“Tepat
memang!” Satu tenggakan, minuman hangat di hadapannya ludes. “Engga tau kalian?
Semua ilmu dan teori itu aspirasi orang-orang besar saja” Lelaki bertubuh
gempal yang sejak tadi sibuk melontarkan pendapat tentang segala hal kembali
melanjutkan orasi pendeknya yang terputus oleh tegukan segelas minuman.
“Berapa
bang?” Kalimat singkat yang membutuhkan beberapa waktu bagi pemilik warung
untuk menanggapi. “Tigabelas ribu mas” Jawabnya mantap, dilanjutkan dengan
gumam yang menampilkan air muka ragu dan memastikan kembali perhitungannya
tidak salah. “Ini bang..” Pria tersebut menyerahkan beberapa lembar uang
kertas.
Setelah
transaksi semacam itu selesai, beberapa pria meninggalkan warung kopi pinggir
jalan tersebut. Suasana sepi. Jarum jam pada dinding tempat itu menunjukan
pukul 23:07.
Malam
yang dingin, beberapa kali angin berhembus seolah-olah panik dan dikacaukan
oleh suatu hal. Tepat pada hembusan angin yang terakhir, senyap hadir kemudian
dipecahkan oleh gemerisik suara air hujan yang beradu dengan atap-atap bangunan
sekitar.
Beberapa
detik berlalu, terdengar suara gumam yang semakin lama semakin dekat dengan
warung kopi pinggir jalan tersebut. Beberapa orang terbirit-birit lari dan
memarkaskan diri pada tempat itu untuk bersembunyi dari grilya air hujan yang
bisa membuat pilek. “Ini hujan datangnya tiba-tiba.. engga bisa kompromi apa..”
Dumel seorang. “Bang Kopi satu!” Pesan seorang lagi.
“Teh
manis hangat tiga bang! Kau apa?” Sahut seorang lalu bertanya pada kawannya.
“Bubur
aja bang..” Jawab kawannya singkat.
Suara
musik mendayu diputar oleh pemilik warung kopi tersebut yang akrab dipanggil
oleh para pelanggannya Mas, Abang, Pak, Om, Mister, Tuan, atau Kisanak—sebenarnya
tidak ada panggilan umum yang semua orang labelkan pada pemilik warung
tersebut. Suara berisik air hujan yang beradu dengan aspal juga atap rumah
sekitar tempat tersebut tidak begitu mengganggu, alunan lembut nyanyian mendayu
menjadi background yang tepat untuk suasana seperti ini—hanya suara musik kecil
yang cukup untuk melontarkan banyak insan ke dalam ilusi semu.
“Bang,
lagunya engga bisa ganti yang lain?” Salah seorang dari rombongan tersebut
memulai protes pada sesi pemutaran lagu oleh si Abang warkop yang menurutnya
tidak bisa mewakili suasana saat hujan tengah malam.
“Lagu Scorpion lebih mantap..” Sarannya
kembali yang tidak diindahkan oleh Abang, ia sibuk menyiapkan beberapa pesanan
orang yang datang untuk membeli makanan atau minuman bungkus.
“Yah,
ganti bang.. ganti..” Protes salah satu rombongan tersebut.
“lagu
apaan maunya?” Respon Abang akhirnya.
“Bruno
Mars bang, bagus lagunya..”
“Siap,
coba saya cari dulu..” Si Abang sibuk menyentuh layar smartphonenya yang terhubung dengan sinyal wifi , sehingga lagu apa saja bisa dengan cepat ia browsing dan
memutarnya dengan fitur streaming music.
Sebuah lagu terdengar dilantunkan melalui pengeras suara pada ruangan
tersebut..
“..I know you somewhere out there, somewhere
far away.. I want you back.. I want you back..” Dengan lancar pengeras
suara yang menghubungkan lantunan lagu dari smartphone
Abang warkop mengisi ruangan tersebut dengan suasana kelabu. Tidak bertahan
lama.
Akibat
ulah seorang dari kawanan tersebut yang me-request
lagu kepada Abang, juga responnya yang tidak hanya menanggapi tetapi juga
memenuhi request tersebut, hampir
semua anggota rombongan tersebut juga merasa memiliki hak untuk meminta
diputarkan lagu kesukaan mereka. Akhirnya, dengan pasrah, tiap permintaan
dipenuhi, segala macam lagu dilantunkan oleh pengeras suara dalam ruangan
setengah terbuka yang berada di pinggir jalan raya tersebut.
Setelah
puas keinginan untuk mendengar lagu kesukaan mereka pada warung tersebut,
beberapa orang mulai merasa jenuh dan tidak tahu harus meminta lagu apa lagi
untuk diputarkan. Hal yang baik untuk si Abang, berarti dia sudah bisa
menikmati musik mendayunya kembali.
“Bentar bang, jangan putar lagu mendayu
lagi.. kita mau request lagi ni..”
Tahan seorang dari rombongan tersebut yang seolah tahu keinginan si Abang yang
kembali ingin menikmati musik mendayunya.
“Minum satu lagi bang, tambah bubur
deh.. biar bisa request..” Dengan
adanya tambahan menu untuk menahan pemutaran lagu mendayu si Abang, dengan terpaksa
dituruti dan lucunya dipenuhi oleh si Abang untuk mereka boleh request lagu lagi.
“Lagu
apa lagi nih?” Tanya seorang kepada yang lain.
“Engga
tahu, bingung kalau gini..”.
“Apa aja
deh, asal jangan lagu mendayu itu lagi..”
“Nah,
betul tuh.. apa aja, asal jangan itu lagu lagi..” Ketidaksetujuan yang didukung
penuh oleh tiap anggota rombongan tersebut disambut kekeh dan tawa kecil untuk
menghibur si Abang agar tidak tersinggung soal selera musiknya yang dianggap
lucu sekaligus aneh, juga membosankan.
“Apa
lagu favoritmu?” Tanya seorang dari rombongan tersebut pada satu kawannya yang
sejak tadi tidak mempergunakan hak requestnya
di warkop tersebut.
“Eh iya,
bener juga.. dia doang nih yang belum request”
Respon yang lain.
“Genre
lagu kesukaan dia apa juga, kita ngga pernah tahu..”
“Iya,
benar juga..” Yang lain setuju. Mungkin hanya alasan untuk terus berbicara
sementara menunggu hujan reda.
“Musik
apa aja juga dengerin aja.. engga perlu genre kan?” Bela seorang tersebut untuk
menanggapi tawaran kawannya agar ia mengatakan lagu apa yang ia sukai.
“Enggak
mungkin, tiap orang pasti ada lagu favoritnya..” Bantah seorang.
“Atau
lagu yang ngena banget di hati..”
“Yang
buat galau..”, “Buat nostalgia”, “Lagu tidur..”
“Atau
lagu patah hati..” Tambah yang lain dengan semangat.
“Yaudah
deh..” Seorang tersebut pasrah, ia meninggalkan tempat duduknya dan mengarah
kepada Si Abang.
“Maaf
bang, boleh saya request juga?”
Tuturnya meminta persetujuan Abang warkop untuk memilih sebuah lagu.
Kawan-kawannya
memperhatikan , ada juga yang sibuk sendiri dengan hpnya.
Sebuah lagu
dilantunkan, seorang tersebut kembali ke tempat duduknya.
Sontak
semua orang pada tempat itu terdiam, kata demi kata mengalir. Alunan musik
mengiringi.
Hujan tetap
berlangsung, rintik-rintik kecil tetap menyerbu tiap atap rumah.
Sebuah lagu
dilantunkan, sebuah nada dinyanyikan, sebuah peristiwa terkuak, sebuah rasa
membungkam riuh jiwa.
Setiap orang
menikmati lagu tersebut, beberapa menikmati makanannya, beberapa menikmati
minumannya, yang lain menyeruput kopi.
Tatapan
seorang tersebut mengarah ke luar, ia menatap hujan.
Lagu terus
diputar hingga berakhir.
Hujan
mulai reda.
Sebuah lagu
tengah dilantunkan, lagu malam temani rintik hujan.
Duhai awan jangan
risaukan pekatnya malam,
Duhai angin jangan
ributkan hadirnya sunyi,
Duhai pujian jangan
lambungkan kosongnya hati,
Duhai lagu,
suarakan kembali cerita pada masa itu,
Tetap aku duduk di
sini,
Untuk menanti
kisah,
Menikmati sakit
dalam sendiri antara menunggu dan meninggalkan.
Lagu
terhenti.
Apakah ini terinspirasi dari warkop di dekat kosan? Haha
BalasHapusHave I told you that I would write a story about song wkwk
BalasHapusAda kah aku sebagai pemeran di tulisan ini?
BalasHapusTidak, mau bngt ditulisin? wkwk
HapusEntah kenapa ketawa-ketawa kecil pas baca cerita ini.
BalasHapusMencoba menggambarkan suasana pada sebuah warung kopi.. Terima kasih sudah mampir sejauh ini untuk membaca :)
Hapus