Menatap senyummu membuatku kalap,
Memandang indahmu memabukanku,
Jangan katakan aku menggombal,
Jangan risaukan tatap kagumku,
Segaris seri pada wajahmu menggetarkanku, mengantarkan pada puncak tertinggi di semesta,
Gunung, sampaikan pada lembah--simpan hasratku untuk menyayanginya,
Awan, kumandangkanlah--betapa aku pilu menanggapi kasihnya,
Alam, gambarkanlah--kasihku dahsyat atas dirinya,
Kehidupan, jadilah saksi--hari ini aku memilih hati,
Biarkan aku setia mencintainya.
Senin, 30 Januari 2017
Gambaran Sisi Lainnya
Ibarat gurun, panasmu hanya untuk membinasakan
Dijelmakan wujud tarantula, pengorbananmu hanya bahaya bagi makhluk lain,
Digambarkan sebuah sungai, engkaulah genangan lumpur pekat yang membunuh,
Andai hujan adalah peluhmu, butiran asamlah yang melumpuhkan tiap hidup,
Tak ada gunanya mengerang, galakmu untuk menusuk
Tidak ada kata membela, hakmu hanyalah kekalahan bagi yang lain,
Adilmu menyapu lenyapkan nyayian,
Bumi hidupmu menelan kehidupan untuk kehancuran,
Jangan nyanyikan lagu kemenangan,
Kebinasaan dan kehancuran senjatamu,
Jangan kumandangkan gendang bersuka,
Peluh dan ambisimu adalah racun
Dijelmakan wujud tarantula, pengorbananmu hanya bahaya bagi makhluk lain,
Digambarkan sebuah sungai, engkaulah genangan lumpur pekat yang membunuh,
Andai hujan adalah peluhmu, butiran asamlah yang melumpuhkan tiap hidup,
Tak ada gunanya mengerang, galakmu untuk menusuk
Tidak ada kata membela, hakmu hanyalah kekalahan bagi yang lain,
Adilmu menyapu lenyapkan nyayian,
Bumi hidupmu menelan kehidupan untuk kehancuran,
Jangan nyanyikan lagu kemenangan,
Kebinasaan dan kehancuran senjatamu,
Jangan kumandangkan gendang bersuka,
Peluh dan ambisimu adalah racun
Kamis, 26 Januari 2017
Lagu Malam
“Tepat
memang!” Satu tenggakan, minuman hangat di hadapannya ludes. “Engga tau kalian?
Semua ilmu dan teori itu aspirasi orang-orang besar saja” Lelaki bertubuh
gempal yang sejak tadi sibuk melontarkan pendapat tentang segala hal kembali
melanjutkan orasi pendeknya yang terputus oleh tegukan segelas minuman.
“Berapa
bang?” Kalimat singkat yang membutuhkan beberapa waktu bagi pemilik warung
untuk menanggapi. “Tigabelas ribu mas” Jawabnya mantap, dilanjutkan dengan
gumam yang menampilkan air muka ragu dan memastikan kembali perhitungannya
tidak salah. “Ini bang..” Pria tersebut menyerahkan beberapa lembar uang
kertas.
Setelah
transaksi semacam itu selesai, beberapa pria meninggalkan warung kopi pinggir
jalan tersebut. Suasana sepi. Jarum jam pada dinding tempat itu menunjukan
pukul 23:07.
Malam
yang dingin, beberapa kali angin berhembus seolah-olah panik dan dikacaukan
oleh suatu hal. Tepat pada hembusan angin yang terakhir, senyap hadir kemudian
dipecahkan oleh gemerisik suara air hujan yang beradu dengan atap-atap bangunan
sekitar.
Beberapa
detik berlalu, terdengar suara gumam yang semakin lama semakin dekat dengan
warung kopi pinggir jalan tersebut. Beberapa orang terbirit-birit lari dan
memarkaskan diri pada tempat itu untuk bersembunyi dari grilya air hujan yang
bisa membuat pilek. “Ini hujan datangnya tiba-tiba.. engga bisa kompromi apa..”
Dumel seorang. “Bang Kopi satu!” Pesan seorang lagi.
“Teh
manis hangat tiga bang! Kau apa?” Sahut seorang lalu bertanya pada kawannya.
“Bubur
aja bang..” Jawab kawannya singkat.
Suara
musik mendayu diputar oleh pemilik warung kopi tersebut yang akrab dipanggil
oleh para pelanggannya Mas, Abang, Pak, Om, Mister, Tuan, atau Kisanak—sebenarnya
tidak ada panggilan umum yang semua orang labelkan pada pemilik warung
tersebut. Suara berisik air hujan yang beradu dengan aspal juga atap rumah
sekitar tempat tersebut tidak begitu mengganggu, alunan lembut nyanyian mendayu
menjadi background yang tepat untuk suasana seperti ini—hanya suara musik kecil
yang cukup untuk melontarkan banyak insan ke dalam ilusi semu.
“Bang,
lagunya engga bisa ganti yang lain?” Salah seorang dari rombongan tersebut
memulai protes pada sesi pemutaran lagu oleh si Abang warkop yang menurutnya
tidak bisa mewakili suasana saat hujan tengah malam.
“Lagu Scorpion lebih mantap..” Sarannya
kembali yang tidak diindahkan oleh Abang, ia sibuk menyiapkan beberapa pesanan
orang yang datang untuk membeli makanan atau minuman bungkus.
“Yah,
ganti bang.. ganti..” Protes salah satu rombongan tersebut.
“lagu
apaan maunya?” Respon Abang akhirnya.
“Bruno
Mars bang, bagus lagunya..”
“Siap,
coba saya cari dulu..” Si Abang sibuk menyentuh layar smartphonenya yang terhubung dengan sinyal wifi , sehingga lagu apa saja bisa dengan cepat ia browsing dan
memutarnya dengan fitur streaming music.
Sebuah lagu terdengar dilantunkan melalui pengeras suara pada ruangan
tersebut..
“..I know you somewhere out there, somewhere
far away.. I want you back.. I want you back..” Dengan lancar pengeras
suara yang menghubungkan lantunan lagu dari smartphone
Abang warkop mengisi ruangan tersebut dengan suasana kelabu. Tidak bertahan
lama.
Akibat
ulah seorang dari kawanan tersebut yang me-request
lagu kepada Abang, juga responnya yang tidak hanya menanggapi tetapi juga
memenuhi request tersebut, hampir
semua anggota rombongan tersebut juga merasa memiliki hak untuk meminta
diputarkan lagu kesukaan mereka. Akhirnya, dengan pasrah, tiap permintaan
dipenuhi, segala macam lagu dilantunkan oleh pengeras suara dalam ruangan
setengah terbuka yang berada di pinggir jalan raya tersebut.
Setelah
puas keinginan untuk mendengar lagu kesukaan mereka pada warung tersebut,
beberapa orang mulai merasa jenuh dan tidak tahu harus meminta lagu apa lagi
untuk diputarkan. Hal yang baik untuk si Abang, berarti dia sudah bisa
menikmati musik mendayunya kembali.
“Bentar bang, jangan putar lagu mendayu
lagi.. kita mau request lagi ni..”
Tahan seorang dari rombongan tersebut yang seolah tahu keinginan si Abang yang
kembali ingin menikmati musik mendayunya.
“Minum satu lagi bang, tambah bubur
deh.. biar bisa request..” Dengan
adanya tambahan menu untuk menahan pemutaran lagu mendayu si Abang, dengan terpaksa
dituruti dan lucunya dipenuhi oleh si Abang untuk mereka boleh request lagu lagi.
“Lagu
apa lagi nih?” Tanya seorang kepada yang lain.
“Engga
tahu, bingung kalau gini..”.
“Apa aja
deh, asal jangan lagu mendayu itu lagi..”
“Nah,
betul tuh.. apa aja, asal jangan itu lagu lagi..” Ketidaksetujuan yang didukung
penuh oleh tiap anggota rombongan tersebut disambut kekeh dan tawa kecil untuk
menghibur si Abang agar tidak tersinggung soal selera musiknya yang dianggap
lucu sekaligus aneh, juga membosankan.
“Apa
lagu favoritmu?” Tanya seorang dari rombongan tersebut pada satu kawannya yang
sejak tadi tidak mempergunakan hak requestnya
di warkop tersebut.
“Eh iya,
bener juga.. dia doang nih yang belum request”
Respon yang lain.
“Genre
lagu kesukaan dia apa juga, kita ngga pernah tahu..”
“Iya,
benar juga..” Yang lain setuju. Mungkin hanya alasan untuk terus berbicara
sementara menunggu hujan reda.
“Musik
apa aja juga dengerin aja.. engga perlu genre kan?” Bela seorang tersebut untuk
menanggapi tawaran kawannya agar ia mengatakan lagu apa yang ia sukai.
“Enggak
mungkin, tiap orang pasti ada lagu favoritnya..” Bantah seorang.
“Atau
lagu yang ngena banget di hati..”
“Yang
buat galau..”, “Buat nostalgia”, “Lagu tidur..”
“Atau
lagu patah hati..” Tambah yang lain dengan semangat.
“Yaudah
deh..” Seorang tersebut pasrah, ia meninggalkan tempat duduknya dan mengarah
kepada Si Abang.
“Maaf
bang, boleh saya request juga?”
Tuturnya meminta persetujuan Abang warkop untuk memilih sebuah lagu.
Kawan-kawannya
memperhatikan , ada juga yang sibuk sendiri dengan hpnya.
Sebuah lagu
dilantunkan, seorang tersebut kembali ke tempat duduknya.
Sontak
semua orang pada tempat itu terdiam, kata demi kata mengalir. Alunan musik
mengiringi.
Hujan tetap
berlangsung, rintik-rintik kecil tetap menyerbu tiap atap rumah.
Sebuah lagu
dilantunkan, sebuah nada dinyanyikan, sebuah peristiwa terkuak, sebuah rasa
membungkam riuh jiwa.
Setiap orang
menikmati lagu tersebut, beberapa menikmati makanannya, beberapa menikmati
minumannya, yang lain menyeruput kopi.
Tatapan
seorang tersebut mengarah ke luar, ia menatap hujan.
Lagu terus
diputar hingga berakhir.
Hujan
mulai reda.
Sebuah lagu
tengah dilantunkan, lagu malam temani rintik hujan.
Duhai awan jangan
risaukan pekatnya malam,
Duhai angin jangan
ributkan hadirnya sunyi,
Duhai pujian jangan
lambungkan kosongnya hati,
Duhai lagu,
suarakan kembali cerita pada masa itu,
Tetap aku duduk di
sini,
Untuk menanti
kisah,
Menikmati sakit
dalam sendiri antara menunggu dan meninggalkan.
Lagu
terhenti.
Senin, 02 Januari 2017
Lari!
Sudah lama ia mabuk dalam kondisi ini.
Dunia
nyata adalah kesemuan—dalam hal ini akan banyak yang setuju. Jadi, buat apa
berjuang jika yang dicapai adalah kesia-siaan?
Apakah
salah jika tidak berjuang?
Dapatkah
tindakan pasif stagnan diperkarakan sebagai dosa dalam peradilan hidup di akhir
hayat?
Mungkin—antara
iya atau tidak. Toh, bukan kita atau kalianlah Sang Hakim.
Jika
mayoritas manusia memilih bergerak untuk menikmati hidup, tidak demikian bagi
Gugun, seorang remaja yang telah lama menjebak dirinya dalam halusinasi mimpi.
Saat
ada yang bertanya atau setidaknya berani menyinggung akan tujuan hidupnya.
Tergantung
mood, ia, Gugun, akan menjawab :
Jika
sedang baik hati, “Tidak akan selamanya aku seperti ini, nanti saat aku sudah
jenuh dengan diam ini, aku akan beranjak juga” Tuturnya dengan senyum—kadang
dengan wajah datar juga.
Jika
hatinya sedang kacau, atau jadwal mimpinya diganggu, jawbannya “Sudahi bertanya bodoh, urus hidup sendiri,
mengapa tanya hidupku, apa kau sendiri tak punya tujuan hidup, jadi hidupku kau
campuri!” disertai gaya berang, menyalak, sorot matanya ganas seolah akan
menerkam—bagai singa yang sedang kelaparan, bengis bukan kepalang.
Tidak
banyak yang akhirnya peduli dengan kondisi Gugun.
Entah
ia sedang sakit, bersusah hati atau sedih. Tidak ada yang cukup berani untuk
memberi perhatian padanya. Mungkin juga karena ia tidak banyak terlibat dalam
hidup sosial—hanya tempat tidur lingkungannya.
Sudah lama ia dibius oleh ketidakpastian akan arah
perjalanan hidup. Juga cukup panjang periode sakaunya oleh kepasifan ini, yang juga terus disuntikan
oleh diri sendiri—tidak ada obat bagi sakau akan pasif diri. Hal ini lebih
gila, ia yang menghendaki untuk diam dalam menjalani hidup.
Gugun
menghabiskan banyak waktunya untuk bengong dan tidur.
Tubuhnya
sudah sangat kurus saat ini karena kekurangan asupan. Ia tidak menghiraukan
kondisinya sendiri. Saat malam tiba, ia akan merebahkan diri lebih awal, pagi
menyapa dilewatkannya dan bangun pada siang hari, kemudian sore dihabiskan oleh
bengong atau sekedar duduk diam. Dan, begitulah seterusnya. Hanya tidur dan
diam.
*
Gugun
tinggal sendiri di sebuah rumah,
Orang
tua pindah ke kota, bukan diterlantarkan, berulangkali ia diajak untuk bersama
orangtuanya, namun berulangkali juga ia menolak dengan alasan tidak menyukai
kehidupan kota yang ramai. Ia hidup seorang diri pada rumah di kampung ini,
suasana sepi yang sangat ia nikmati—entah damai atau sunyi untuk tidur—tidak
tahu pasti apa yang ia nikmati dari nuansa ini.
Kedua orangtua Gugun mulai khawatir
dengan kondisi anak mereka, sempat berulangkali mereka memutuskan untuk kembali
ke tempat ini dan menginap beberapa minggu, tetap saja Gugun menikmati dunianya
sendiri—ia bukannya kurang kasih sayang, hanya.. Mungkin nyaman dengan pilihan
sendiri dalam menjalani hidup—bengong dan tidur.
Hingga
waktu ini tiba, dengan sikap agak memaksa, kedua orangtua Gugun mendatangi
tempat ia tinggal dan membawanya untuk ikut serta ke kota agar bisa diarahkan
dengan baik.
“Kalau
terus-terusan begini nanti akan mati!” Ucap ibunya saat menyiapkan tas berisi
pakaian Gugun untuk dibawa.
“Aku
engga suka dengan suasana kota” Balas Gugun.
“Bukan
itu masalahmu, tapi sikap seperti ini dalam hidup yang hanya tidur tok, mau
sampai kapan” Ayahnya tahu-tahu muncul di pintu kamar.
Sejenak
hening tercicpta, tak ada jawaban yang muncul dari mulut Gugun. Suara riuh
barang-barang yang dimasukan ke dalam tas oleh ibunya saja yang terdengar.
Setelah
semuanya sudah siap, ayah mengantarkan barang-barang tersebut ke mobil.
“Kita
berangkat sekarang” Desak ibu, mengarah pada Gugun yang duduk termenung di atas
tempat tidurnya.
“Aku
ngga mau..” Raut wajah Gugun berubah, ia menunjukan ekspresi keras seolah
ajakan ini mengusik zona nyamannya.
“Hanya
beberapa hari saja..” Ibu menghela nafas, memandangi anaknya.
“Engga..”
Gugun tetap pada pendiriannya.
“Ada
apa denganmu, nak?”
“Tidak
apa-apa”
“Kenapa
begitu keras untuk tidak mau ikut? Buat apa di sini?”
“Banyak
hal bisa dilakukan”
“Apa
contohnya coba?”
“Ada
saja, banyak pokoknya”
Kembali
tarikan nafas panjang yang dilakukan oleh ibu.
“Cepat,
kita berangkat sekarang..” Ayah kembali mengarah pada ruangan tersebut setelah
selesai memasukan barang-barang ke mobil.
Sampai
ia tiba di muka pintu. “Apa yang ditunggu?” Lanjutnya kembali.
“Aku
engga mau ikut, Yah” Gugun menunduk sambil mencoba untuk tidak turut.
“Terus,
apa yang dikerjakan di sini?” Desak Ayah.
“Banyak,
aku engga suka kehidupan kota..”
“Bukan
itu masalahmu, kita semua sudah tahu, di sini pun, tidak ada yang dilakukan,
hanya tidur.. Hidup macam apa seperti itu!”
“Memang
begini hidup Gugun”
“Jangan
keras kepala, ikut sekarang!” Ayah memaksa.
Dengan
berat hati Gugun menurut. Langkahnya gontai menuju ke mobil. Ekspresi kosong dipadu
sebal juga amarah yang menyulut, terdapat juga rasa ingin berontak—bercampur,
ia tampilkan pada air mukanya.
_..>
Bukan kejadian tiba-tiba, sudah sering ia diajak untuk
tinggal bersama oleh kedua orangtuanya—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Karena
jauh dari orangtua membuat mereka khawatir akan kondisi Gugun, bisa juga,
namun, bukan itu alasan utama mengapa saat ini Gugun dipaksa untuk tinggal
bersama kedua orangtuanya.
“Dia
sakit!, menderita penyakit anti-sosial, hati-hati dengan penyakit semacam itu,
jangan dibiarkan” Beberapa hari yang lalu seorang teman lama, juga keluarga
dari Ayah datang untuk berkunjung, ia menuturkan komentar tentang kondisi Gugun
yang ia ketahui selama ini.
“Tidak
aku lihat kegiatannya selain tidur dan bengong.. jangan sampai ia jadi gila”
Timpalnya lagi sambil menyeruput kopi.
Ayah
dan Ibu hanya bisa menunjukan wajah bingung bercampur memelas juga iba dipadu
sedih jika mengingat kondisi anak mereka.
“Itu
memang... Tapi, kami juga engga tahu
bagaimana untuk mengarahkan dia..”
Balas
Ayah saat itu, terbatas, terdapat tekanan pasrah juga putus asa dalam nada
suaranya.
“Kalau
aku melihat kehidupan anak-anak lain di tempat ini, banyak yang mereka
lakukan.. Bermain, jalan-jalan, sekolah, mancing—pokoknya banyak yang mereka
buat, tapi berbeda dengan anak kita yang satu itu, kerjaannya cuma bengong dan
tidur, bagaimana hidup begitu?” Tuturnya pada Ayah dan Ibu panjang lebar.
“Yah..
Aneh juga cara dia bisa begitu, kok bisa-bisanya hidup cuma untuk diam, boh..
aneh betul”
Sambungnya.
“Kami
bingung juga bagaimana menghadapinya..”
Balas
Ibu dengan nada sedih.
“Ya,
susah memang.. kasus langka kalau begini, tapi kasihan kalau lihat hidup dia
begitu terus, enggak akan ada masa depan nantinya, sekolahpun engga..” Panjang
lebar ia membeberkan permasalahan Gugun, seolah Ayah dan Ibu tidak tahu.
Kopi
kembali diseruput.
Asap
rokok daun aren mengepul dalam rumah
itu.
“Jangan
biarkan kondisi anak kita terus begitu..” Ia coba memberi saran pada Ayah juga
Ibu, “Coba bawa kesini aja untuk tinggal, kalau engga mau paksa aja.. daripada
terus-terusan begitu..” Tutupnya mengakhiri percakapan. Tak lama kemudian ia
permisi untuk pergi karena hari sudah mulai gelap.
“Harus
ngecek jerat lagi..” Ucapnya diiringi
tawa saat berlalu.
Komentar inilah yang menggerakan kedua orangtuanya
untuk datang ke tempat Gugun tinggal, khawatir akan penyakit yang mungkin
diderita oleh anak mereka, keduanya memutuskan untuk menyatukan Gugun dalam
satu rumah bersama keduanya. Awalnya dengan ajakan baik yang terus Gugun tolak,
hingga muncullah kesepakat, ia harus dipaksa!
_..>
Dalam perjalanan, Gugun
menampilkan tatapan kosong pada tiap sudut jalan yang dilalui, rasanya ingin
terjun dan pergi dari kendaraan ini. Ia teringat kembali akan tempat nyamannya
untuk mabuk akan mimpi.
“Buat apa saat sudah sampai?” Ia membuka mulutnya,
mencoba mencari celah untuk protes dan meyakinkan bahwa ia tidak seharusnya
ikut untuk tinggal bersama.
“Ada banyak hal, setidaknya engga cuma tidur, lihat
badan jadi kering begitu.. kebanyakan ngimpi”
Balas Ayah atas ucapannya.
Gugun kembali diam. Tatapannya kembali ia arahkan
pada tiap benda yang berseliweran lalu dilewati mobil.
Setelah beberapa puluh menit, kendaraan ini berhenti
pada sebuah rumah. Semua barang bawaan diturunkan. Gugun ikut turun dan
langsung melesat masuk saat pintu dibuka, ia langsung menuju kamar tidak
menghiraukan apapun.
Beberapa jam telah ia lalui dalam rumah ini, ia
mulai gelisah. Kerabat dan keluarga banyak yang berkunjung dan menyapa dirinya,
tak ia hargai satupun, ia tetap menunjukan sikap anti-sosialnya.
Saat tiba waktu makan, ia dipanggil untuk makan
bersama namun tidak ia indahkan, pilihannya tetap diam dan bergeming dalam
kamar lingkungan asing ini.
Hari berlalu, jam terus bergulir,
sudah 72 jam di tempat ini, ia sangat jenuh dan resah dengan nuansanya, tidak
ia sukai tempat ini. Jam makan, kunjungan keluarga, bertemu orang-orang baru,
suara riuh tetangga, tawa pemuda seumuran dalam bercanda, pemandangan ramah
pergaulan dan yang sangat membuatnya risau adalah jam tidur yang teratur, sejak
awal ia tiba, orangtuanya tidak mengijinkan banyak waktunya dihabiskan untuk
tidur. “Nanti akan memperparah kondisimu yang anti-sosial itu” Jelas Ayah
singkat padanya.
Batinnya berontak :
Apanya anti-sosial, toh memang tidak ada gunanya
juga untuk berbaur dengan lingkungan ini.. Kalau sudah kenal banyak orang,
terus apa?
Lebih baik diam saja, menikmati hidup, mengosongkan
pikiran—tidak memusingkan diri dengan banyaknya persoalan, keadaan paling
netral dalam menikmati hidup, ya, dengan tidak melakukan apa-apa dan tidak
memusingkan apa-apa juga. Lalu tidur, dengan tidur berarti menikmati bagian
indah, terkadang dihadiahi mimpi yang tidak berdampak nyata juga dalam
hidup—kalau mimpi buruk ya tidak merasakan sakitnya dan kalau mimpi indah malah
bisa bahagia menikmati—tidak merugikan, juga tidak memusingkan.
Diam dan tidur—apanya yang salah?
Suatu
siang ia berjalan keluar rumah,
Ditelusurinya jalan raya di tempat ini, melewati
tiap gang yang ada untuk mengusir rasa jenuhnya. Ia tidak menyukai lingkungan
nyata ini. Begitu bising dan memuakan baginya.
Panas semakin terik, ia mengelap keringatnya dengan
lengan baju panjang yang ia kenakan. Pandangannya tak sengaja mengarah pada
mentari, matanya memicing karena silau, ia telusuri langit menghindari kontak
langsung dengan mentari, tepatlah sekarang pandangannya pada ujung sana, suatu
tempat yang ia kenali—tempat kesukaannya.
Di ujung sana! Itulah tempat aku hidup dalam
kehidupan ini,
Ia mulai berjalan cepat untuk meraih titik ujung
sana, terus ia berjalan hingga berlari-lari kecil.
Sudah beberapa menit ia habiskan demi rindunya pada
titik depan sana, matanya terus fokus, kakinya terus bergerak. Sedikit demi
sedikit, suara bising menghilang, haus mulai menguasai dirinya. Gugun berhenti,
ia memperhatikan kondisi sekelilingnya, ia telah tiba pada suatu daerah sepi,
dilihatnya kedepan, terdapat sebuah jembatan penyebrangan yang di bawahnya
terdapat sebuah sungai. Ia berlari mendapati sungai itu untuk menghilangkan
dahaganya.
Saat tiba di tepian sungai, ia terdiam, ia melihat
warna airnya berbeda, tangannya diulurkan untuk menyiduk air sungai tersebut,
diteguknya.. Rasa air pada umumnya, namun, mengapa warna air ini berbeda?
**
Masyarakat sekitar banyak yang
mengisahkan legenda dan dongeng tentang sungai ini—begitu banyak kisah, namun,
tidak ada satupun yang bisa dianggap pasti—cerita rakyat tetaplah hanya sebuah
kisah tua belaka.
Sungai ini memiliki warna air seperti air teh,
namun, rasa airnya tetaplah air tawar pada umumnya.
Gugun seperti bercermin akan kehidupannya di depan
sungai ini.
_..>
Aku hanya ingin hidup!
Sehidup-hidupnya dengan caraku, seperti air di
sungai, aku ingin hanya mengalir, tidak berontak, tidak berusaha bergerak untuk
menentukan arah, sebab semua sungai akan bermuara di laut, begitu juga hidup
bukankah akan berakhir pada kematian?
Apakah salah saat sungai ini berair seperti teh?
Sedangkan rasa airnya tetaplah sama.
Apakah salah hidupku yang tidak bergerak? Sedang
akhir nantipun tetap pada kematian?
Apakah aliran di hadapanku ini tidak termasuk
sungai? Tentunya tidak, ia tetaplah sungai.
Begitu juga dengan berontak dan cara hidupku, apakah
ini bukan kehidupan? Tetaplah ini hidupku, hanya saja aku sangat berbeda.
Caraku untuk mencapai muara berbeda, juga warnaku
untuk menghiasi perjalanan ini tidak serupa umumnya, apakah aku salah dengan
pilihan ini?
Biarlah, aku jalan dengan caraku..
Sudahlah, aku nikmati kisah tidak berkonflik ini,
Seperti aliran sungai ini—hidupku juga hanya
mengalir. Tidak bergerak, tidak berupaya—hanya diam.
Curhatnya pada sang sungai.
(Digelisahkan oleh ‘sungai
teh’, cerminan kisah muncul saat bertatapan dengannya pada pesisir pasir putih
yang tidak terdapat tumbuhan, tidak juga ikan yang berenang pada pinggirnya.
Hanya tarian pasir, demikianlah refleksi kisah aliran sungai yang berlari
menuju muara, meliuk diantara tingginya tunggul pepohonan kering) – Saksi di
hadapan air berwarna merah bercampur oranye.
*
Langganan:
Postingan (Atom)