Rabu, 22 Februari 2017

Lamun

Singkirkan pilu, saat sendu tak lagi menjadi kawan,
Benamkan seri saat duka tidak lagi mengalahkan tawa,

Hadirkan aku dalam lamunmu,
Ijinkan senyap dan geming menjadi kawan,
Kala kita jumpa di antara realita dan fatamorgana

Kudengar Kabar

Ucap bahagiaku pada dewi cinta,
Pesanmu kuterima,

Ada kabar,
Bisikmu merdu meronakan pipi kala berjumpa,

Ada riang,
Langkahmu mengiring pada perhentian tepi sendu--kala senja tak lagi menguasai pilu,

Ada risau,
Gelisah titipan buat gentar saat bersemayam dalam lamun asmara,

Kudengar kabar,
Kudengar kabar wahai pujangga merana,
Bisikmu padaku kala itu,
aku mengerti

kudengar kabar,
dewi cinta melepaskan serbuk kasih pada insan berdampingan

biarkan bulan menjadi kawan,
jadikan bintang tempat memandang,

Dewi Cinta,
kudengar kabar,
kisahmu menitip kasmaran pada dua insan.

Jumat, 17 Februari 2017

Lebur

Walau tidak dengan visual nyata

Walau tidak melihat apa yang akan terjadi,
Walau tak tahu apa yang dihadapi.

Lagu melantun dalam ruangan sepi,
Barisan deret raga hadir disekap senyap,

Dentingan musik mengalir,
Menerobos dalam pendengaran,
Menembus hingga ke relung jiwa terdalam.

Walau tidak kulihat,
Walau tidak kuketahui,
Aku mengenalMu
Aku percaya sepenuhnya.

Walau tak kulihat,
Walau tidak tahu,
Aku percaya, dan akan aku jalani,
Aku percaya.

Walau ku tidak dapat melihat rancanganMu,
Aku melebur dalam penyerahan total.

(Sebuah catatan dalam ruangan sepi, di mana beberapa orang hadir dalam senyap, membentuk lingkaran dan menenangkan diri)

Jumat, 10 Februari 2017

Faded Song



Mentari bersinar mengawali pagi.
Gelap berlalu, masa cahaya yang bertahta.

Sinar memancar,
Menembus celah  rumah-rumah.

Suara gerakan terdengar dari tiap tempat hunian, rutinitas normal saat cahaya mentari datang, tiap orang akan sibuk menyiapkan diri untuk beragam aktivitas. Dimulai dari merapikan tempat tidur hingga menyiapkan sarapan atau menyeruput minuman hangat demi awali hari. Seperti yang rutin dilakukan oleh beberapa orang.


Fadi

Suara kicau burung dan seberkas kecil cahaya menyusup ke dalam kamar membangunkannya.
Ia segera beranjak, pergi ke kamar mandi.
Awal hari ia lakukan di dapur, menyeduh kopi panas untuk menyegarkan diri dan mendapat konsentrasi kembali.
Diliriknya jam tangan, masih ada belasan menit baginya untuk meneduhkan diri, mengumpulkan pikiran yang sempat hilang saat ia merebahkan diri semalam.
Jendela kamar ia buka untuk menyambut udara segar.
Diraihnya beberapa potongan pakaian kotor yang telah ia kenakan beberapa hari belakangan.
Pakaian-pakaian tersebut ditaruh dalam sebuah keranjang, untuk nanti ia tinggalkan pada tempat laundry.

Setelah selesai dengan kopi dan pakaian kotor yang ia siapkan, segera ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, ia telah siap dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.

Sebuah tas selempang hitam ia kenakan saat meninggalkan rumah. Pakaian kotor yang ia bawa dititipkan pada sebuah tempat laundry yang bertempatan tak jauh dari area rumahnya.

Seorang lelaki muda yang akrab disapa Udin melayaninya.

"..Nanti saya ambil ya, boss" Tuturnya dengan senyum ringan saat menyerahkan pakaian-pakaian kotor tersebut.

"..Beres mas" Balas Udin sambil terus sibuk dengan beberapa cucian yang sudah menumpuk sepagi ini.

"..Sore nanti saya ambil, seperti biasa.." Ia menambahkan, seraya pergi untuk ke kantor.


Dena

Saat jam wakernya berbunyi, ia bangun spontan dan segera membersihkan diri.
Menyiapkan beberapa berkas untuk ia bawa ke tempat kerja. Hasil kerja kerasnya semalam membuahkan hasil berkas-berkas ini yang telah ia susun.
Dengan handuk yang masih dibalut pada rambutnya, ia meraih sebuah semprotan kecil.
Pada bagian jendela kamar dan belakang rumah disiraminya beberapa pot yang berisikan bunga warna-warni.
Ditatapnya dengan seksama bunga-bunga tersebut, diambilnya gunting untuk menata rapi bagian-bagian bunga.

Selesai dengan aktivitas tanaman-tanaman kecilnya, sempat ia lirik sejenak jam dinding pada ruang tamu.
Masih beberapa menit ia miliki sebelum bekerja.
Awal hari yang cerah, rutinitas biasa yang selalu ia kerjakan.
Dena siap dengan hari ini, segala letih dan penat belum meracuninya saat ini.


**


Riuh suara kendaraan, bersahut-sahutan penjual kaki lima memasarkan dagangannya dan terseok-seok para pelakon drama penuai simpati yang menjebak kasih demi ratusan keping uang berjalan menyusuri trotoar dan pinggir jalanan.
Suasana ramai menghidupkan situasi tempat ini, seolah sebuah gendang kuat bagi orang-orang untuk berlomba mengejar dan mencapai target hari ini.

Fadi mengayuh sepedanya untuk berangkat ke kantor, sesekali berhenti untuk mematuhi rambu lalu lintas berupa lampu berwarna merah yang harus ia lewati sebelum mencapai kantor tempat bekerja.
Sepeda sebagai kendaraan baginya untuk pergi ke kantor dibandingkan teman-teman sekerjanya yang lebih suka naik mobil,

"Suka aja naik sepeda, keren juga kan kalau bersepeda.. Dapat bonus sehatnya lagi, itung-itung olahragakan?" Tutur Fadi saat ada yang ingin tahu mengapa ia memilih sepeda sebagai pengantarnya untuk meluncur ke kantor.

"Fadi!" Suara keras menggema parkiran tempat Fadi meletakan sepedanya, seruan sepagi ini sangat memecah keadaan yang masih sepi untuk ukuran sebuah kantor.

"Edin!" Fadi melambaikan tangannya sekilas sambil merapikan posisi sepeda yang ia pakai.

"Selalu pagi ya datangnya.." Edin mendekat, menampilkan senyum ramah pada wajahnya.

"Iyalah, kan harus kerja keras" Fadi balas tersenyum.

"Nanti malam ada acara engga?" Edin menunjukan sebuah foto pada layar ponselnya.

"Apaan tuh?"

"Pestalah, apa lagi? Join ga, Di?"

"Yah, engga begitu suka sama hal begitu sih.."

"Aduhh, kaku amat sih.. Sekali-sekali bersenang-senang engga apa-apalah.."

"Liat nanti aja ya.." Fadi melangkahkan kakinya untuk masuk dalam kantor.

Edin menahan langkah Fadi, "Bentar dong.. Liat dulu baik-baik" Bujuk Edin sambil kembali memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan foto selfie seorang perempuan dengan riasan tipis make up pada wajahnya dan memperlihatkan senyum berseri yang ia siratkan sebagai kesan ramah juga bahagia melalui air mukanya.

"Cantik juga, bolehlah nanti.." Fadi merespon cepat.

"Mau ke toilet dulu nih!" Fadi meninggalkan Edin.

"Haha, sampai nanti kalau begitu.." Edin kembali sibuk menyentuh layar ponselnya.


*
“Biasa?” Senyum merekah seorang pelayan di restoran cepat saji menyambut pelanggan setia yang sudah ia kenali lama ini.

“Biasa, jangan lupa kopinya jangan terlalu pahit” Dena membalas senyuman sambil menyampaikan pesanannya kepada pelayan.

Ia melangkahkan kaki dengan cepat sambil memegang pesanan sarapan yang selalu ia bawa saat ke kantor, melewati beberapa gang saja ia sudah tiba di tempat bekerja.

“Sudah siap hari ini?” Seorang lelaki menyambutnya dengan wajah antusias.

I am crazy about this dude!” Dena meletakan tas dan sarapan pesanannya di atas meja lalu menjumpai lelaki yang menyambutnya.

“Gimana?” Tanya lelaki tersebut antusias.

“Puyeng banget sih.. tapi kelar juga”

“Jangan gugup oke..”

“Jangan gugup” Dena mengulangi kalimat itu mantap.

“Dena, loe bisa!”

“Dena, loe bisa!”

This is your good day! Best day!”

“My best day, this my best time to be the best!” Dena memekik dan merangkul lelaki di hadapannya. Ia biasa melakukan hal ini seperti sebuah rutinitas bersama Loren, seorang sahabat setia yang selalu memotivasinya untuk membangun kepercayaan diri sebelum melakukan hal-hal penting, misalnya, rapat dengan para direksi, mempresentasikan tentang proyek usulan untuk perkembangan perusahaan atau mengajukan solusi banding untuk pemecahan masalah.

Thanks Loren, loe emang yang terbaik!” Dena bersemangat dan kembali ke meja kerjanya lalu mempersiapkan beberapa berkas. Komputer pada meja kerja ia nyalakan dan membuka email untuk mempersiapkan materi presentasi yang sudah ia siapkan hampir semalaman.

*

Fadi menyeruput kopi yang Edin bawakan untuknya sambil menikmati senja pada saat ini,
“Baguskan?” Edin cengengesan memperhatikan raut Fadi yang sejak tadi terus menatap senja.
“Iya, engga buruk juga ini tempat..” Fadi menjawab sambil kembali meletakan gelas kopinya.
“Sesekali emang harus menikmati hiduplah, khusus hari ini senang-senang sedikit engga apa-apalah..”
“Iya”
“Mau jalan sebentar setelah ini? Pesta entar malam udah ditolakkan?”
“Oke, ngikut aja” Fadi tak enak hati menolak lagi, setelah ajakan Edin menyangkut pesta yang ia sampaikan tadi pagi telah mentah-mentah Fadi tolak dengan alasan takut tidak bisa keesokannya kalau ada berpesta.
“Kemana?” Fadi ragu dan mencoba memastikan tujuan mereka berikutnya.
“Ada, tempatnya bagus juga..”
“Oke...” Raut Fadi menampilkan pertimbangan sambil ia kembali meneguk minumannya.
“Tenanglah, sebentar aja ke situ.. cepat pulang kok, kan mau kerja besok” Edin cengengesan saat melihat ekspresi khawatir di wajah teman sekantornya ini.

*

“Loren!” Dena memekik, menghambur ke arah Loren dengan raut wajah puas dan bahagia.

“Yes?” Loren ikut girang namun masih menampakan keraguan.

“Yes!” Dena mengulang mantap.

“OMG! This is... So crazy!” Loren ikut bahagia atas pencapaian kerabatnya saat ini.

“Kita harus rayain ini.. harus banget!” Loren memaksa.

“Gimana?” Dena kebingungan dengan usulan Loren yang memang terkadang aneh dan bersifat tiba-tiba.

“Apa lagi? Makan-makanlah, minum.. berpesta!” Loren bersemangat.

“No.. no, no, Loren did you forget about what happened at our last celebration?” Raut Dena protes.

But, we must celebrate this, come on, Dena!” Suara Loren memekik.

“Oke, kalau memang harus, gue akan ikut kalau tempatnya bisa untuk nenangin pikiran dan damai..”

“Oke, kayak tempat pertapaan?” Loren mencibir.

“Gue lewatin neraka, sekarang gue mau nikmati damai dan bebas dari tugas yang sudah selesai ini..”

Loren menarik nafas. “Gue tahu sih tempat gitu, Ah!” Ia menepuk keras tangannya kemudian mengepalkannya dan melirik ke arah Dena, “Gue tahu harus kemana” Pungkasnya mantap.

**
“Ada tanggapan?” Edin cengengesan melihat Fadi yang hanya bisa bengong terhipnotis oleh suasana tempat ini.
Segera Edin mengarahkan kerabatnya untuk menempati sebuah tempat duduk yang dirancang khusus untuk bermalas-malasan dimabuk maupun terhipnotis eksotisnya pantai. Angin berhembus sesekali membawa hawa kesejukan yang membuat tenang. Seorang pelayan mendekat sambil membawa pesanan makanan dan minuman yang sudah Edin pesan sebelumnya, meletakannya di atas meja dekat tempat Edin dan Fadi menelantarkan diri dalam kepasrahan dibuai rasa relaksasi yang menyatu dengan alam, tiap liuk angin melewati kulit lembut seperti pijatan yang membuat lemas dan ingin tidak beranjak maupun bergerak.

God! Oh, how I love you!” Dena gemas atas temuan Loren yang berhasil membawanya ke tempat ini, sejak awal ia tiba, Dena sudah jatuh hati dan suka dengan suasana tempat ini.

Loren hanya tertawa kecil memperhatikan Dena yang begitu bahagia dan bebas, gelagatnya memperlihatkan berapa kali ia melakukan ritual tarik nafas dan membuangnya secara lepas, Ahh!

“Woi, jangan terlalu gila dengan kebebasan, di sini tempatnya untuk duduk dan menikmati dibuai angin” Loren mengarahkan Dena yang sejak tadi gila dalam dunianya sendiri.

Beberapa makanan dan minuman mereka pesan untuk menikmati waktu di tempat ini.

Dena mabuk dalam dunia lepasnya, Lorenpun hanyut dalam buai suasana tempat ini.

***
Suasana pengunjung di tempat ini tengah mabuk dalam buai suasana yang memikat untuk menikmati penyegaran dan pelepasan diri. Beberapa kali pelayan harus lalu lalang dan bolak balik dalam memenuhi pesanan para pelanggan yang terus meningkat.
Memasuki malam hari, saat senja sudah mengundurkan diri dan mentari tak lagi angkuh dengan sinar jingganya sebagai tanda pisah pada akhir hari.

Sebuah lagu dinyanyikan lembut, mengalir dan melantun dengan semestinya.

Seorang lelaki di sisi sebelah tengah menikmati suasana tempat ini, lalu menegakan badannya, ia berdiri dan terlihat menikmati tiap lirik yang lagu lantunkan di tempat ini.

Di sisi lain seorang wanita terlihat termenung menikmati bagian lirik yang sama juga,

Dalam satu jentikan takdir, saat pria yang berdiri itu menoleh dan wanita yang termenung ia terkesiap oleh siluet yang menatap kearahnya, tatapan mereka bertemu.

Terjadi jeda beberapa saat, senyum merekah pada wajah mereka masing-masing.

“Apa kabar masa lalu?” Batin Fadi.

“Sedang apa di sini?” Dena seolah bicara walau tanpa suara.

Untuk apa engkau hadir lagi?
Demi menjumpaimu ungkapku
Buat apa kau muncul lagi?
Mengulang cerita bukanlah tujuanku—percayalah!
Kau percaya pada kebetulan?
Mungkin takdir yang menuliskan
Apa kabar cahaya purnama?
Masihkah merengkuhmu memampukanku melihat dunia?

Fadi melirik ke arah Edin dan memberi isyarat untuk beranjak pergi.

Dena membuyarkan lamun Loren, “Sudah yuk, udah segar lagi..” Bujuknya dengan senyum.

Tak ada sedih, tidak juga tangis.

Tatapan merekalah yang menjadi pemicu keanehan,

Semua karena lagu, namun tidak sepenuhnya lagu yang salah diputarkan pada tempat ini.
Tidak ada sakit,

Tidak juga hadir penyesalan.

“Padahal lagunya lagi bagus” Gerutu Loren pada Dena.

“Lagunya lagi pas untuk nostalgia” Edin mencibir Fadi.

“Cuma lagu biasa” Ungkap Dena dan Fadi pada saat bersamaan di posisi hadir yang berbeda.

“Lagu lama yang sudah memudar..” Fadi berkomentar.

“Pudarnya bak gula yang larut dalam secangkir kopi, tidak pahit tidak juga manis, netral” Pungkas Dena.

...

Rabu, 08 Februari 2017

Perjumpaan



Aku mengenal senyum yang kau selipkan dalam percakapan yang tengah kau lakukan bersama kawanmu saat ini.
Aku mengenal gerakan gestur tubuhmu yang sesekali merebahkan diri untuk menanggapi canda jenaka, aku sangat tahu sikapmu yang menghentakan kaki dan menepukan tangan dengan keras pada pahamu untuk merespon topik menarik yang kau sangat suka menyimaknya.
Aku begitu terpaku pada kehadiranmu di ujung sana, yang dihiasi senyum merekah dan tawa terbahak, aku menyayangi tingkahmu yang lucu saat larut dalam obrolan bersama para sahabatmu.
Di ujung sini aku termanggu, memegang segelas minuman yang aku harap bisa menyegarkan dahagaku walau sesaat, kemudian aku sadar, alasanku meraih gelas yang kugenggam saat ini bukanlah untuk melepas haus, tetapi mengalihkan fokusku pada rasa yang diracik dalam gelas ini dari ketertarikan mata untuk mengagumimu di sisi sana.

“Del! Lo apa kabar?” Carmel, teman seangkatanku mengajukan tangannya untuk bersalaman—yang kemudian kusambut disertai senyum, “Sehat lo sekarang?” Senyumnya merekah.

“Iya, gue sehat-sehat aja..” Balasku.

“Yah, syukurlah.. lama juga enggak ketemu lo kan..” Carmel memandangiku sejenak untuk menebarkan hawa keakraban, matanya lalu menangkap sosok lainnya di tempat lain dalam ruangan ini. Tangannya melambai disertai senyum merekah.

“Gue ke sana dulu ya..” Pungkasnya, menyudahi waktu bersapa ramah dengan teman lama, ia meninggalkanku dan menuju ke tempat lain.

Aku kembali berteman segelas minuman ini, yang baru aku sadari rasanya saat kusesap sedikit sambil berdiri menunjukan sikap canggung dan menebarkan senyuman pada tiap orang yang hadir dalam ruangan ini. Engga ada orang yang bisa gue ajak ngomong akrab apa?

“Masih belum beres juga lu?” Suara seseorang yang hadir di sampingku tiba-tiba membuat lamunanku buyar.

“Bang Riski!” Pekikku langsung mencoba merangkulnya.

“Yaelah, elu masih gini aja.. sehat lu?” Ia melepaskan rangkulanku. “Lu gendutan tau, beri gua udara untuk nafas!” Nada ketus yang sudah biasa aku cerna, bahkan saat berkuliah dulu, ia memang ketus namun tidak dapat aku pungkiri bahwa Bang Riski adalah senior yang baik dan asik untuk diajak berbincang, kami terbilang sangat akrab saat di bangku kuliah dulu, waktu itu aku adalah junior yang dua tahun di bawah angkatannya.

“Apaan sih lu bang, masih jahat aja sama gue, udah lama enggak ketemu lohh..” Cibirku sambil cemberut.

“Lebay lu!” Ia menaikan nada suaranya sambil terkekeh lalu merangkulku. Ku balas perlakuannya, aku sangat menikmati waktu ini, membuatku kembali bernostalgia dengan masa kuliah dulu. Saat kami, aku dan bang Riski, juga beberapa temannya banyak menghabiskan waktu bersama, setidaknya sampai tahun terakhir masa kuliah bang Riski, dalam tahun Sophomoreku yang berikutnya bang Riski dan teman-temannya lulus,saat itulah aku merasa kehilangan salah seorang teman curhat dan berantem yang ternyata sangat berharga bagiku.

“Masih belum beres juga urusan lu sampai sekarang?” Ia melepaskan rangkulannya dan meraih segelas minuman sambil menatap ke arah seseorang di sisi sana.

“Urusan apa sih bang?” Aku mencoba mengelak, namun bang Riski sangat mengenalku, ia mungkin sangat jelas melihat tingkahku sekarang gelabakan dalam menanggapi pertanyaan yang ia lontarkan.

“Udah sih, terus aja gitu.. engga cape lu?” Balas bang Riski ketus.

“Susah bang, masih belum..” Sedihku dengan tatapan nanar pada sisi seberang.

“Terus?”

“Terus apa bang?”

“Gini aja lu? Udah?”

“Iya, gimana lagi bang? Abang tahu sendirikan gimana ribetnya kami sejak kuliah dulu?”
Suaraku meninggi, kudekati tubuh bang Riski untuk mendekatkan mulutku pada telinganya.

“Engga usah dekat-dekat, entar baper lu sama gua” Ia mendorong tubuhku agak menjauh.

“Gue tunggu di ujung sana ya.. Gue mau nonton” Ia menunjuk sudut ruangan ini, sambil matanya menatap tajam kearahku, raut wajah yang ia berikan mengembangkan senyuman khas yang sangat aku kenali dulu, saat ia memberi tanda atau perintah, instruksi, mengkoreksi—apapun itu! Yang aku mengerti dari senyum dan tingkah bang Riski saat ini adalah, ia mengisyaratkan bahasa dalam gelagatnya Pergi lu sana! Beresin urusan lu!

Baik! Akan aku selesaikan!

Aku menaruh gelas yang sejak tadi kugenggam di atas meja.

Kudekati sosok di ujung sana, sambil diperhatikan oleh bang Riski dari pojok ruangan.

“Hai bang” Sapaku saat dekat dengan sosok ini.

“Gimana kabar lu?” Ia menyodorkan tangannya ke arahku. Sebuah basa-basi yang udah basi!

“Baik bang” Sahutku menyambut tangannya.

“Sama siapa lu ke sini?”

“Sendiri bang..”

“Oh, gue sama cewek gue tuh..” Ia menunjuk pada sisi lain ruangan ini.

“Cie, yang udah berdua..” Aku mencoba untuk biasa saja, walaupun ada gejolak aneh yang mengacaukan batin dan konsentrasiku. Come on! Kuasai dirimu Adela!

“Abang masih di sekitar sini kerjanya?” Aku bertanya sekenanya saja.

“Iya, eh, enggak sih, gue baru balik dari kampung.. biasalah ada proyek sedikit” Ia meneguk minumannya, sambil menatap ke arahku. Dan, aku mati kutu. Kampret! Senyuman itu.

Sejenak hening tercipta, apakah aku yang terlalu kaku untuk berbicara, atau memang suasana ini diijinkan kelu untuk melumpuhkan nalar dalam berkomunikasi.

“Lu udah beda sekarang” Ia mulai berbicara.

“Hah, beda gimana bang? Biasa aja gue”, Ia meneguk minumannya kembali.

“Enggak, beda aja penampilanmu, eh elu maksud gue” Senyum itu kembali merekah.

“Lu engga ada ngomong apa-apa lagi kan sama gua?” Ia menanyakan hal aneh tersebut padaku, kenapa harus pertanyaan aneh yang ia ajukan!, Ia melambai pada seseorang di belakangku.

“Gue kayaknya mau balik nih” Ia melanjutkan,

“Iya udah bang, gue engga ada ngomong apa-apa lagi kok, cuman nyapa doang kok..”

Aku kikuk, mati kutu dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sosok itu berlalu.

Pesta ini adalah acara pertemuan para alumni yang diadakan oleh fakultas di kampusku dulu dengan tujuan untuk mempererat hubungan para alumni dan alumnus, yang walaupun sudah sibuk dengan kegiatan juga pekerjaan profesi masing-masing tetapi tetap menjalin hubungan persahabatan yang akrab. Kenapa aku harus bertemu ia lagi di acara seperti ini?
Beberapa wajah teman lama aku jumpai, kusalami mereka satu persatu dan berbincang sejenak untuk sekedar menanyakan kabar, dari sudut mataku aku menangkap siluet yang bergerak meninggalkan ruangan ini. Kulihat dia, sosok yang beberapa saat lalu berbincang denganku.


Sayang, ia tidak dapat kutanyai banyak hal.

Sayang, sifat kikukku muncul pada saat yang tidak tepat.

Sayang, seribu kali sayang, seseorang telah ia pilih untuk menemaninya.

Sayang sekali, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, apalah fungsiku sekarang?

Di hadapannya aku tidak berbentuk. Aku kaku bagaikan patung.


Aku menjumpaimu pada pesta keakraban,
Kusukai gelagatmu—walau kubenci senyum itu
Aku berbicara denganmu pada bentang waktu untuk cerita lama—bodohnya, tidak sempat kuungkit masa itu,

Engkau berlalu dari hadapan,
Siluetmu tertangkap hanya lewat celah kecil diujung garis mata—tidak ada kata perpisahan saat engkau beranjak,
Aku kaku dibuai pilu,
Aku pedih diusik gelisah,
Aku diam dibungkam cinta.

Kisahku jenaka—bertemu cinta dalam sebuah pesta,
Naas, kisahmu bukanlah aku,
Ironi, kisahku bukan bagianmu!

Konflik yang lama berlangsung di antara kami—sosok yang membuatku kikuk itu, ia dan aku tadinya adalah sepasang kekasih, namun di tengah kisah kami ia memutuskan pergi.

“Udah ya, anggap aja semuanya engga pernah terjadi” Ungkapnya padaku pagi itu di warung tempat kami biasa makan bersama. “Kenapa bang?” Aku menahan tangis kala itu.

Aku ingat semuanya. Aku ingat semuanya dan aku terjebak di dalam masa itu—tentang itu senantiasa terfilmkan dalam ingatan.

“Mungkin gue terlalu cepat untuk memutuskan ini cinta, maaf ya, kita engga bisa lanjut” Ia memutuskan hubungan kami.

Sejak saat itulah hubungan kami benar-benar berubah, aku tidak mengenalnya lagi, tidak juga aku menjumpai sosoknya dahulu.

Beberapa saat aku sering hanyut dalam lamunan saat bersama ia dulu, aku hanya mengenal ia saat aku belum memilikinya, itulah yang membuat aku mengenal setiap geriknya.

Mengenai jarak yang tercipta di antara kami?

Itulah pertanyaan yang setelah aku pikir-pikir bukanlah bentuk tanya, namun sebuah masalah yang perlu diselesaikan, apa yang salah dengan kami?

Tetapi, mungkin hanya aku yang menginginkan jawabannya—ia tidak.

Seperti yang ia ungkapkan, “Kita udahan ya, lupain aja semuanya”.

Mungkin aku harus mulai beranjak juga dan melupakan saja masa itu walaupun terus ada di ingatanku.

Aku berjalan menjauhi obrolan grup yang tengah terjadi dalam ruangan ini.

Di sudut sana bang Riski menatapku, ia tersenyum dengan gelagat khasnya.

“Sudah?”

“Belum bang, mungkin memang engga harus diselesaikan dengan bicara”

Aku mengerti bahwa jawaban yang kucari selama ini bukanlah jawaban darinya, namun kedewasaanku dalam menerima bahwa aku adalah masa lalunya—sepantasnyalah tidak begitu aku ungkit, karena hidupku di masa ini.

THE END

Senin, 06 Februari 2017

Aku tahu, aku paham

Aku mengerti tawa yang dibalut seri, tak jarang aku terpukau olehnya
Aku mengenal tatap takjub dilumuri sentak, kadang jumpa kami di perjalanan,

Aku tahu arti tepukan bahu yang berlalu-lalang,
Bersahabat katanya, tapi tidak ada kusesap manisnya ikatan itu,

Aku sadar akan penjabaran yang tidak transparan itu,
Aku tidak gentar atas takut yang dibagikan,
Apa yang harus aku bingungkan?
Apa yang harus aku gentar olehnya?

Jika tuanku menyuruh pergi,

Aku paham,
Aku mendengar, aku tahu, aku pergi,

Tapi, kalian tak paham,
Tepatnya, kita tak sepaham.

(Catatan malam pada awal melepas diri)
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H