Senin, 30 Januari 2017

Pilihan Kasih

Menatap senyummu membuatku kalap,
Memandang indahmu memabukanku,
Jangan katakan aku menggombal,
Jangan risaukan tatap kagumku,
Segaris seri pada wajahmu menggetarkanku, mengantarkan pada puncak tertinggi di semesta,

Gunung, sampaikan pada lembah--simpan hasratku untuk menyayanginya,
Awan, kumandangkanlah--betapa aku pilu menanggapi kasihnya,
Alam, gambarkanlah--kasihku dahsyat atas dirinya,

Kehidupan, jadilah saksi--hari ini aku memilih hati,

Biarkan aku setia mencintainya.

Gambaran Sisi Lainnya

Ibarat gurun, panasmu hanya untuk membinasakan
Dijelmakan wujud tarantula, pengorbananmu hanya bahaya bagi makhluk lain,
Digambarkan sebuah sungai, engkaulah genangan lumpur pekat yang membunuh,
Andai hujan adalah peluhmu, butiran asamlah yang melumpuhkan tiap hidup,

Tak ada gunanya mengerang, galakmu untuk menusuk
Tidak ada kata membela, hakmu hanyalah kekalahan bagi yang lain,

Adilmu menyapu lenyapkan nyayian,
Bumi hidupmu menelan kehidupan untuk kehancuran,

Jangan nyanyikan lagu kemenangan,
Kebinasaan dan kehancuran senjatamu,

Jangan kumandangkan gendang bersuka,
Peluh dan ambisimu adalah racun

Kamis, 26 Januari 2017

Lagu Malam



“Tepat memang!” Satu tenggakan, minuman hangat di hadapannya ludes. “Engga tau kalian? Semua ilmu dan teori itu aspirasi orang-orang besar saja” Lelaki bertubuh gempal yang sejak tadi sibuk melontarkan pendapat tentang segala hal kembali melanjutkan orasi pendeknya yang terputus oleh tegukan segelas minuman.

“Berapa bang?” Kalimat singkat yang membutuhkan beberapa waktu bagi pemilik warung untuk menanggapi. “Tigabelas ribu mas” Jawabnya mantap, dilanjutkan dengan gumam yang menampilkan air muka ragu dan memastikan kembali perhitungannya tidak salah. “Ini bang..” Pria tersebut menyerahkan beberapa lembar uang kertas.

Setelah transaksi semacam itu selesai, beberapa pria meninggalkan warung kopi pinggir jalan tersebut. Suasana sepi. Jarum jam pada dinding tempat itu menunjukan pukul 23:07.

Malam yang dingin, beberapa kali angin berhembus seolah-olah panik dan dikacaukan oleh suatu hal. Tepat pada hembusan angin yang terakhir, senyap hadir kemudian dipecahkan oleh gemerisik suara air hujan yang beradu dengan atap-atap bangunan sekitar.

Beberapa detik berlalu, terdengar suara gumam yang semakin lama semakin dekat dengan warung kopi pinggir jalan tersebut. Beberapa orang terbirit-birit lari dan memarkaskan diri pada tempat itu untuk bersembunyi dari grilya air hujan yang bisa membuat pilek. “Ini hujan datangnya tiba-tiba.. engga bisa kompromi apa..” Dumel seorang. “Bang Kopi satu!” Pesan seorang lagi.

“Teh manis hangat tiga bang! Kau apa?” Sahut seorang lalu bertanya pada kawannya.

“Bubur aja bang..” Jawab kawannya singkat.

Suara musik mendayu diputar oleh pemilik warung kopi tersebut yang akrab dipanggil oleh para pelanggannya Mas, Abang, Pak, Om, Mister, Tuan, atau Kisanak—sebenarnya tidak ada panggilan umum yang semua orang labelkan pada pemilik warung tersebut. Suara berisik air hujan yang beradu dengan aspal juga atap rumah sekitar tempat tersebut tidak begitu mengganggu, alunan lembut nyanyian mendayu menjadi background yang tepat untuk suasana seperti ini—hanya suara musik kecil yang cukup untuk melontarkan banyak insan ke dalam ilusi semu.

“Bang, lagunya engga bisa ganti yang lain?” Salah seorang dari rombongan tersebut memulai protes pada sesi pemutaran lagu oleh si Abang warkop yang menurutnya tidak bisa mewakili suasana saat hujan tengah malam.

 “Lagu Scorpion lebih mantap..” Sarannya kembali yang tidak diindahkan oleh Abang, ia sibuk menyiapkan beberapa pesanan orang yang datang untuk membeli makanan atau minuman bungkus.
“Yah, ganti bang.. ganti..” Protes salah satu rombongan tersebut.

“lagu apaan maunya?” Respon Abang akhirnya.

“Bruno Mars bang, bagus lagunya..”
“Siap, coba saya cari dulu..” Si Abang sibuk menyentuh layar smartphonenya yang terhubung dengan sinyal wifi , sehingga lagu apa saja bisa dengan cepat ia browsing dan memutarnya dengan fitur streaming music. Sebuah lagu terdengar dilantunkan melalui pengeras suara pada ruangan tersebut..

“..I know you somewhere out there, somewhere far away.. I want you back.. I want you back..” Dengan lancar pengeras suara yang menghubungkan lantunan lagu dari smartphone Abang warkop mengisi ruangan tersebut dengan suasana kelabu. Tidak bertahan lama.

Akibat ulah seorang dari kawanan tersebut yang me-request lagu kepada Abang, juga responnya yang tidak hanya menanggapi tetapi juga memenuhi request tersebut, hampir semua anggota rombongan tersebut juga merasa memiliki hak untuk meminta diputarkan lagu kesukaan mereka. Akhirnya, dengan pasrah, tiap permintaan dipenuhi, segala macam lagu dilantunkan oleh pengeras suara dalam ruangan setengah terbuka yang berada di pinggir jalan raya tersebut.

Setelah puas keinginan untuk mendengar lagu kesukaan mereka pada warung tersebut, beberapa orang mulai merasa jenuh dan tidak tahu harus meminta lagu apa lagi untuk diputarkan. Hal yang baik untuk si Abang, berarti dia sudah bisa menikmati musik mendayunya kembali.  

“Bentar bang, jangan putar lagu mendayu lagi.. kita mau request lagi ni..” Tahan seorang dari rombongan tersebut yang seolah tahu keinginan si Abang yang kembali ingin menikmati musik mendayunya. 

“Minum satu lagi bang, tambah bubur deh.. biar bisa request..” Dengan adanya tambahan menu untuk menahan pemutaran lagu mendayu si Abang, dengan terpaksa dituruti dan lucunya dipenuhi oleh si Abang untuk mereka boleh request lagu lagi.

“Lagu apa lagi nih?” Tanya seorang kepada yang lain.

“Engga tahu, bingung kalau gini..”.

“Apa aja deh, asal jangan lagu mendayu itu lagi..”

“Nah, betul tuh.. apa aja, asal jangan itu lagu lagi..” Ketidaksetujuan yang didukung penuh oleh tiap anggota rombongan tersebut disambut kekeh dan tawa kecil untuk menghibur si Abang agar tidak tersinggung soal selera musiknya yang dianggap lucu sekaligus aneh, juga membosankan.

“Apa lagu favoritmu?” Tanya seorang dari rombongan tersebut pada satu kawannya yang sejak tadi tidak mempergunakan hak requestnya di warkop tersebut.

“Eh iya, bener juga.. dia doang nih yang belum request” Respon yang lain.

“Genre lagu kesukaan dia apa juga, kita ngga pernah tahu..”

“Iya, benar juga..” Yang lain setuju. Mungkin hanya alasan untuk terus berbicara sementara menunggu hujan reda.

“Musik apa aja juga dengerin aja.. engga perlu genre kan?” Bela seorang tersebut untuk menanggapi tawaran kawannya agar ia mengatakan lagu apa yang ia sukai.

“Enggak mungkin, tiap orang pasti ada lagu favoritnya..” Bantah seorang.

“Atau lagu yang ngena banget di hati..”

“Yang buat galau..”, “Buat nostalgia”, “Lagu tidur..”

“Atau lagu patah hati..” Tambah yang lain dengan semangat.

“Yaudah deh..” Seorang tersebut pasrah, ia meninggalkan tempat duduknya dan mengarah kepada Si Abang.

“Maaf bang, boleh saya request juga?” Tuturnya meminta persetujuan Abang warkop untuk memilih sebuah lagu.

Kawan-kawannya memperhatikan , ada juga yang sibuk sendiri dengan hpnya.

Sebuah lagu dilantunkan, seorang tersebut kembali ke tempat duduknya.

Sontak semua orang pada tempat itu terdiam, kata demi kata mengalir. Alunan musik mengiringi.

Hujan tetap berlangsung, rintik-rintik kecil tetap menyerbu tiap atap rumah.

Sebuah lagu dilantunkan, sebuah nada dinyanyikan, sebuah peristiwa terkuak, sebuah rasa membungkam riuh jiwa.

Setiap orang menikmati lagu tersebut, beberapa menikmati makanannya, beberapa menikmati minumannya, yang lain menyeruput kopi.

Tatapan seorang tersebut mengarah ke luar, ia menatap hujan.

Lagu terus diputar hingga berakhir.

Hujan mulai reda.

Sebuah lagu tengah dilantunkan, lagu malam temani rintik hujan.

Duhai awan jangan risaukan pekatnya malam,
Duhai angin jangan ributkan hadirnya sunyi,
Duhai pujian jangan lambungkan kosongnya hati,
Duhai lagu, suarakan kembali cerita pada masa itu,

Tetap aku duduk di sini,
Untuk menanti kisah,
Menikmati sakit dalam sendiri antara menunggu dan meninggalkan.

Lagu terhenti.


Senin, 02 Januari 2017

Lari!




Sudah lama ia mabuk dalam kondisi ini.
Dunia nyata adalah kesemuan—dalam hal ini akan banyak yang setuju. Jadi, buat apa berjuang jika yang dicapai adalah kesia-siaan?
Apakah salah jika tidak berjuang?
Dapatkah tindakan pasif stagnan diperkarakan sebagai dosa dalam peradilan hidup di akhir hayat?
Mungkin—antara iya atau tidak. Toh, bukan kita atau kalianlah Sang Hakim.

Jika mayoritas manusia memilih bergerak untuk menikmati hidup, tidak demikian bagi Gugun, seorang remaja yang telah lama menjebak dirinya dalam halusinasi mimpi.

Saat ada yang bertanya atau setidaknya berani menyinggung akan tujuan hidupnya.
Tergantung mood, ia, Gugun, akan menjawab :

Jika sedang baik hati, “Tidak akan selamanya aku seperti ini, nanti saat aku sudah jenuh dengan diam ini, aku akan beranjak juga” Tuturnya dengan senyum—kadang dengan wajah datar juga.

Jika hatinya sedang kacau, atau jadwal mimpinya diganggu, jawbannya  “Sudahi bertanya bodoh, urus hidup sendiri, mengapa tanya hidupku, apa kau sendiri tak punya tujuan hidup, jadi hidupku kau campuri!” disertai gaya berang, menyalak, sorot matanya ganas seolah akan menerkam—bagai singa yang sedang kelaparan, bengis bukan kepalang.

Tidak banyak yang akhirnya peduli dengan kondisi Gugun.
Entah ia sedang sakit, bersusah hati atau sedih. Tidak ada yang cukup berani untuk memberi perhatian padanya. Mungkin juga karena ia tidak banyak terlibat dalam hidup sosial—hanya tempat tidur lingkungannya.

Sudah lama ia dibius oleh ketidakpastian akan arah perjalanan hidup. Juga cukup panjang periode sakaunya  oleh kepasifan ini, yang juga terus disuntikan oleh diri sendiri—tidak ada obat bagi sakau akan pasif diri. Hal ini lebih gila, ia yang menghendaki untuk diam dalam menjalani hidup.

Gugun menghabiskan banyak waktunya untuk bengong dan tidur.
Tubuhnya sudah sangat kurus saat ini karena kekurangan asupan. Ia tidak menghiraukan kondisinya sendiri. Saat malam tiba, ia akan merebahkan diri lebih awal, pagi menyapa dilewatkannya dan bangun pada siang hari, kemudian sore dihabiskan oleh bengong atau sekedar duduk diam. Dan, begitulah seterusnya. Hanya tidur dan diam.

*

Gugun tinggal sendiri di sebuah rumah,
Orang tua pindah ke kota, bukan diterlantarkan, berulangkali ia diajak untuk bersama orangtuanya, namun berulangkali juga ia menolak dengan alasan tidak menyukai kehidupan kota yang ramai. Ia hidup seorang diri pada rumah di kampung ini, suasana sepi yang sangat ia nikmati—entah damai atau sunyi untuk tidur—tidak tahu pasti apa yang ia nikmati dari nuansa ini.
           
            Kedua orangtua Gugun mulai khawatir dengan kondisi anak mereka, sempat berulangkali mereka memutuskan untuk kembali ke tempat ini dan menginap beberapa minggu, tetap saja Gugun menikmati dunianya sendiri—ia bukannya kurang kasih sayang, hanya.. Mungkin nyaman dengan pilihan sendiri dalam menjalani hidup—bengong dan tidur.
Hingga waktu ini tiba, dengan sikap agak memaksa, kedua orangtua Gugun mendatangi tempat ia tinggal dan membawanya untuk ikut serta ke kota agar bisa diarahkan dengan baik.

“Kalau terus-terusan begini nanti akan mati!” Ucap ibunya saat menyiapkan tas berisi pakaian Gugun untuk dibawa.

“Aku engga suka dengan suasana kota” Balas Gugun.

“Bukan itu masalahmu, tapi sikap seperti ini dalam hidup yang hanya tidur tok, mau sampai kapan” Ayahnya tahu-tahu muncul di pintu kamar.

Sejenak hening tercicpta, tak ada jawaban yang muncul dari mulut Gugun. Suara riuh barang-barang yang dimasukan ke dalam tas oleh ibunya saja yang terdengar.

Setelah semuanya sudah siap, ayah mengantarkan barang-barang tersebut ke mobil.

“Kita berangkat sekarang” Desak ibu, mengarah pada Gugun yang duduk termenung di atas tempat tidurnya.

“Aku ngga mau..” Raut wajah Gugun berubah, ia menunjukan ekspresi keras seolah ajakan ini mengusik zona nyamannya.

“Hanya beberapa hari saja..” Ibu menghela nafas, memandangi anaknya.

“Engga..” Gugun tetap pada pendiriannya.

“Ada apa denganmu, nak?”

“Tidak apa-apa”

“Kenapa begitu keras untuk tidak mau ikut? Buat apa di sini?”

“Banyak hal bisa dilakukan”

“Apa contohnya coba?”

“Ada saja, banyak pokoknya”

Kembali tarikan nafas panjang yang dilakukan oleh ibu.

“Cepat, kita berangkat sekarang..” Ayah kembali mengarah pada ruangan tersebut setelah selesai memasukan barang-barang ke mobil.
Sampai ia tiba di muka pintu. “Apa yang ditunggu?” Lanjutnya kembali.

“Aku engga mau ikut, Yah” Gugun menunduk sambil mencoba untuk tidak turut.

“Terus, apa yang dikerjakan di sini?” Desak Ayah.

“Banyak, aku engga suka kehidupan kota..”

“Bukan itu masalahmu, kita semua sudah tahu, di sini pun, tidak ada yang dilakukan, hanya tidur.. Hidup macam apa seperti itu!”
“Memang begini hidup Gugun”

“Jangan keras kepala, ikut sekarang!” Ayah memaksa.

Dengan berat hati Gugun menurut. Langkahnya gontai menuju ke mobil. Ekspresi kosong dipadu sebal juga amarah yang menyulut, terdapat juga rasa ingin berontak—bercampur, ia tampilkan pada air mukanya.

_..>


Bukan kejadian tiba-tiba, sudah sering ia diajak untuk tinggal bersama oleh kedua orangtuanya—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Karena jauh dari orangtua membuat mereka khawatir akan kondisi Gugun, bisa juga, namun, bukan itu alasan utama mengapa saat ini Gugun dipaksa untuk tinggal bersama kedua orangtuanya.

“Dia sakit!, menderita penyakit anti-sosial, hati-hati dengan penyakit semacam itu, jangan dibiarkan” Beberapa hari yang lalu seorang teman lama, juga keluarga dari Ayah datang untuk berkunjung, ia menuturkan komentar tentang kondisi Gugun yang ia ketahui selama ini.

“Tidak aku lihat kegiatannya selain tidur dan bengong.. jangan sampai ia jadi gila” Timpalnya lagi sambil menyeruput kopi.

Ayah dan Ibu hanya bisa menunjukan wajah bingung bercampur memelas juga iba dipadu sedih jika mengingat kondisi anak mereka.

“Itu memang...  Tapi, kami juga engga tahu bagaimana untuk mengarahkan dia..”
Balas Ayah saat itu, terbatas, terdapat tekanan pasrah juga putus asa dalam nada suaranya.

“Kalau aku melihat kehidupan anak-anak lain di tempat ini, banyak yang mereka lakukan.. Bermain, jalan-jalan, sekolah, mancing—pokoknya banyak yang mereka buat, tapi berbeda dengan anak kita yang satu itu, kerjaannya cuma bengong dan tidur, bagaimana hidup begitu?” Tuturnya pada Ayah dan Ibu panjang lebar.

“Yah.. Aneh juga cara dia bisa begitu, kok bisa-bisanya hidup cuma untuk diam, boh.. aneh betul”
Sambungnya.

“Kami bingung juga bagaimana menghadapinya..”
Balas Ibu dengan nada sedih.

“Ya, susah memang.. kasus langka kalau begini, tapi kasihan kalau lihat hidup dia begitu terus, enggak akan ada masa depan nantinya, sekolahpun engga..” Panjang lebar ia membeberkan permasalahan Gugun, seolah Ayah dan Ibu tidak tahu.

Kopi kembali diseruput.
Asap rokok daun aren mengepul dalam rumah itu.

“Jangan biarkan kondisi anak kita terus begitu..” Ia coba memberi saran pada Ayah juga Ibu, “Coba bawa kesini aja untuk tinggal, kalau engga mau paksa aja.. daripada terus-terusan begitu..” Tutupnya mengakhiri percakapan. Tak lama kemudian ia permisi untuk pergi karena hari sudah mulai gelap.

“Harus ngecek jerat lagi..” Ucapnya diiringi tawa saat berlalu.

Komentar inilah yang menggerakan kedua orangtuanya untuk datang ke tempat Gugun tinggal, khawatir akan penyakit yang mungkin diderita oleh anak mereka, keduanya memutuskan untuk menyatukan Gugun dalam satu rumah bersama keduanya. Awalnya dengan ajakan baik yang terus Gugun tolak, hingga muncullah kesepakat, ia harus dipaksa!

_..>


Dalam perjalanan, Gugun menampilkan tatapan kosong pada tiap sudut jalan yang dilalui, rasanya ingin terjun dan pergi dari kendaraan ini. Ia teringat kembali akan tempat nyamannya untuk mabuk akan mimpi.

“Buat apa saat sudah sampai?” Ia membuka mulutnya, mencoba mencari celah untuk protes dan meyakinkan bahwa ia tidak seharusnya ikut untuk tinggal bersama.

“Ada banyak hal, setidaknya engga cuma tidur, lihat badan jadi kering begitu.. kebanyakan ngimpi”
Balas Ayah atas ucapannya.

Gugun kembali diam. Tatapannya kembali ia arahkan pada tiap benda yang berseliweran lalu dilewati mobil.

Setelah beberapa puluh menit, kendaraan ini berhenti pada sebuah rumah. Semua barang bawaan diturunkan. Gugun ikut turun dan langsung melesat masuk saat pintu dibuka, ia langsung menuju kamar tidak menghiraukan apapun.

Beberapa jam telah ia lalui dalam rumah ini, ia mulai gelisah. Kerabat dan keluarga banyak yang berkunjung dan menyapa dirinya, tak ia hargai satupun, ia tetap menunjukan sikap anti-sosialnya.
Saat tiba waktu makan, ia dipanggil untuk makan bersama namun tidak ia indahkan, pilihannya tetap diam dan bergeming dalam kamar lingkungan asing ini.


Hari berlalu, jam terus bergulir, sudah 72 jam di tempat ini, ia sangat jenuh dan resah dengan nuansanya, tidak ia sukai tempat ini. Jam makan, kunjungan keluarga, bertemu orang-orang baru, suara riuh tetangga, tawa pemuda seumuran dalam bercanda, pemandangan ramah pergaulan dan yang sangat membuatnya risau adalah jam tidur yang teratur, sejak awal ia tiba, orangtuanya tidak mengijinkan banyak waktunya dihabiskan untuk tidur. “Nanti akan memperparah kondisimu yang anti-sosial itu” Jelas Ayah singkat padanya.

Batinnya berontak :
Apanya anti-sosial, toh memang tidak ada gunanya juga untuk berbaur dengan lingkungan ini.. Kalau sudah kenal banyak orang, terus apa?
Lebih baik diam saja, menikmati hidup, mengosongkan pikiran—tidak memusingkan diri dengan banyaknya persoalan, keadaan paling netral dalam menikmati hidup, ya, dengan tidak melakukan apa-apa dan tidak memusingkan apa-apa juga. Lalu tidur, dengan tidur berarti menikmati bagian indah, terkadang dihadiahi mimpi yang tidak berdampak nyata juga dalam hidup—kalau mimpi buruk ya tidak merasakan sakitnya dan kalau mimpi indah malah bisa bahagia menikmati—tidak merugikan, juga tidak memusingkan.
Diam dan tidur—apanya yang salah?

            Suatu siang ia berjalan keluar rumah,
Ditelusurinya jalan raya di tempat ini, melewati tiap gang yang ada untuk mengusir rasa jenuhnya. Ia tidak menyukai lingkungan nyata ini. Begitu bising dan memuakan baginya.
Panas semakin terik, ia mengelap keringatnya dengan lengan baju panjang yang ia kenakan. Pandangannya tak sengaja mengarah pada mentari, matanya memicing karena silau, ia telusuri langit menghindari kontak langsung dengan mentari, tepatlah sekarang pandangannya pada ujung sana, suatu tempat yang ia kenali—tempat kesukaannya.

Di ujung sana! Itulah tempat aku hidup dalam kehidupan ini,
Ia mulai berjalan cepat untuk meraih titik ujung sana, terus ia berjalan hingga berlari-lari kecil.
Sudah beberapa menit ia habiskan demi rindunya pada titik depan sana, matanya terus fokus, kakinya terus bergerak. Sedikit demi sedikit, suara bising menghilang, haus mulai menguasai dirinya. Gugun berhenti, ia memperhatikan kondisi sekelilingnya, ia telah tiba pada suatu daerah sepi, dilihatnya kedepan, terdapat sebuah jembatan penyebrangan yang di bawahnya terdapat sebuah sungai. Ia berlari mendapati sungai itu untuk menghilangkan dahaganya.
Saat tiba di tepian sungai, ia terdiam, ia melihat warna airnya berbeda, tangannya diulurkan untuk menyiduk air sungai tersebut, diteguknya.. Rasa air pada umumnya, namun, mengapa warna air ini berbeda?

**


Masyarakat sekitar banyak yang mengisahkan legenda dan dongeng tentang sungai ini—begitu banyak kisah, namun, tidak ada satupun yang bisa dianggap pasti—cerita rakyat tetaplah hanya sebuah kisah tua belaka.

Sungai ini memiliki warna air seperti air teh, namun, rasa airnya tetaplah air tawar pada umumnya.
Gugun seperti bercermin akan kehidupannya di depan sungai ini.

_..>


Aku hanya ingin hidup!
Sehidup-hidupnya dengan caraku, seperti air di sungai, aku ingin hanya mengalir, tidak berontak, tidak berusaha bergerak untuk menentukan arah, sebab semua sungai akan bermuara di laut, begitu juga hidup bukankah akan berakhir pada kematian?
Apakah salah saat sungai ini berair seperti teh? Sedangkan rasa airnya tetaplah sama.
Apakah salah hidupku yang tidak bergerak? Sedang akhir nantipun tetap pada kematian?

Apakah aliran di hadapanku ini tidak termasuk sungai? Tentunya tidak, ia tetaplah sungai.
Begitu juga dengan berontak dan cara hidupku, apakah ini bukan kehidupan? Tetaplah ini hidupku, hanya saja aku sangat berbeda.
Caraku untuk mencapai muara berbeda, juga warnaku untuk menghiasi perjalanan ini tidak serupa umumnya, apakah aku salah dengan pilihan ini?

Biarlah, aku jalan dengan caraku..
Sudahlah, aku nikmati kisah tidak berkonflik ini,
Seperti aliran sungai ini—hidupku juga hanya mengalir. Tidak bergerak, tidak berupaya—hanya diam.

Curhatnya pada sang sungai.








 (Digelisahkan oleh ‘sungai teh’, cerminan kisah muncul saat bertatapan dengannya pada pesisir pasir putih yang tidak terdapat tumbuhan, tidak juga ikan yang berenang pada pinggirnya. Hanya tarian pasir, demikianlah refleksi kisah aliran sungai yang berlari menuju muara, meliuk diantara tingginya tunggul pepohonan kering) – Saksi di hadapan air berwarna merah bercampur oranye.

*

o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H