Senin, 11 September 2017

Serpihan Kisah

Keping terakhir yang kuingat sebagai cuplikan,
Saat pertama tangan kita bertemu,
Kuingat mengapa hari itu sangat indah dan cerah,
Tak ada alasan untuk tidak bahagia, ungkapmu.
aku setuju, sebab bahagiaku adalah kamu.

Kamu, pelumpuh jiwa yang suka bercanda dengan realita,
Sangkamu aku adalah pujangga yang tidak terluka,
Lukaku menganga, bukan untuk menderita,
Kubiarkan luka untuk menanggung deritamu.

Bermula dengan semula luka untuk tanggungan derita,
Aku putus asa dibungkam waktu kala pergimu,
Dalam diam dan kalut, coba kujumpa cinta meski mimpi tak kunjung mempertemukan

Aku nelangsa,
Aku berduka,
bukan dalam derita
Hanya bercerita

Ku Lihat Kau

Ku lihat kau,
Sosok lemah menodong pisau tumpul,
Dikira pedang tajam

Ku amati dalam tegun,
Todongan ancam dalam getir akan celaka

Tidak dirasa iba, bukan juga benci
Miris,
Digerogoti gelap,
Kawanmu sisi itu?

Tidak ada lahir dalam suram,
Tak ada harap pekat di bawah naung cahaya

Sangkamu paham tentang kekelaman?
Buat apa pisau itu?
Untuk apa kuda-kuda menyerang itu?
Siapa kawanmu? Di manakah sengatmu?

Perhatikan saja pijak,
Jangan begitu ambisi untuk melumpuhkan

Perlahan,
Sebelum beranjak cobalah untuk tersadar dahulu

Sebelum terjang cobalah tidak buyar
Sadar! apa yang memabukanmu?

Sosok yang berdiri dalam ringkuk,
Tanpa pijak akan terhempas,
Mengancam tanpa perlindungan,
Mengerang dalam cekam suram dan rapuh,

Buat apa posisi itu?
Jangan berbangga,
Tidak aman tempatmu sekarang.

Ku lihat kau,
Sedang apa di situ?

Kemari dan sadarlah,
Tengok atasmu, cahaya begitu terang
Jangan butakan mata dengan dangkal pemahaman,
Tidak ada gelap dan suram

Semuanya terang,
Yang suram sisi sana,
Tapi bukan pijakmu,
Kau salah, kau keliru
Pijakmu remang-remang,
Bukan pekat gelap sebenarnya

Kemarilah,
Atau setidaknya bergeraklah ke sana,
Sisi kelam yang tidak bisa dipahami
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H