak dengan bola matanya ke arah sosok di sampingnya.

“Pernah kehilangan sesuatu?”

“Hah?” Dengan raut wajah kebingungan sosok di sampingnya kini tampak berpikir. “Hmm.. pernah, kehilangan apa dulu ini?”

“Kehilangan sesuatu yang tidak pernah kamu miliki.. bahkan yang tidak kamu ketahui mungkin..”

“Aneh..”

“Iya, aneh.. hmm, lupain aja..” Diana menghela nafas.

“Pencarian, gimana bisa nyari kalau engga tahu apa yang dicari..” Sambung sosok tersebut.
Sudah tidak asing pertanyaan-pertanyaan aneh selalu Diana hadirkan saat-saat seperti ini. Baginya hidup adalah pertanyaan, yang perlu ditanyakan terus-menerus hingga akhir. Entah, kapanpun akhir tersebut.

“Pencarian. Kamu sebenarnya mencari sesuatu dalam hidupmu, yang kamu sendiri tidak tahu apa itu, tetapi kamu tahu itu berharga dan kamu merindukannya dengan sangat, walaupun kamu sendiri belum pernah memilikinya..” Diana menjelaskan.

Angin berhembus, menghempaskan dedaunan kering di pinggir jalan raya itu.
Di bawah naungan pepohonan rindang dan pada sebuah bangku dan meja tempat teduh itu.
Dua sejoli bercakap-cakap hal-hal yang aneh,
Menceritakan banyak pertanyaan yang tidak terjawab, semakin ditanya semakin rumit untuk dipahami.

“Mungkin batas kita hanya untuk merindukan saja, bukan untuk mendapatkan..” Balas sosok tersebut.

“Atau, kita akan mengerti dan tahu, saat kita sudah mendapatkannya..”

“Seperti?”

“Entahlah..” Diana menggeleng kecil, meletakan pulpen di atas meja dan kembali menghela nafas.

“Seperti mencari seseorang yang tidak dikenal namun dirindukan atau membuat kelakuan bodoh, seperti menulis surat cinta buat seseorang yang tidak dikenal, bahkan belum pernah dijumpai..” Dengan senyum tipis sosok tersebut menatap Diana.

“Mungkin..” Diana membalas tatapan tersebut.

“Kamu kebanyakan minum kopi kayaknya, aku pernah baca kalau kebanyakan minum kopi bisa buat pikiran kacau..” Sosok tersebut terkekeh, sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakannya di atas meja.

“Air putih?” Diana bertanya.

“Biar engga selalu ngerasain yang pahit-pahit..” Balasnya.

“Aku engga kebanyakan minum kopi, segala sesuatu yang berlebihan pastinya akan tidak baik kan?” 

Diana mengetuk pelan dengan jarinya pada permukaan meja.

“Minum aja, kamu kelihatannya kecapekan..” Sosok itu mendekatkan sebotol air mineral kepada Diana. Ia hanya merespon dengan snyum tipis dan mata yang terus menerawang kosong ke depan.

Lagi-lagi, pepohonan menggoyangkan ranting-ranting kecilnya dan dedaunan kering menari diusik angin siang ini.

Terjadi keheningan sejenak. Waktu seakan berhenti, hanya terdengar ketukan kecil dan suara halus dari permukaan meja yang ada di hadapan Diana dan ‘teman’nya.

“Aku seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui..” Diana memecah keheningan sejenak dengan suara yang lembut, hampir tidak terdengar karena hembusan angin.

“Kadang pencarian tidak berhasil kalau sendirian..”

“Maksudnya?”

“Kita butuh teman atau rekan, orang yang punya tujuan sama dan mengenalmu, ini seperti mencari sebuah harta karun yang sama-sama tidak diketahui dalam petualangan, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu menemukan harta karun rahasia tersebut..”
Sosok tersebut menarik nafas dan melepaskannya dengan ekspresi seolah baru saja terbebas dari hal yang mengekang. Ia terkekeh kecil.

“Kamu butuh teman” Sambungnya.

Diana kembali meraih pulpen yang ia lepaskan tadi.

“Kalau begitu aku akan menuliskan surat kepada temanku itu, untuk kami bersama menemukan apa yang ingin kami cari, sesuatu yang tidak kami ketahui bahkan yang tidak pernah kami miliki..” Diana menghentikan tangannya untuk menulis.

“Rekan gila dalam pencarian misterius..”

“Dengan apa harus kusebut dia dalam suratku?”

“Tuliskan saja apapun itu.., sampaikan kepadanya tentang pencarianmu, semoga dan semoga saja ia mengerti” Ungkap sosok tersebut.

“Teman? Atau rekan?”

“Apa bedanya? Kalau ia bisa menjadi apa saja, yang penting ia bisa menjadi kru sepetualanganmu dan bisa mengerti mimpi yang kamu rindukan, dia bisa jadi apa saja dan siapa saja”

“Teman yang tidak dikenal, aku harus menyebutnya apa..” Diana bertanya dan terlihat sedang berpikir.

“Kepada seorang yang tidak dikenal” Sambung sosok tersebut.

Diana menuliskan kalimat pada kertas di hadapannya.


Temani aku dalam pencarian panjang ini,
Jangan abaikan aku sekali saja, karena kita adalah nahkoda dalam lautan bimbang ini,
Temukan aku segera, sadarkan aku jika melupakanmu
Teman seperjalanan,
Kembalikan ingatanku.

Kepada kamu, teman, rekan, sahabat, saudara, keping jiwaku.
Seorang yang tidak kukenal.

Diana.


Jumat, 28 Juli 2017

Kisah Yang Seolah Terlupakan



Ada sebuah kisah,
Makhluk tua yang bernaung dalam gelap,
Menunggu waktu untuk beranjak,
Siang hari ia tertidur, malam hari ia akan keluar
Gua tempat ia menetap, kesepian adalah kawan

Ia tidak risau akan kesendirian
Ia tidak takut akan kehadiran
Tidak juga tertutup akan relasi dengan makhluk luar
Hanya keberadaannya saja memang sudah ada sebagaimana ia hadir, sukar diungkapkan, keunikan memenuhi dirinya dan seadanya ia.

Suatu hari seorang manusia datang mengunjungi kediamannya
Ia dikisahkan tentang persaudaraan, ia menyandingkan akan keeratan kasih antar makhluk

Sang buas terpesona oleh kisah tersebut
Si buas menjalin relasi,
Bertahun-tahun mereka berteman
Suatu ketika sang buas mengadakan kontrak dengan manusia
Mereka terikat, terjalin erat
Satu jiwa dan satu keberadaan
Keduanya menyatu

Hadir dalam rupa manusia
Dan manusia yang memiliki kebuasan dalam dirinya,
Dalam wujud manusia ia memperanakan banyak penerusnya,

Suatu hari seorang penerus murninya bangkit,
Dalam wujud manusia yang menyembunyikan buas dalam dirinya,
Siapa yang menyangka keterpikatan buas akan kasih tidak sepenuhnya mengekang ia,

Seorang musuh datang dan memukul sang penerus hingga terpental, lunglai ia dihempas secara tiba-tiba, bagai tak bernyawa dihajar berulang kali, ia terkapar
Tergeletak tak berdaya,

Dalam samar sadarnya,
Sang penerus terperanjat menatap musuh yang menghempaskannya,
Teman sebayanya, teman terkasihnya, yang selalu ia sanjung dan ia banggakan,
Penghianatan terjadi,

Dalam keadaan sedih, depresi dan remuk oleh kekalahan,
Penerus muda membangkitkan amarahnya, dalam hancur tubuh yang tidak bersisakan tenaga,
Percikan mercusuar bengis menggerakan sosok tersembunyi dalam keberadaannya, ia mengerang
Memancing benih buas dalam dirinya,

Sang buas bangkit dan menyerahkan seluruh kekuatannya,
Dengan memberikan tatapan tajam untuk melihat celah lemah,
Mewariskan energi gelap sepenuhnya kepada inang; sang penerus, yang sekarang
Buas sepenuhnya menyatu dalam kendali situasi
Tidak dijumpai gentar dan kekecewaan lagi pada hawa penerus,
Ia sepenuhnya melebur dalam kebuasan
 
Sang penerus berdiri dan memukul balik musuh
Ia menuai kemenangan, tengkuk musuh terinjak
Ia hempaskan keras sang pengkhianat tanpa mampu melawan,

Dalam kemarahannya yang mereda, penerus muda menyadari keberadaan sesuatu dalam dirinya,
Amarah besar yang menyendiri, diam, tersembunyi dan tidak keluar setiap saat,

Namun,
 
Sekali meluap, malapetaka besar ditimbulkan

Pada hari dewasanya, penerus muda membangkitkan banyak keturunan
Pada keturunan-keturunannya, benih buas tetap hadir dalam bilik diri
Pada setiap celah kekosongan jiwa generasi demi generasi,
 
Bisa setiap saat keluar, bisa setiap saat juga bersembunyi
Semua bergantung pada mercusuar jiwa, dinyalakan atau tidak

Buas tetaplah buas,
Dalam sendiri dan diamnya,
Ia tidak takut kesepian,
Tidak juga ia risaukan akan kehadiran kawan,
Buas tetaplah buas
Jangan lupakan kisah tua ini
Meski waktu terus menipu dalam dayanya,
Buas tetaplah buas,
Jangan lupakan kisah yang seolah terlupakan,
Buas tetaplah buas,
Ia tak pernah lupa

*Dibagikan kepada yang mengabaikannya, ia tidak diam


Jangan hadirkan bengis dalam percakapan,
Kebuasan bangkit dan membangun tahtanya
Ia tidak takut sendiri, tidak gentar akan apapun, namun, tidak juga risau oleh hadir seorang kawan,
Ketenangan dan damai dapat memikatnya; dalam pengabdian semoga ia temukan,
Semoga muara tempat pengabdian tidak berbuah pengkhianatan juga penghinaan, semoga

Teruntuk yang terdalam,
Serigala penyendiri, penyimpan buas dalam gua antara bilik hati,
Dalam mabuk anggur keegoisan.
 Diam sudah menjadi kawan, tak perlu risaukan, cukup berikan kepercayaan
Ia akan mengabdi dan menjadikannya tuan
semoga, semoga tidak terdapat keraguan.

Selasa, 25 Juli 2017

Doa



Kusuratkan doa mengisi malam,
Kepada Tuan dari segala sesuatu

Ditujukan bagimu; yang kudoakan, untuk ditemani hingga akhir,

Sederhana pintaku, saat Tuan bertanya mengapa kamu,
“Ijinku, menjadikannya teman sepanjang perjalanan”

Pinta garis emas kian hari termakan masa.


Dimeteraikan dengan Nama Agung,
Kiranya percintaan dikawal hingga akhir,
Kepada Penguasa Asmara, diimpikan bagi pemilik hati
Kasih menguasai segalanya.


"Regaq22"

Jumat, 14 Juli 2017

Tidurlah



Tertidurlah yang diujung sana
Walau pening menjadi kawan malam ini,
Terlelaplah yang sedang meradang gulana
Meski cerita sebatas penyampaian lewat udara,

Tangkupkan saja tangan di dadanya,
Semuanya akan baik-baik saja,

Lupakan aku, sejenak saja
Biarkan bintang yang menjadi teman untuk bercanda,
Bulan sedang angkuh untuk bercengkrama—biarkan saja dulu ia begitu, karena diserang cemburu.

Tertidurlah yang diujung sana,
Salam kasihku,

Teruntuk penjarah hati
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H