Sudah lama ia mabuk dalam kondisi ini.
Dunia
nyata adalah kesemuan—dalam hal ini akan banyak yang setuju. Jadi, buat apa
berjuang jika yang dicapai adalah kesia-siaan?
Apakah
salah jika tidak berjuang?
Dapatkah
tindakan pasif stagnan diperkarakan sebagai dosa dalam peradilan hidup di akhir
hayat?
Mungkin—antara
iya atau tidak. Toh, bukan kita atau kalianlah Sang Hakim.
Jika
mayoritas manusia memilih bergerak untuk menikmati hidup, tidak demikian bagi
Gugun, seorang remaja yang telah lama menjebak dirinya dalam halusinasi mimpi.
Saat
ada yang bertanya atau setidaknya berani menyinggung akan tujuan hidupnya.
Tergantung
mood, ia, Gugun, akan menjawab :
Jika
sedang baik hati, “Tidak akan selamanya aku seperti ini, nanti saat aku sudah
jenuh dengan diam ini, aku akan beranjak juga” Tuturnya dengan senyum—kadang
dengan wajah datar juga.
Jika
hatinya sedang kacau, atau jadwal mimpinya diganggu, jawbannya “Sudahi bertanya bodoh, urus hidup sendiri,
mengapa tanya hidupku, apa kau sendiri tak punya tujuan hidup, jadi hidupku kau
campuri!” disertai gaya berang, menyalak, sorot matanya ganas seolah akan
menerkam—bagai singa yang sedang kelaparan, bengis bukan kepalang.
Tidak
banyak yang akhirnya peduli dengan kondisi Gugun.
Entah
ia sedang sakit, bersusah hati atau sedih. Tidak ada yang cukup berani untuk
memberi perhatian padanya. Mungkin juga karena ia tidak banyak terlibat dalam
hidup sosial—hanya tempat tidur lingkungannya.
Sudah lama ia dibius oleh ketidakpastian akan arah
perjalanan hidup. Juga cukup panjang periode sakaunya oleh kepasifan ini, yang juga terus disuntikan
oleh diri sendiri—tidak ada obat bagi sakau akan pasif diri. Hal ini lebih
gila, ia yang menghendaki untuk diam dalam menjalani hidup.
Gugun
menghabiskan banyak waktunya untuk bengong dan tidur.
Tubuhnya
sudah sangat kurus saat ini karena kekurangan asupan. Ia tidak menghiraukan
kondisinya sendiri. Saat malam tiba, ia akan merebahkan diri lebih awal, pagi
menyapa dilewatkannya dan bangun pada siang hari, kemudian sore dihabiskan oleh
bengong atau sekedar duduk diam. Dan, begitulah seterusnya. Hanya tidur dan
diam.
*
Gugun
tinggal sendiri di sebuah rumah,
Orang
tua pindah ke kota, bukan diterlantarkan, berulangkali ia diajak untuk bersama
orangtuanya, namun berulangkali juga ia menolak dengan alasan tidak menyukai
kehidupan kota yang ramai. Ia hidup seorang diri pada rumah di kampung ini,
suasana sepi yang sangat ia nikmati—entah damai atau sunyi untuk tidur—tidak
tahu pasti apa yang ia nikmati dari nuansa ini.
Kedua orangtua Gugun mulai khawatir
dengan kondisi anak mereka, sempat berulangkali mereka memutuskan untuk kembali
ke tempat ini dan menginap beberapa minggu, tetap saja Gugun menikmati dunianya
sendiri—ia bukannya kurang kasih sayang, hanya.. Mungkin nyaman dengan pilihan
sendiri dalam menjalani hidup—bengong dan tidur.
Hingga
waktu ini tiba, dengan sikap agak memaksa, kedua orangtua Gugun mendatangi
tempat ia tinggal dan membawanya untuk ikut serta ke kota agar bisa diarahkan
dengan baik.
“Kalau
terus-terusan begini nanti akan mati!” Ucap ibunya saat menyiapkan tas berisi
pakaian Gugun untuk dibawa.
“Aku
engga suka dengan suasana kota” Balas Gugun.
“Bukan
itu masalahmu, tapi sikap seperti ini dalam hidup yang hanya tidur tok, mau
sampai kapan” Ayahnya tahu-tahu muncul di pintu kamar.
Sejenak
hening tercicpta, tak ada jawaban yang muncul dari mulut Gugun. Suara riuh
barang-barang yang dimasukan ke dalam tas oleh ibunya saja yang terdengar.
Setelah
semuanya sudah siap, ayah mengantarkan barang-barang tersebut ke mobil.
“Kita
berangkat sekarang” Desak ibu, mengarah pada Gugun yang duduk termenung di atas
tempat tidurnya.
“Aku
ngga mau..” Raut wajah Gugun berubah, ia menunjukan ekspresi keras seolah
ajakan ini mengusik zona nyamannya.
“Hanya
beberapa hari saja..” Ibu menghela nafas, memandangi anaknya.
“Engga..”
Gugun tetap pada pendiriannya.
“Ada
apa denganmu, nak?”
“Tidak
apa-apa”
“Kenapa
begitu keras untuk tidak mau ikut? Buat apa di sini?”
“Banyak
hal bisa dilakukan”
“Apa
contohnya coba?”
“Ada
saja, banyak pokoknya”
Kembali
tarikan nafas panjang yang dilakukan oleh ibu.
“Cepat,
kita berangkat sekarang..” Ayah kembali mengarah pada ruangan tersebut setelah
selesai memasukan barang-barang ke mobil.
Sampai
ia tiba di muka pintu. “Apa yang ditunggu?” Lanjutnya kembali.
“Aku
engga mau ikut, Yah” Gugun menunduk sambil mencoba untuk tidak turut.
“Terus,
apa yang dikerjakan di sini?” Desak Ayah.
“Banyak,
aku engga suka kehidupan kota..”
“Bukan
itu masalahmu, kita semua sudah tahu, di sini pun, tidak ada yang dilakukan,
hanya tidur.. Hidup macam apa seperti itu!”
“Memang
begini hidup Gugun”
“Jangan
keras kepala, ikut sekarang!” Ayah memaksa.
Dengan
berat hati Gugun menurut. Langkahnya gontai menuju ke mobil. Ekspresi kosong dipadu
sebal juga amarah yang menyulut, terdapat juga rasa ingin berontak—bercampur,
ia tampilkan pada air mukanya.
_..>
Bukan kejadian tiba-tiba, sudah sering ia diajak untuk
tinggal bersama oleh kedua orangtuanya—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Karena
jauh dari orangtua membuat mereka khawatir akan kondisi Gugun, bisa juga,
namun, bukan itu alasan utama mengapa saat ini Gugun dipaksa untuk tinggal
bersama kedua orangtuanya.
“Dia
sakit!, menderita penyakit anti-sosial, hati-hati dengan penyakit semacam itu,
jangan dibiarkan” Beberapa hari yang lalu seorang teman lama, juga keluarga
dari Ayah datang untuk berkunjung, ia menuturkan komentar tentang kondisi Gugun
yang ia ketahui selama ini.
“Tidak
aku lihat kegiatannya selain tidur dan bengong.. jangan sampai ia jadi gila”
Timpalnya lagi sambil menyeruput kopi.
Ayah
dan Ibu hanya bisa menunjukan wajah bingung bercampur memelas juga iba dipadu
sedih jika mengingat kondisi anak mereka.
“Itu
memang... Tapi, kami juga engga tahu
bagaimana untuk mengarahkan dia..”
Balas
Ayah saat itu, terbatas, terdapat tekanan pasrah juga putus asa dalam nada
suaranya.
“Kalau
aku melihat kehidupan anak-anak lain di tempat ini, banyak yang mereka
lakukan.. Bermain, jalan-jalan, sekolah, mancing—pokoknya banyak yang mereka
buat, tapi berbeda dengan anak kita yang satu itu, kerjaannya cuma bengong dan
tidur, bagaimana hidup begitu?” Tuturnya pada Ayah dan Ibu panjang lebar.
“Yah..
Aneh juga cara dia bisa begitu, kok bisa-bisanya hidup cuma untuk diam, boh..
aneh betul”
Sambungnya.
“Kami
bingung juga bagaimana menghadapinya..”
Balas
Ibu dengan nada sedih.
“Ya,
susah memang.. kasus langka kalau begini, tapi kasihan kalau lihat hidup dia
begitu terus, enggak akan ada masa depan nantinya, sekolahpun engga..” Panjang
lebar ia membeberkan permasalahan Gugun, seolah Ayah dan Ibu tidak tahu.
Kopi
kembali diseruput.
Asap
rokok daun aren mengepul dalam rumah
itu.
“Jangan
biarkan kondisi anak kita terus begitu..” Ia coba memberi saran pada Ayah juga
Ibu, “Coba bawa kesini aja untuk tinggal, kalau engga mau paksa aja.. daripada
terus-terusan begitu..” Tutupnya mengakhiri percakapan. Tak lama kemudian ia
permisi untuk pergi karena hari sudah mulai gelap.
“Harus
ngecek jerat lagi..” Ucapnya diiringi
tawa saat berlalu.
Komentar inilah yang menggerakan kedua orangtuanya
untuk datang ke tempat Gugun tinggal, khawatir akan penyakit yang mungkin
diderita oleh anak mereka, keduanya memutuskan untuk menyatukan Gugun dalam
satu rumah bersama keduanya. Awalnya dengan ajakan baik yang terus Gugun tolak,
hingga muncullah kesepakat, ia harus dipaksa!
_..>
Dalam perjalanan, Gugun
menampilkan tatapan kosong pada tiap sudut jalan yang dilalui, rasanya ingin
terjun dan pergi dari kendaraan ini. Ia teringat kembali akan tempat nyamannya
untuk mabuk akan mimpi.
“Buat apa saat sudah sampai?” Ia membuka mulutnya,
mencoba mencari celah untuk protes dan meyakinkan bahwa ia tidak seharusnya
ikut untuk tinggal bersama.
“Ada banyak hal, setidaknya engga cuma tidur, lihat
badan jadi kering begitu.. kebanyakan ngimpi”
Balas Ayah atas ucapannya.
Gugun kembali diam. Tatapannya kembali ia arahkan
pada tiap benda yang berseliweran lalu dilewati mobil.
Setelah beberapa puluh menit, kendaraan ini berhenti
pada sebuah rumah. Semua barang bawaan diturunkan. Gugun ikut turun dan
langsung melesat masuk saat pintu dibuka, ia langsung menuju kamar tidak
menghiraukan apapun.
Beberapa jam telah ia lalui dalam rumah ini, ia
mulai gelisah. Kerabat dan keluarga banyak yang berkunjung dan menyapa dirinya,
tak ia hargai satupun, ia tetap menunjukan sikap anti-sosialnya.
Saat tiba waktu makan, ia dipanggil untuk makan
bersama namun tidak ia indahkan, pilihannya tetap diam dan bergeming dalam
kamar lingkungan asing ini.
Hari berlalu, jam terus bergulir,
sudah 72 jam di tempat ini, ia sangat jenuh dan resah dengan nuansanya, tidak
ia sukai tempat ini. Jam makan, kunjungan keluarga, bertemu orang-orang baru,
suara riuh tetangga, tawa pemuda seumuran dalam bercanda, pemandangan ramah
pergaulan dan yang sangat membuatnya risau adalah jam tidur yang teratur, sejak
awal ia tiba, orangtuanya tidak mengijinkan banyak waktunya dihabiskan untuk
tidur. “Nanti akan memperparah kondisimu yang anti-sosial itu” Jelas Ayah
singkat padanya.
Batinnya berontak :
Apanya anti-sosial, toh memang tidak ada gunanya
juga untuk berbaur dengan lingkungan ini.. Kalau sudah kenal banyak orang,
terus apa?
Lebih baik diam saja, menikmati hidup, mengosongkan
pikiran—tidak memusingkan diri dengan banyaknya persoalan, keadaan paling
netral dalam menikmati hidup, ya, dengan tidak melakukan apa-apa dan tidak
memusingkan apa-apa juga. Lalu tidur, dengan tidur berarti menikmati bagian
indah, terkadang dihadiahi mimpi yang tidak berdampak nyata juga dalam
hidup—kalau mimpi buruk ya tidak merasakan sakitnya dan kalau mimpi indah malah
bisa bahagia menikmati—tidak merugikan, juga tidak memusingkan.
Diam dan tidur—apanya yang salah?
Suatu
siang ia berjalan keluar rumah,
Ditelusurinya jalan raya di tempat ini, melewati
tiap gang yang ada untuk mengusir rasa jenuhnya. Ia tidak menyukai lingkungan
nyata ini. Begitu bising dan memuakan baginya.
Panas semakin terik, ia mengelap keringatnya dengan
lengan baju panjang yang ia kenakan. Pandangannya tak sengaja mengarah pada
mentari, matanya memicing karena silau, ia telusuri langit menghindari kontak
langsung dengan mentari, tepatlah sekarang pandangannya pada ujung sana, suatu
tempat yang ia kenali—tempat kesukaannya.
Di ujung sana! Itulah tempat aku hidup dalam
kehidupan ini,
Ia mulai berjalan cepat untuk meraih titik ujung
sana, terus ia berjalan hingga berlari-lari kecil.
Sudah beberapa menit ia habiskan demi rindunya pada
titik depan sana, matanya terus fokus, kakinya terus bergerak. Sedikit demi
sedikit, suara bising menghilang, haus mulai menguasai dirinya. Gugun berhenti,
ia memperhatikan kondisi sekelilingnya, ia telah tiba pada suatu daerah sepi,
dilihatnya kedepan, terdapat sebuah jembatan penyebrangan yang di bawahnya
terdapat sebuah sungai. Ia berlari mendapati sungai itu untuk menghilangkan
dahaganya.
Saat tiba di tepian sungai, ia terdiam, ia melihat
warna airnya berbeda, tangannya diulurkan untuk menyiduk air sungai tersebut,
diteguknya.. Rasa air pada umumnya, namun, mengapa warna air ini berbeda?
**
Masyarakat sekitar banyak yang
mengisahkan legenda dan dongeng tentang sungai ini—begitu banyak kisah, namun,
tidak ada satupun yang bisa dianggap pasti—cerita rakyat tetaplah hanya sebuah
kisah tua belaka.
Sungai ini memiliki warna air seperti air teh,
namun, rasa airnya tetaplah air tawar pada umumnya.
Gugun seperti bercermin akan kehidupannya di depan
sungai ini.
_..>
Aku hanya ingin hidup!
Sehidup-hidupnya dengan caraku, seperti air di
sungai, aku ingin hanya mengalir, tidak berontak, tidak berusaha bergerak untuk
menentukan arah, sebab semua sungai akan bermuara di laut, begitu juga hidup
bukankah akan berakhir pada kematian?
Apakah salah saat sungai ini berair seperti teh?
Sedangkan rasa airnya tetaplah sama.
Apakah salah hidupku yang tidak bergerak? Sedang
akhir nantipun tetap pada kematian?
Apakah aliran di hadapanku ini tidak termasuk
sungai? Tentunya tidak, ia tetaplah sungai.
Begitu juga dengan berontak dan cara hidupku, apakah
ini bukan kehidupan? Tetaplah ini hidupku, hanya saja aku sangat berbeda.
Caraku untuk mencapai muara berbeda, juga warnaku
untuk menghiasi perjalanan ini tidak serupa umumnya, apakah aku salah dengan
pilihan ini?
Biarlah, aku jalan dengan caraku..
Sudahlah, aku nikmati kisah tidak berkonflik ini,
Seperti aliran sungai ini—hidupku juga hanya
mengalir. Tidak bergerak, tidak berupaya—hanya diam.
Curhatnya pada sang sungai.
(Digelisahkan oleh ‘sungai
teh’, cerminan kisah muncul saat bertatapan dengannya pada pesisir pasir putih
yang tidak terdapat tumbuhan, tidak juga ikan yang berenang pada pinggirnya.
Hanya tarian pasir, demikianlah refleksi kisah aliran sungai yang berlari
menuju muara, meliuk diantara tingginya tunggul pepohonan kering) – Saksi di
hadapan air berwarna merah bercampur oranye.
*
Penasaran dengan 'sungai teh'-nya.
BalasHapusDatanglah sesekali untuk berkunjung, tepatnya di Kampung Muara Nyahing, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur :)
Hapus