Kamis, 02 Mei 2019

Tentang Cinta



 Awal Baru

Ini adalah hari yang biasa. Matahari menyapa dengan hangatnya, pagi yang cukup indah. Ini hari yang biasa, seperti yang lumrahnya terjadi.

            Ia tak pernah sesiap ini, tak pernah ia mengambil komitmen sebesar ini. Sebuah sepeda motor. Sebuah rumah sederhana berukuran 8x6. Dua hal itu bertempat di atas tanah pusaka terakhir yang ia miliki; warisan dari kedua orang tuanya. Sebagai ganti dari hal itu, 15 hektar tanah di rimba sana, tempat nenek moyangnya dulu berladang habis diberikan pada perusahaan kelapa sawit. Itulah gantinya. Tak pernah ia segugup ini. Sisa dari pembangunan rumah dan pembelian sepeda motor, ada 5 juta sebagai modal awal di perjalanannya ini. Tidak, ia tidak sendiri lagi. Sebentar lagi akan berdua. Maaf, bertiga, nantinya mengarungi perjalanan panjang yang disebut hidup.

            Di kursi depan ruangan itu ia duduk menunduk. Gugup dan keringat bercucuran deras, tak tahu apa yang bisa ia perbuat untuk menghentikan keringat deras dan detak jantung yang tak menentu. Terdengar suara langkah pelan di belakangnya, terus mendekat hingga tiba di sampingnya. Ia menoleh. Nampak kekasih pujaannya menatap ia sekilas, sedikit tersenyum, kemudian duduk di sampingnya. Keduanya sekarang memperhatikan ke arah depan, dimana seorang lelaki umur 40an akan memberi mereka banyak petuah.

Bukankah ini hari yang biasa saja?
Mengapa terasa cukup asing untuk dihadapi?

Detak jantung baru telah ada dalam diri kekasihnya itu. Cahaya baru mungkin telah menyinari hidup keduanya kini, walau terlalu awal bagi mereka menerima anugerah yang tak semua pasangan mendapatnya.

Duduk diam. Berpindah ke panggung pengantin yang sudah disiapkan sehari sebelumnya. Tersenyum dan bersalaman kepada kerabat yang terus berdatangan dan memberi ucapan selamat. Tertangkap beberapa bisik yang menuding pada perut kekasih di sampingnya ini. Keduanya coba untuk tersenyum. Malam tiba, seharian yang penuh lelah diakhiri pukul 23.00.

“Capek ya?” Ia coba mendekati kekasih yang kini telah menjadi isterinya.
“Iya, capek” Nanar tatapan wanita itu, mencoba sedikit tersenyum walau lelah dan penat ia rasa.

Lelaki yang kini sah menjadi suaminya mengusap pelan perut perempuan yang sedang mengandung buah cinta keduanya.

Apalah arti cinta yang terlanjur ternoda? Tak ada hakim yang bisa memberi solusi keadilan dan bisa pisahkan ikhlas rasa bercampur nafsu. Apakah nafsu, apakah cinta, jika keduanya telah sepakat dengan apa yang mereka perbuat. Komitmen? Apa bisa dikata, bukan juga pelanggaran jika keduanya sudah sering sepakat untuk terus bersama dalam lingkar yang kita tahu tidak-seharusnya-terjadi, tapi itu terjadi, bukan?
            Di bawah atap rumah sederhana itu, bukan pertama kali mereka bersama seperti ini, tapi inilah kali pertama keduanya berdampingan di atas tempat tidur sebagai suami-isteri. Di bawah taburan bintang yang menghiasi angkasa gelap malam itu. Angin sesekali berhembus menggelitik, semakin erat pelukan suami-isteri itu. Suara jangkrik dan hewan malam lainnya menjadi latar momentum baru ini. Apakah yang baru?

Sebab tak ada yang baru di bawah langit ini, kita hanya perlu tahu dan menyesuaikan dengan apa yang telah ada, mungkin. Tak bisa simpulkan lebih akan segala perkara, setidaknya kita terus berjalan dan belajar dari apa yang telah menjadi sejarah tiap insan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H