Janganlah dendam dengan kebodohan yang sempat kujubahkan pada akal sehat,
Jangan memandang sinis
atau nista yang senantiasa ditumpahkan
Apalah arti sebuah
mimpi
Apalah daya sebuah
ambisi
Untuk kesekian kali,
aku terus merasa dungu
Untuk keberkian kali,
aku kembali merasa sesat
Terima kasih untuk
sekumpulan sajak acak yang tersebar, berhamburan, tumpah ruah memenuhi ruang
pikiran
Akal sempit memang
menjadi kalut yang sulit untuk diterjang
Jika mimpi bagai berkas
cahaya
Malam ini udara dingin
menjadi saksi
Mimpi itu cukup kuat
untuk menyingkap kabut kegegabahan.
Saat
menemukan kepingan puzzle akan keutuhan cerita dalam balut ambisi dan riuk
hidup, aku menyadari banyak hal, walaupun tidak aku pungkiri bahwa dugaku masih
pada terkaan yang sangatlah buta, tetap keras kepala menguasaiku.
Kisah luar biasa yang
aku bersyukur diijinkan menjadi penikmat sekaligus pelakon yang diperbolehkan
mengkritis, walau tidak sesuai alur.
Cerita ini tidak bisa
aku kisahkan sepenuhnya, tapi bagian ingatan ini aku sisipkan dalam tulisan
sebagai bentuk apresiasi atas ketakjubanku bagi alur hidup yang menarik.
Sekali lagi, aku
menyadari kebodohanku dalam menyusun sajak dan kepingan acak akan keutuhan
kisah hidup, kembali aku belajar bahwa keindahan hidup terletak pada
kerumitannya yang sukar dipahami dengan penuh, dan hanya menyajikan pecahan
gambar untuk dikumpulkan menjadi makna penuh.
Singkapkan daya, gerakan kecil
memercik ledakan besar
Segaris kilat ambisi membelah pekat
malam ketidaktahuan
Kalian berteriak tentang mimpi
ditengah riak suasana riuh
Memang tidak dijumpai pertemuan
pada pinggiran aliran,
Jika boleh diibaratkan, kisah ini
adalah arus deras sungai kehanyutan
Sekali bergerak, menimbulkan riak
hingga ketepian
Menggelisahkan insan-insan yang berada
pada pinggiran
Mereka tak ingin akan angan
Mereka meraung atas impian
Namun, kalian tetap nyaman,
Dengan ketentraman dalam dunia
kecil kebahagian
Berhiaskan canda dan tawa riang,
Tangkupkan cerca dan terus
berjuang!
Teruntuk
‘Fami’ dan ‘Dela’
Dua
antusias yang dengan sukarela membuka lembar hidup sebagai buku yang secara
terbuka dibaca oleh banyak kerabat, walaupun beberapa diantaranya hanya
menikmati sampul depan, tanpa peduli konten yang ada dalam tumpukan kertas
berisi kisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar