Jadi Apa?
Empat
hal sakral nan keramat. Aspal, hutan, lorong belakang sekolah dan persimpangan
yang terdapat kios-kios jualan berjejer.
Aspal. Jalur hitam mengkilap yang
nama batu dan senyawa apakah campurannya itu, tidak ada yang mau membuang
keseriusannya untuk sekedar tahu dari apa ia terbuat dan bagaimana susunan
komposisinya hingga bisa menjelma rupa segaris hitam membelah beberapa desa dan
kota ini. Apalagi oleh si Andi, yang sejak tadi bertengger tenang, sambil
mengisap sebatang rokok, sesekali ia hisap sekumpulan nikotin dalam bentuk asap
mengepul dan menghembuskannya. Celana biru panjang dan baju kemeja putih serta
dasi yang digantungkan pada kerah seragam sekenanya saja melambai dan bergerak
kala angin menyapu dari sisi ujung jalan sana. Ia nampak asyik dengan dunianya
sendiri, celingak-celinguk, entah apa yang ia harapkan dari tempat sekitar ia
duduk. Sesekali tangannya menggaruk kepala dan merapikan jambul ala emo yang ia
banggakan dengan sisi jatuh miring ke kiri itu. Gayanya santai, tak peduli
apapun juga kecuali kesenangan sendiri.
Kadang
terlintas pikirannya akan kedua orang tua yang sudah menyengkolahkan sejauh
ini. Ah, apalah daya, di kelas II salah satu sekolah kejuruan terbaik di
kotanya, ia kehilangan minat dan lebih suka membolos. Tanpa absen ia menista
seragam dan nama pendidikan yang ia bawa itu untuk sekedar nongkrong bersama
teman-teman satu ‘aliran’ bolos atau merokok. Semuanya ia lakukan hingga jam
sekolah yang membosankan baginya berakhir.
Membolos
sendiri bukannya membabi buta dan amatiran, Andi sangat hafal akan jam masuk,
istirahat dan jam pulang sekolah. Dari rumah ia akan berangkat seolah pergi
belajar, namun pada persimpangan arah sekolahnya itulah ia memilih jalan yang
berbeda. Inilah ia pada sisi jalan aspal ini. Menunggu.
Dua orang ‘kawan-seperbolosan’nya
terlihat datang dengan sebuah motor matic yang mereka tumpangi, sama dengan
aliran menista seragam dan ikhtikad baik para orang tua untuk menyengkolahkan
dan memberi anak-anaknya hak akan pendidikan, mereka juga membelot dari tujuan
mulia itu dan tanpa absen juga untuk hadir di sisi jalan ini. Bagi mereka
inilah ‘sekolah’.
Sama dengan gaya dan penampilan
eksentrik masing-masing, keduanya cukup kompak dengan tampilan rambut cepak,
berseragam rapi, lengkap dengan dasi dan baju masuk dalam celana. Ikat
pinggang; tipekal anak baik-baik dilihat dari luar. Entah apa yang menjadi
kesepakatan mereka untuk senantiasa kompak dan tekun membolos bersama-sama.
“Ada
barang?” Juki menepi dan mematikan mesin sepeda motornya.
Andi
menyodorkan sebungkus rokok.
“Apa
program hari ini?” Ihsan juga mengambil sebatang rokok, membakar dan menghisap
dalam kepulan nikotin tersebut.
“Tunggu
jam pulang aja”
“Lapar
aku,eh..” Ihsan mengusap perutnya dan menyeberang ke arah kios sisi jalan
seberang, memesan mie rebus komplit dengan telur, kemudian segera disusul oleh
kedua temannya.
Sudah
seperti kebiasaan dan selalu terjadi, ibu pemilik kios tersebut akan mengomel
serta mencoba memberi nasehat kepada ketiga pemuda ini untuk jangan membolos
dan mulai memikirkan masa depan mereka dengan serius.
“Untuk
apa bolos terus, engga kasihan orang tua sudah biayain kalian dengan susah
payah, kok malah bolos sekolah terus kerjaan kalian ini..” dan seperti biasa,
ketiganya acuh dengan sikap masing-masing, kadang Ihsan menunduk dalam, sambil
menikmati sarapannya menyimak omelan ibu warung, Andi sibuk dengan game online
yang ia mainkan, Juki menyeruput pelan kopi hitam atau es yang ia pesan untuk
menghabiskan waktu bersama kedua temannya di warung ini, kadang juga ketiganya
menyahut dengan nada ejekan pada nasehat yang selalu ibu warung sampaikan.
“Engga
apa-apalah, tante.. menikmati masa muda ini” Juki menjawab dengan senyum jahil.
“Habis
masa muda kalau cuma untuk membolos aja..”
“Enggalah,
nanti ada batasnya juga..”
“Iya,
tante.. kanssas kami ini”
“Apa
itu KANSSAS?”
“Kami
Anak Nakal Suatu Saat Akan Sadar” Ketiganya pecah dalam tawa. Ibu warung hanya
bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melayani pelanggan lain yang datang.
*
“Kenapa
ya, kita suka bolos?” Ihsan mulai berpikir sambil senyum tipis ia bertanya usil
pada kedua temannya.
“Bosan
di sekolah”
“Iya
aku benci juga pelajarannya, susah semua” Juki menjawab sekenanya.
“Kalau
aku untuk temani kalian berdua aja sebenarnya” Andi menjawab acuh sambil
memainkan game online di hpnya.
“Bohong
aja, tapi kamu harusnya betah di kelas” Ihsan mulai serius.
“Apa
emangnya yang buat betah?”
“Banyak
cewek cantik di kelasmu”
“Biar
aja sudah, cewek kelas lain juga cantik-cantik”
“Iya
juga, tapi lebih cantik cewek-cewek di kelasmu” Juki mulai bergabung dalam
perbincangan random pagi ini.
Dan
mulailah perbincangan serius nan nyeleneh oleh ketiganya.
“Kalo
aku sih pasti betah kalo banyak yang cantik begitu” Ihsan mengusap-usap
tangannya seolah akan mendapat harta karun.
“Iya,
untung aja bukan kamu, nanti jadi juara satu umum lagi” Andi nyeletuk. Disambut
cengir oleh Juki.
“Apa
salahnya memperbaiki diri..” Ibu warung menimpali, “jadikan cewek cantik di
kelas untuk motivasi ke sekolah dan rajin belajar engga masalah kok..” Sambil
terus Ibu warung menyiapkan beberapa pesanan pelanggan yang datang.
“Berubah
ya?” Juki menggaruk pelan keningnya sambil memperhatikan segelas minuman di
hadapannya.
“Kira-kira
jadi apa kita nanti ya?” Timpal Ihsan.
“Orang
kaya kalo aku, engga tau kalian..” Andi membalas sambil meletakan hp yang
selalu ia mainkan.
“Gimana
bisa kaya, kalo sekolah bolos terus..” Ketiganya menertawakan ironi mereka
sendiri.