Singkirkan pilu, saat sendu tak lagi menjadi kawan,
Benamkan seri saat duka tidak lagi mengalahkan tawa,
Hadirkan aku dalam lamunmu,
Ijinkan senyap dan geming menjadi kawan,
Kala kita jumpa di antara realita dan fatamorgana
Rabu, 22 Februari 2017
Kudengar Kabar
Ucap bahagiaku pada dewi cinta,
Pesanmu kuterima,
Ada kabar,
Bisikmu merdu meronakan pipi kala berjumpa,
Ada riang,
Langkahmu mengiring pada perhentian tepi sendu--kala senja tak lagi menguasai pilu,
Ada risau,
Gelisah titipan buat gentar saat bersemayam dalam lamun asmara,
Kudengar kabar,
Kudengar kabar wahai pujangga merana,
Bisikmu padaku kala itu,
aku mengerti
kudengar kabar,
dewi cinta melepaskan serbuk kasih pada insan berdampingan
biarkan bulan menjadi kawan,
jadikan bintang tempat memandang,
Dewi Cinta,
kudengar kabar,
kisahmu menitip kasmaran pada dua insan.
Pesanmu kuterima,
Ada kabar,
Bisikmu merdu meronakan pipi kala berjumpa,
Ada riang,
Langkahmu mengiring pada perhentian tepi sendu--kala senja tak lagi menguasai pilu,
Ada risau,
Gelisah titipan buat gentar saat bersemayam dalam lamun asmara,
Kudengar kabar,
Kudengar kabar wahai pujangga merana,
Bisikmu padaku kala itu,
aku mengerti
kudengar kabar,
dewi cinta melepaskan serbuk kasih pada insan berdampingan
biarkan bulan menjadi kawan,
jadikan bintang tempat memandang,
Dewi Cinta,
kudengar kabar,
kisahmu menitip kasmaran pada dua insan.
Jumat, 17 Februari 2017
Lebur
Walau tidak dengan visual nyata
Walau tidak melihat apa yang akan terjadi,
Walau tak tahu apa yang dihadapi.
Lagu melantun dalam ruangan sepi,
Barisan deret raga hadir disekap senyap,
Dentingan musik mengalir,
Menerobos dalam pendengaran,
Menembus hingga ke relung jiwa terdalam.
Walau tidak kulihat,
Walau tidak kuketahui,
Aku mengenalMu
Aku percaya sepenuhnya.
Walau tak kulihat,
Walau tidak tahu,
Aku percaya, dan akan aku jalani,
Aku percaya.
Walau ku tidak dapat melihat rancanganMu,
Aku melebur dalam penyerahan total.
(Sebuah catatan dalam ruangan sepi, di mana beberapa orang hadir dalam senyap, membentuk lingkaran dan menenangkan diri)
Walau tidak melihat apa yang akan terjadi,
Walau tak tahu apa yang dihadapi.
Lagu melantun dalam ruangan sepi,
Barisan deret raga hadir disekap senyap,
Dentingan musik mengalir,
Menerobos dalam pendengaran,
Menembus hingga ke relung jiwa terdalam.
Walau tidak kulihat,
Walau tidak kuketahui,
Aku mengenalMu
Aku percaya sepenuhnya.
Walau tak kulihat,
Walau tidak tahu,
Aku percaya, dan akan aku jalani,
Aku percaya.
Walau ku tidak dapat melihat rancanganMu,
Aku melebur dalam penyerahan total.
(Sebuah catatan dalam ruangan sepi, di mana beberapa orang hadir dalam senyap, membentuk lingkaran dan menenangkan diri)
Jumat, 10 Februari 2017
Faded Song
Mentari bersinar mengawali
pagi.
Gelap berlalu, masa cahaya yang
bertahta.
Sinar memancar,
Menembus celah rumah-rumah.
Suara gerakan terdengar dari
tiap tempat hunian, rutinitas normal saat cahaya mentari datang, tiap orang
akan sibuk menyiapkan diri untuk beragam aktivitas. Dimulai dari merapikan
tempat tidur hingga menyiapkan sarapan atau menyeruput minuman hangat demi
awali hari. Seperti yang rutin dilakukan oleh beberapa orang.
Fadi
Suara kicau
burung dan seberkas kecil cahaya menyusup ke dalam kamar membangunkannya.
Ia segera
beranjak, pergi ke kamar mandi.
Awal hari ia
lakukan di dapur, menyeduh kopi panas untuk menyegarkan diri dan mendapat
konsentrasi kembali.
Diliriknya jam
tangan, masih ada belasan menit baginya untuk meneduhkan diri, mengumpulkan
pikiran yang sempat hilang saat ia merebahkan diri semalam.
Jendela kamar ia
buka untuk menyambut udara segar.
Diraihnya
beberapa potongan pakaian kotor yang telah ia kenakan beberapa hari belakangan.
Pakaian-pakaian
tersebut ditaruh dalam sebuah keranjang, untuk nanti ia tinggalkan pada tempat laundry.
Setelah selesai
dengan kopi dan pakaian kotor yang ia siapkan, segera ia bergegas ke kamar
mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit kemudian,
ia telah siap dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.
Sebuah tas
selempang hitam ia kenakan saat meninggalkan rumah. Pakaian kotor yang ia bawa
dititipkan pada sebuah tempat laundry yang bertempatan tak jauh dari area
rumahnya.
Seorang lelaki
muda yang akrab disapa Udin melayaninya.
"..Nanti
saya ambil ya, boss" Tuturnya dengan senyum ringan saat menyerahkan
pakaian-pakaian kotor tersebut.
"..Beres
mas" Balas Udin sambil terus sibuk dengan beberapa cucian yang sudah
menumpuk sepagi ini.
"..Sore
nanti saya ambil, seperti biasa.." Ia menambahkan, seraya pergi untuk ke
kantor.
Dena
Saat jam wakernya
berbunyi, ia bangun spontan dan segera membersihkan diri.
Menyiapkan beberapa
berkas untuk ia bawa ke tempat kerja. Hasil kerja kerasnya semalam membuahkan
hasil berkas-berkas ini yang telah ia susun.
Dengan handuk
yang masih dibalut pada rambutnya, ia meraih sebuah semprotan kecil.
Pada bagian
jendela kamar dan belakang rumah disiraminya beberapa pot yang berisikan bunga
warna-warni.
Ditatapnya
dengan seksama bunga-bunga tersebut, diambilnya gunting untuk menata rapi
bagian-bagian bunga.
Selesai dengan
aktivitas tanaman-tanaman kecilnya, sempat ia lirik sejenak jam dinding pada
ruang tamu.
Masih beberapa
menit ia miliki sebelum bekerja.
Awal hari yang
cerah, rutinitas biasa yang selalu ia kerjakan.
Dena siap dengan
hari ini, segala letih dan penat belum meracuninya saat ini.
**
Riuh suara
kendaraan, bersahut-sahutan penjual kaki lima memasarkan dagangannya dan
terseok-seok para pelakon drama penuai simpati yang menjebak kasih demi ratusan
keping uang berjalan menyusuri trotoar dan pinggir jalanan.
Suasana ramai menghidupkan situasi
tempat ini, seolah sebuah gendang kuat bagi orang-orang untuk berlomba mengejar
dan mencapai target hari ini.
Fadi mengayuh sepedanya untuk
berangkat ke kantor, sesekali berhenti untuk mematuhi rambu lalu lintas berupa
lampu berwarna merah yang harus ia lewati sebelum mencapai kantor tempat
bekerja.
Sepeda sebagai kendaraan
baginya untuk pergi ke kantor dibandingkan teman-teman sekerjanya yang lebih
suka naik mobil,
"Suka aja naik sepeda,
keren juga kan kalau bersepeda.. Dapat bonus sehatnya lagi, itung-itung
olahragakan?" Tutur Fadi saat ada yang ingin tahu mengapa ia memilih
sepeda sebagai pengantarnya untuk meluncur ke kantor.
"Fadi!" Suara keras
menggema parkiran tempat Fadi meletakan sepedanya, seruan sepagi ini sangat
memecah keadaan yang masih sepi untuk ukuran sebuah kantor.
"Edin!" Fadi
melambaikan tangannya sekilas sambil merapikan posisi sepeda yang ia pakai.
"Selalu pagi ya
datangnya.." Edin mendekat, menampilkan senyum ramah pada wajahnya.
"Iyalah, kan harus kerja
keras" Fadi balas tersenyum.
"Nanti malam ada acara
engga?" Edin menunjukan sebuah foto pada layar ponselnya.
"Apaan tuh?"
"Pestalah, apa lagi? Join
ga, Di?"
"Yah, engga begitu suka
sama hal begitu sih.."
"Aduhh, kaku amat sih..
Sekali-sekali bersenang-senang engga apa-apalah.."
"Liat nanti aja
ya.." Fadi melangkahkan kakinya untuk masuk dalam kantor.
Edin menahan langkah Fadi,
"Bentar dong.. Liat dulu baik-baik" Bujuk Edin sambil kembali
memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan foto selfie seorang
perempuan dengan riasan tipis make up pada wajahnya dan memperlihatkan senyum
berseri yang ia siratkan sebagai kesan ramah juga bahagia melalui air mukanya.
"Cantik juga, bolehlah
nanti.." Fadi merespon cepat.
"Mau ke toilet dulu
nih!" Fadi meninggalkan Edin.
"Haha, sampai nanti kalau
begitu.." Edin kembali sibuk menyentuh layar ponselnya.
*
“Biasa?” Senyum merekah seorang
pelayan di restoran cepat saji menyambut pelanggan setia yang sudah ia kenali
lama ini.
“Biasa, jangan lupa kopinya
jangan terlalu pahit” Dena membalas senyuman sambil menyampaikan pesanannya
kepada pelayan.
Ia melangkahkan kaki dengan cepat
sambil memegang pesanan sarapan yang selalu ia bawa saat ke kantor, melewati
beberapa gang saja ia sudah tiba di tempat bekerja.
“Sudah siap hari ini?” Seorang
lelaki menyambutnya dengan wajah antusias.
“I am crazy about this dude!” Dena meletakan tas dan sarapan
pesanannya di atas meja lalu menjumpai lelaki yang menyambutnya.
“Gimana?” Tanya lelaki tersebut
antusias.
“Puyeng banget sih.. tapi kelar
juga”
“Jangan gugup oke..”
“Jangan gugup” Dena mengulangi
kalimat itu mantap.
“Dena, loe bisa!”
“Dena, loe bisa!”
“This is your good day! Best day!”
“My
best day, this my best time to be the best!” Dena memekik dan merangkul lelaki di hadapannya. Ia biasa
melakukan hal ini seperti sebuah rutinitas bersama Loren, seorang sahabat setia
yang selalu memotivasinya untuk membangun kepercayaan diri sebelum melakukan
hal-hal penting, misalnya, rapat dengan para direksi, mempresentasikan tentang
proyek usulan untuk perkembangan perusahaan atau mengajukan solusi banding
untuk pemecahan masalah.
“Thanks Loren, loe emang yang terbaik!” Dena bersemangat dan kembali
ke meja kerjanya lalu mempersiapkan beberapa berkas. Komputer pada meja kerja
ia nyalakan dan membuka email untuk mempersiapkan materi presentasi yang sudah
ia siapkan hampir semalaman.
*
Fadi menyeruput kopi yang Edin
bawakan untuknya sambil menikmati senja pada saat ini,
“Baguskan?”
Edin cengengesan memperhatikan raut Fadi yang sejak tadi terus menatap senja.
“Iya,
engga buruk juga ini tempat..” Fadi menjawab sambil kembali meletakan gelas
kopinya.
“Sesekali
emang harus menikmati hiduplah, khusus hari ini senang-senang sedikit engga
apa-apalah..”
“Iya”
“Mau
jalan sebentar setelah ini? Pesta entar malam udah ditolakkan?”
“Oke,
ngikut aja” Fadi tak enak hati menolak lagi, setelah ajakan Edin menyangkut
pesta yang ia sampaikan tadi pagi telah mentah-mentah Fadi tolak dengan alasan
takut tidak bisa keesokannya kalau ada berpesta.
“Kemana?”
Fadi ragu dan mencoba memastikan tujuan mereka berikutnya.
“Ada,
tempatnya bagus juga..”
“Oke...”
Raut Fadi menampilkan pertimbangan sambil ia kembali meneguk minumannya.
“Tenanglah,
sebentar aja ke situ.. cepat pulang kok, kan mau kerja besok” Edin cengengesan
saat melihat ekspresi khawatir di wajah teman sekantornya ini.
*
“Loren!” Dena memekik, menghambur
ke arah Loren dengan raut wajah puas dan bahagia.
“Yes?” Loren ikut girang namun
masih menampakan keraguan.
“Yes!” Dena mengulang mantap.
“OMG! This is... So crazy!” Loren ikut bahagia atas pencapaian kerabatnya
saat ini.
“Kita harus rayain ini.. harus
banget!” Loren memaksa.
“Gimana?” Dena kebingungan dengan
usulan Loren yang memang terkadang aneh dan bersifat tiba-tiba.
“Apa lagi? Makan-makanlah,
minum.. berpesta!” Loren bersemangat.
“No.. no, no, Loren did you forget about what happened at our
last celebration?” Raut Dena protes.
“But, we must celebrate this, come on, Dena!” Suara Loren memekik.
“Oke, kalau memang harus, gue
akan ikut kalau tempatnya bisa untuk nenangin pikiran dan damai..”
“Oke, kayak tempat pertapaan?”
Loren mencibir.
“Gue lewatin neraka, sekarang gue
mau nikmati damai dan bebas dari tugas yang sudah selesai ini..”
Loren menarik nafas. “Gue tahu
sih tempat gitu, Ah!” Ia menepuk keras tangannya kemudian mengepalkannya dan
melirik ke arah Dena, “Gue tahu harus kemana” Pungkasnya mantap.
**
“Ada
tanggapan?” Edin cengengesan melihat Fadi yang hanya bisa bengong terhipnotis
oleh suasana tempat ini.
Segera
Edin mengarahkan kerabatnya untuk menempati sebuah tempat duduk yang dirancang
khusus untuk bermalas-malasan dimabuk maupun terhipnotis eksotisnya pantai.
Angin berhembus sesekali membawa hawa kesejukan yang membuat tenang. Seorang
pelayan mendekat sambil membawa pesanan makanan dan minuman yang sudah Edin
pesan sebelumnya, meletakannya di atas meja dekat tempat Edin dan Fadi
menelantarkan diri dalam kepasrahan dibuai rasa relaksasi yang menyatu dengan
alam, tiap liuk angin melewati kulit lembut seperti pijatan yang membuat lemas
dan ingin tidak beranjak maupun bergerak.
“God! Oh, how I love you!” Dena gemas atas temuan Loren yang
berhasil membawanya ke tempat ini, sejak awal ia tiba, Dena sudah jatuh hati
dan suka dengan suasana tempat ini.
Loren hanya tertawa kecil
memperhatikan Dena yang begitu bahagia dan bebas, gelagatnya memperlihatkan
berapa kali ia melakukan ritual tarik nafas dan membuangnya secara lepas, Ahh!
“Woi, jangan terlalu gila dengan
kebebasan, di sini tempatnya untuk duduk dan menikmati dibuai angin” Loren mengarahkan
Dena yang sejak tadi gila dalam dunianya sendiri.
Beberapa makanan dan minuman
mereka pesan untuk menikmati waktu di tempat ini.
Dena mabuk dalam dunia lepasnya,
Lorenpun hanyut dalam buai suasana tempat ini.
***
Suasana
pengunjung di tempat ini tengah mabuk dalam buai suasana yang memikat untuk
menikmati penyegaran dan pelepasan diri. Beberapa kali pelayan harus lalu
lalang dan bolak balik dalam memenuhi pesanan para pelanggan yang terus
meningkat.
Memasuki
malam hari, saat senja sudah mengundurkan diri dan mentari tak lagi angkuh
dengan sinar jingganya sebagai tanda pisah pada akhir hari.
Sebuah
lagu dinyanyikan lembut, mengalir dan melantun dengan semestinya.
Seorang
lelaki di sisi sebelah tengah menikmati suasana tempat ini, lalu menegakan
badannya, ia berdiri dan terlihat menikmati tiap lirik yang lagu lantunkan di
tempat ini.
Di
sisi lain seorang wanita terlihat termenung menikmati bagian lirik yang sama
juga,
Dalam
satu jentikan takdir, saat pria yang berdiri itu menoleh dan wanita yang
termenung ia terkesiap oleh siluet yang menatap kearahnya, tatapan mereka
bertemu.
Terjadi
jeda beberapa saat, senyum merekah pada wajah mereka masing-masing.
“Apa
kabar masa lalu?” Batin Fadi.
“Sedang
apa di sini?” Dena seolah bicara walau tanpa suara.
Untuk apa engkau
hadir lagi?
Demi menjumpaimu
ungkapku
Buat apa kau muncul
lagi?
Mengulang cerita
bukanlah tujuanku—percayalah!
Kau percaya pada
kebetulan?
Mungkin takdir yang
menuliskan
Apa kabar cahaya
purnama?
Masihkah merengkuhmu
memampukanku melihat dunia?
Fadi
melirik ke arah Edin dan memberi isyarat untuk beranjak pergi.
Dena
membuyarkan lamun Loren, “Sudah yuk, udah segar lagi..” Bujuknya dengan senyum.
Tak
ada sedih, tidak juga tangis.
Tatapan
merekalah yang menjadi pemicu keanehan,
Semua
karena lagu, namun tidak sepenuhnya lagu yang salah diputarkan pada tempat ini.
Tidak
ada sakit,
Tidak
juga hadir penyesalan.
“Padahal
lagunya lagi bagus” Gerutu Loren pada Dena.
“Lagunya
lagi pas untuk nostalgia” Edin mencibir Fadi.
“Cuma
lagu biasa” Ungkap Dena dan Fadi pada saat bersamaan di posisi hadir yang
berbeda.
“Lagu
lama yang sudah memudar..” Fadi berkomentar.
“Pudarnya
bak gula yang larut dalam secangkir kopi, tidak pahit tidak juga manis, netral”
Pungkas Dena.
...
Rabu, 08 Februari 2017
Perjumpaan
Aku
mengenal senyum yang kau selipkan dalam percakapan yang tengah kau lakukan
bersama kawanmu saat ini.
Aku
mengenal gerakan gestur tubuhmu yang sesekali merebahkan diri untuk menanggapi
canda jenaka, aku sangat tahu sikapmu yang menghentakan kaki dan menepukan
tangan dengan keras pada pahamu untuk merespon topik menarik yang kau sangat
suka menyimaknya.
Aku
begitu terpaku pada kehadiranmu di ujung sana, yang dihiasi senyum merekah dan
tawa terbahak, aku menyayangi tingkahmu yang lucu saat larut dalam obrolan
bersama para sahabatmu.
Di ujung
sini aku termanggu, memegang segelas minuman yang aku harap bisa menyegarkan
dahagaku walau sesaat, kemudian aku sadar, alasanku meraih gelas yang kugenggam
saat ini bukanlah untuk melepas haus, tetapi mengalihkan fokusku pada rasa yang
diracik dalam gelas ini dari ketertarikan mata untuk mengagumimu di sisi sana.
“Del! Lo
apa kabar?” Carmel, teman seangkatanku mengajukan tangannya untuk bersalaman—yang
kemudian kusambut disertai senyum, “Sehat lo sekarang?” Senyumnya merekah.
“Iya,
gue sehat-sehat aja..” Balasku.
“Yah,
syukurlah.. lama juga enggak ketemu lo kan..” Carmel memandangiku sejenak untuk
menebarkan hawa keakraban, matanya lalu menangkap sosok lainnya di tempat lain
dalam ruangan ini. Tangannya melambai disertai senyum merekah.
“Gue ke
sana dulu ya..” Pungkasnya, menyudahi waktu bersapa ramah dengan teman lama, ia
meninggalkanku dan menuju ke tempat lain.
Aku
kembali berteman segelas minuman ini, yang baru aku sadari rasanya saat kusesap
sedikit sambil berdiri menunjukan sikap canggung dan menebarkan senyuman pada
tiap orang yang hadir dalam ruangan ini. Engga
ada orang yang bisa gue ajak ngomong akrab apa?
“Masih
belum beres juga lu?” Suara seseorang yang hadir di sampingku tiba-tiba membuat
lamunanku buyar.
“Bang
Riski!” Pekikku langsung mencoba merangkulnya.
“Yaelah,
elu masih gini aja.. sehat lu?” Ia melepaskan rangkulanku. “Lu gendutan tau,
beri gua udara untuk nafas!” Nada ketus yang sudah biasa aku cerna, bahkan saat
berkuliah dulu, ia memang ketus namun tidak dapat aku pungkiri bahwa Bang Riski
adalah senior yang baik dan asik untuk diajak berbincang, kami terbilang sangat
akrab saat di bangku kuliah dulu, waktu itu aku adalah junior yang dua tahun di
bawah angkatannya.
“Apaan
sih lu bang, masih jahat aja sama gue, udah lama enggak ketemu lohh..” Cibirku
sambil cemberut.
“Lebay
lu!” Ia menaikan nada suaranya sambil terkekeh lalu merangkulku. Ku balas
perlakuannya, aku sangat menikmati waktu ini, membuatku kembali bernostalgia
dengan masa kuliah dulu. Saat kami, aku dan bang Riski, juga beberapa temannya
banyak menghabiskan waktu bersama, setidaknya sampai tahun terakhir masa kuliah
bang Riski, dalam tahun Sophomoreku yang berikutnya bang Riski dan
teman-temannya lulus,saat itulah aku merasa kehilangan salah seorang teman
curhat dan berantem yang ternyata sangat berharga bagiku.
“Masih
belum beres juga urusan lu sampai sekarang?” Ia melepaskan rangkulannya dan
meraih segelas minuman sambil menatap ke arah seseorang di sisi sana.
“Urusan
apa sih bang?” Aku mencoba mengelak, namun bang Riski sangat mengenalku, ia
mungkin sangat jelas melihat tingkahku sekarang gelabakan dalam menanggapi
pertanyaan yang ia lontarkan.
“Udah
sih, terus aja gitu.. engga cape lu?” Balas bang Riski ketus.
“Susah
bang, masih belum..” Sedihku dengan tatapan nanar pada sisi seberang.
“Terus?”
“Terus
apa bang?”
“Gini
aja lu? Udah?”
“Iya,
gimana lagi bang? Abang tahu sendirikan gimana ribetnya kami sejak kuliah dulu?”
Suaraku
meninggi, kudekati tubuh bang Riski untuk mendekatkan mulutku pada telinganya.
“Engga
usah dekat-dekat, entar baper lu sama gua” Ia mendorong tubuhku agak menjauh.
“Gue
tunggu di ujung sana ya.. Gue mau nonton” Ia menunjuk sudut ruangan ini, sambil
matanya menatap tajam kearahku, raut wajah yang ia berikan mengembangkan
senyuman khas yang sangat aku kenali dulu, saat ia memberi tanda atau perintah,
instruksi, mengkoreksi—apapun itu! Yang aku mengerti dari senyum dan tingkah
bang Riski saat ini adalah, ia mengisyaratkan bahasa dalam gelagatnya Pergi lu sana! Beresin urusan lu!
Baik! Akan aku selesaikan!
Aku
menaruh gelas yang sejak tadi kugenggam di atas meja.
Kudekati
sosok di ujung sana, sambil diperhatikan oleh bang Riski dari pojok ruangan.
“Hai
bang” Sapaku saat dekat dengan sosok ini.
“Gimana
kabar lu?” Ia menyodorkan tangannya ke arahku. Sebuah basa-basi yang udah basi!
“Baik
bang” Sahutku menyambut tangannya.
“Sama
siapa lu ke sini?”
“Sendiri
bang..”
“Oh, gue
sama cewek gue tuh..” Ia menunjuk pada sisi lain ruangan ini.
“Cie, yang
udah berdua..” Aku mencoba untuk biasa saja, walaupun ada gejolak aneh yang
mengacaukan batin dan konsentrasiku. Come
on! Kuasai dirimu Adela!
“Abang
masih di sekitar sini kerjanya?” Aku bertanya sekenanya saja.
“Iya,
eh, enggak sih, gue baru balik dari kampung.. biasalah ada proyek sedikit” Ia
meneguk minumannya, sambil menatap ke arahku. Dan, aku mati kutu. Kampret! Senyuman itu.
Sejenak
hening tercipta, apakah aku yang terlalu kaku untuk berbicara, atau memang
suasana ini diijinkan kelu untuk melumpuhkan nalar dalam berkomunikasi.
“Lu udah
beda sekarang” Ia mulai berbicara.
“Hah,
beda gimana bang? Biasa aja gue”, Ia meneguk minumannya kembali.
“Enggak,
beda aja penampilanmu, eh elu maksud gue” Senyum itu kembali merekah.
“Lu
engga ada ngomong apa-apa lagi kan sama gua?” Ia menanyakan hal aneh tersebut
padaku, kenapa harus pertanyaan aneh yang
ia ajukan!, Ia melambai pada seseorang di belakangku.
“Gue
kayaknya mau balik nih” Ia melanjutkan,
“Iya
udah bang, gue engga ada ngomong apa-apa lagi kok, cuman nyapa doang kok..”
Aku
kikuk, mati kutu dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sosok
itu berlalu.
Pesta
ini adalah acara pertemuan para alumni yang diadakan oleh fakultas di kampusku
dulu dengan tujuan untuk mempererat hubungan para alumni dan alumnus, yang
walaupun sudah sibuk dengan kegiatan juga pekerjaan profesi masing-masing
tetapi tetap menjalin hubungan persahabatan yang akrab. Kenapa aku harus
bertemu ia lagi di acara seperti ini?
Beberapa
wajah teman lama aku jumpai, kusalami mereka satu persatu dan berbincang
sejenak untuk sekedar menanyakan kabar, dari sudut mataku aku menangkap siluet
yang bergerak meninggalkan ruangan ini. Kulihat dia, sosok yang beberapa saat
lalu berbincang denganku.
Sayang,
ia tidak dapat kutanyai banyak hal.
Sayang,
sifat kikukku muncul pada saat yang tidak tepat.
Sayang,
seribu kali sayang, seseorang telah ia pilih untuk menemaninya.
Sayang
sekali, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, apalah fungsiku
sekarang?
Di hadapannya
aku tidak berbentuk. Aku kaku bagaikan patung.
Aku menjumpaimu
pada pesta keakraban,
Kusukai gelagatmu—walau
kubenci senyum itu
Aku berbicara
denganmu pada bentang waktu untuk cerita lama—bodohnya, tidak sempat kuungkit
masa itu,
Engkau berlalu dari
hadapan,
Siluetmu tertangkap
hanya lewat celah kecil diujung garis mata—tidak ada kata perpisahan saat
engkau beranjak,
Aku kaku dibuai
pilu,
Aku pedih diusik
gelisah,
Aku diam dibungkam
cinta.
Kisahku jenaka—bertemu
cinta dalam sebuah pesta,
Naas, kisahmu
bukanlah aku,
Ironi, kisahku
bukan bagianmu!
Konflik
yang lama berlangsung di antara kami—sosok yang membuatku kikuk itu, ia dan aku
tadinya adalah sepasang kekasih, namun di tengah kisah kami ia memutuskan
pergi.
“Udah
ya, anggap aja semuanya engga pernah terjadi” Ungkapnya padaku pagi itu di
warung tempat kami biasa makan bersama. “Kenapa bang?” Aku menahan tangis kala
itu.
Aku ingat
semuanya. Aku ingat semuanya dan aku terjebak di dalam masa itu—tentang itu
senantiasa terfilmkan dalam ingatan.
“Mungkin
gue terlalu cepat untuk memutuskan ini cinta, maaf ya, kita engga bisa lanjut”
Ia memutuskan hubungan kami.
Sejak
saat itulah hubungan kami benar-benar berubah, aku tidak mengenalnya lagi,
tidak juga aku menjumpai sosoknya dahulu.
Beberapa
saat aku sering hanyut dalam lamunan saat bersama ia dulu, aku hanya mengenal
ia saat aku belum memilikinya, itulah yang membuat aku mengenal setiap
geriknya.
Mengenai
jarak yang tercipta di antara kami?
Itulah
pertanyaan yang setelah aku pikir-pikir bukanlah bentuk tanya, namun sebuah
masalah yang perlu diselesaikan, apa yang salah dengan kami?
Tetapi,
mungkin hanya aku yang menginginkan jawabannya—ia tidak.
Seperti
yang ia ungkapkan, “Kita udahan ya, lupain aja semuanya”.
Mungkin
aku harus mulai beranjak juga dan melupakan saja masa itu walaupun terus ada di
ingatanku.
Aku berjalan
menjauhi obrolan grup yang tengah terjadi dalam ruangan ini.
Di sudut
sana bang Riski menatapku, ia tersenyum dengan gelagat khasnya.
“Sudah?”
“Belum
bang, mungkin memang engga harus diselesaikan dengan bicara”
Aku
mengerti bahwa jawaban yang kucari selama ini bukanlah jawaban darinya, namun
kedewasaanku dalam menerima bahwa aku adalah masa lalunya—sepantasnyalah tidak
begitu aku ungkit, karena hidupku di masa ini.
THE END
Senin, 06 Februari 2017
Aku tahu, aku paham
Aku mengerti tawa yang dibalut seri, tak jarang aku terpukau olehnya
Aku mengenal tatap takjub dilumuri sentak, kadang jumpa kami di perjalanan,
Aku tahu arti tepukan bahu yang berlalu-lalang,
Bersahabat katanya, tapi tidak ada kusesap manisnya ikatan itu,
Aku sadar akan penjabaran yang tidak transparan itu,
Aku tidak gentar atas takut yang dibagikan,
Apa yang harus aku bingungkan?
Apa yang harus aku gentar olehnya?
Jika tuanku menyuruh pergi,
Aku paham,
Aku mendengar, aku tahu, aku pergi,
Tapi, kalian tak paham,
Tepatnya, kita tak sepaham.
(Catatan malam pada awal melepas diri)
Aku mengenal tatap takjub dilumuri sentak, kadang jumpa kami di perjalanan,
Aku tahu arti tepukan bahu yang berlalu-lalang,
Bersahabat katanya, tapi tidak ada kusesap manisnya ikatan itu,
Aku sadar akan penjabaran yang tidak transparan itu,
Aku tidak gentar atas takut yang dibagikan,
Apa yang harus aku bingungkan?
Apa yang harus aku gentar olehnya?
Jika tuanku menyuruh pergi,
Aku paham,
Aku mendengar, aku tahu, aku pergi,
Tapi, kalian tak paham,
Tepatnya, kita tak sepaham.
(Catatan malam pada awal melepas diri)
Langganan:
Postingan (Atom)