Kamis, 26 Januari 2017

Lagu Malam



“Tepat memang!” Satu tenggakan, minuman hangat di hadapannya ludes. “Engga tau kalian? Semua ilmu dan teori itu aspirasi orang-orang besar saja” Lelaki bertubuh gempal yang sejak tadi sibuk melontarkan pendapat tentang segala hal kembali melanjutkan orasi pendeknya yang terputus oleh tegukan segelas minuman.

“Berapa bang?” Kalimat singkat yang membutuhkan beberapa waktu bagi pemilik warung untuk menanggapi. “Tigabelas ribu mas” Jawabnya mantap, dilanjutkan dengan gumam yang menampilkan air muka ragu dan memastikan kembali perhitungannya tidak salah. “Ini bang..” Pria tersebut menyerahkan beberapa lembar uang kertas.

Setelah transaksi semacam itu selesai, beberapa pria meninggalkan warung kopi pinggir jalan tersebut. Suasana sepi. Jarum jam pada dinding tempat itu menunjukan pukul 23:07.

Malam yang dingin, beberapa kali angin berhembus seolah-olah panik dan dikacaukan oleh suatu hal. Tepat pada hembusan angin yang terakhir, senyap hadir kemudian dipecahkan oleh gemerisik suara air hujan yang beradu dengan atap-atap bangunan sekitar.

Beberapa detik berlalu, terdengar suara gumam yang semakin lama semakin dekat dengan warung kopi pinggir jalan tersebut. Beberapa orang terbirit-birit lari dan memarkaskan diri pada tempat itu untuk bersembunyi dari grilya air hujan yang bisa membuat pilek. “Ini hujan datangnya tiba-tiba.. engga bisa kompromi apa..” Dumel seorang. “Bang Kopi satu!” Pesan seorang lagi.

“Teh manis hangat tiga bang! Kau apa?” Sahut seorang lalu bertanya pada kawannya.

“Bubur aja bang..” Jawab kawannya singkat.

Suara musik mendayu diputar oleh pemilik warung kopi tersebut yang akrab dipanggil oleh para pelanggannya Mas, Abang, Pak, Om, Mister, Tuan, atau Kisanak—sebenarnya tidak ada panggilan umum yang semua orang labelkan pada pemilik warung tersebut. Suara berisik air hujan yang beradu dengan aspal juga atap rumah sekitar tempat tersebut tidak begitu mengganggu, alunan lembut nyanyian mendayu menjadi background yang tepat untuk suasana seperti ini—hanya suara musik kecil yang cukup untuk melontarkan banyak insan ke dalam ilusi semu.

“Bang, lagunya engga bisa ganti yang lain?” Salah seorang dari rombongan tersebut memulai protes pada sesi pemutaran lagu oleh si Abang warkop yang menurutnya tidak bisa mewakili suasana saat hujan tengah malam.

 “Lagu Scorpion lebih mantap..” Sarannya kembali yang tidak diindahkan oleh Abang, ia sibuk menyiapkan beberapa pesanan orang yang datang untuk membeli makanan atau minuman bungkus.
“Yah, ganti bang.. ganti..” Protes salah satu rombongan tersebut.

“lagu apaan maunya?” Respon Abang akhirnya.

“Bruno Mars bang, bagus lagunya..”
“Siap, coba saya cari dulu..” Si Abang sibuk menyentuh layar smartphonenya yang terhubung dengan sinyal wifi , sehingga lagu apa saja bisa dengan cepat ia browsing dan memutarnya dengan fitur streaming music. Sebuah lagu terdengar dilantunkan melalui pengeras suara pada ruangan tersebut..

“..I know you somewhere out there, somewhere far away.. I want you back.. I want you back..” Dengan lancar pengeras suara yang menghubungkan lantunan lagu dari smartphone Abang warkop mengisi ruangan tersebut dengan suasana kelabu. Tidak bertahan lama.

Akibat ulah seorang dari kawanan tersebut yang me-request lagu kepada Abang, juga responnya yang tidak hanya menanggapi tetapi juga memenuhi request tersebut, hampir semua anggota rombongan tersebut juga merasa memiliki hak untuk meminta diputarkan lagu kesukaan mereka. Akhirnya, dengan pasrah, tiap permintaan dipenuhi, segala macam lagu dilantunkan oleh pengeras suara dalam ruangan setengah terbuka yang berada di pinggir jalan raya tersebut.

Setelah puas keinginan untuk mendengar lagu kesukaan mereka pada warung tersebut, beberapa orang mulai merasa jenuh dan tidak tahu harus meminta lagu apa lagi untuk diputarkan. Hal yang baik untuk si Abang, berarti dia sudah bisa menikmati musik mendayunya kembali.  

“Bentar bang, jangan putar lagu mendayu lagi.. kita mau request lagi ni..” Tahan seorang dari rombongan tersebut yang seolah tahu keinginan si Abang yang kembali ingin menikmati musik mendayunya. 

“Minum satu lagi bang, tambah bubur deh.. biar bisa request..” Dengan adanya tambahan menu untuk menahan pemutaran lagu mendayu si Abang, dengan terpaksa dituruti dan lucunya dipenuhi oleh si Abang untuk mereka boleh request lagu lagi.

“Lagu apa lagi nih?” Tanya seorang kepada yang lain.

“Engga tahu, bingung kalau gini..”.

“Apa aja deh, asal jangan lagu mendayu itu lagi..”

“Nah, betul tuh.. apa aja, asal jangan itu lagu lagi..” Ketidaksetujuan yang didukung penuh oleh tiap anggota rombongan tersebut disambut kekeh dan tawa kecil untuk menghibur si Abang agar tidak tersinggung soal selera musiknya yang dianggap lucu sekaligus aneh, juga membosankan.

“Apa lagu favoritmu?” Tanya seorang dari rombongan tersebut pada satu kawannya yang sejak tadi tidak mempergunakan hak requestnya di warkop tersebut.

“Eh iya, bener juga.. dia doang nih yang belum request” Respon yang lain.

“Genre lagu kesukaan dia apa juga, kita ngga pernah tahu..”

“Iya, benar juga..” Yang lain setuju. Mungkin hanya alasan untuk terus berbicara sementara menunggu hujan reda.

“Musik apa aja juga dengerin aja.. engga perlu genre kan?” Bela seorang tersebut untuk menanggapi tawaran kawannya agar ia mengatakan lagu apa yang ia sukai.

“Enggak mungkin, tiap orang pasti ada lagu favoritnya..” Bantah seorang.

“Atau lagu yang ngena banget di hati..”

“Yang buat galau..”, “Buat nostalgia”, “Lagu tidur..”

“Atau lagu patah hati..” Tambah yang lain dengan semangat.

“Yaudah deh..” Seorang tersebut pasrah, ia meninggalkan tempat duduknya dan mengarah kepada Si Abang.

“Maaf bang, boleh saya request juga?” Tuturnya meminta persetujuan Abang warkop untuk memilih sebuah lagu.

Kawan-kawannya memperhatikan , ada juga yang sibuk sendiri dengan hpnya.

Sebuah lagu dilantunkan, seorang tersebut kembali ke tempat duduknya.

Sontak semua orang pada tempat itu terdiam, kata demi kata mengalir. Alunan musik mengiringi.

Hujan tetap berlangsung, rintik-rintik kecil tetap menyerbu tiap atap rumah.

Sebuah lagu dilantunkan, sebuah nada dinyanyikan, sebuah peristiwa terkuak, sebuah rasa membungkam riuh jiwa.

Setiap orang menikmati lagu tersebut, beberapa menikmati makanannya, beberapa menikmati minumannya, yang lain menyeruput kopi.

Tatapan seorang tersebut mengarah ke luar, ia menatap hujan.

Lagu terus diputar hingga berakhir.

Hujan mulai reda.

Sebuah lagu tengah dilantunkan, lagu malam temani rintik hujan.

Duhai awan jangan risaukan pekatnya malam,
Duhai angin jangan ributkan hadirnya sunyi,
Duhai pujian jangan lambungkan kosongnya hati,
Duhai lagu, suarakan kembali cerita pada masa itu,

Tetap aku duduk di sini,
Untuk menanti kisah,
Menikmati sakit dalam sendiri antara menunggu dan meninggalkan.

Lagu terhenti.


6 komentar:

  1. Apakah ini terinspirasi dari warkop di dekat kosan? Haha

    BalasHapus
  2. Have I told you that I would write a story about song wkwk

    BalasHapus
  3. Ada kah aku sebagai pemeran di tulisan ini?

    BalasHapus
  4. Entah kenapa ketawa-ketawa kecil pas baca cerita ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mencoba menggambarkan suasana pada sebuah warung kopi.. Terima kasih sudah mampir sejauh ini untuk membaca :)

      Hapus

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H