Rabu, 03 Mei 2017

Maafkan



Masih ingat dengan perjumpaan awal?

Saat meja merah tua digerogoti usia bertengger dan kursi lapuk abu-abu bercampur bercak-bercak hitam menjadi tumpuan.

Adakah tersimpan cuplikan dalam benak dan ingatmu,

Masa jumpa kedua saat lepas dan berlari dari pekat asap menuju sejuk alam?

Aku bertanya, kamu ingat masa pertama bercengkrama, di bawah penerangan remang cahaya oranye?

Mungkin aku terlalu banyak mengingat, tapi hadirkah dalam cuplikan hidupmu, masa dimana bahuku menjadi tempat sandaran, saat matamu menjadi lautan luas yang ingin kuarungi rahasianya.


Maaf, aku bimbang di tengah perjalan,
Maafkan kalut menyerang, disertai demam—merasuk hingga ke tulang, radang.. aku hanya meradang

Maafkan siang tidak menjadi kawan,

Ampuni malam jika tidak menyempatkan setidaknya sebatas bayang,

Biarkan pagi melepas kabut, kala embun turun, biarkan sejuknya menyegarkan,

Maafkan,


Maafkan aku menjadi bimbang,


Tidak kutemukan kawan,
Saat aku berlabuh dalam peraduan,
Lautan tidak bernaung dalam tatapan,

Maafkan mata tidak lagi menikmati angkasa—tidak kujumpai penyegar asa,

Karena cinta bukanlah lagi sang penguasa,

Maafkan.

Senin, 01 Mei 2017

Bimbang



Serbuan debu terowongan tua,
Lalu lalang kendaraan—suara riuh, penuh dan menggema,
Di pinggir trotoar kaki terus melangkah

Pada senyap rasa dan hening asa tak menentu,
Sementara penat paksa mesin terus berkumandang,
Aku berlabuh dalam pekat yang disebut bimbang

(Catatan malam saat insomnia menyerang)

Catatan 1 : Lidah—gaya bahasa, dan Pergaulan



Sejak kecil hingga dewasa, manusia mengembangkan kemampuan dalam berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan sesama. Dalam proses komunikasi dan interaksi yang ada, bahasa digunakan sebagai media untuk menyampaikan suatu pokok pikiran atau maksud seseorang. Penggunaan bahasa sehari-hari sudah lumrah dilakukan untuk bercakap-cakap, baik dalam situasi formal maupun informal, dalam keluarga, masyarakat, teman bergaul hingga lingkup lintas budaya.
Dalam curahan kali ini aku membagikan tentang sebuah pengendali yang menghasilkan atau bisa dikatakan sebagai sumber dari tiap bahasa, ucapan dan dialek-dialek unik etnis bahasa di seluruh dunia. Jika membicarakan tentang komunikasi dan bahasa pastinya akan berkaitan dengan apa yang bisa menghasilkan bunyi dari bahasa itu sendiri.
Lidah. Bagian tubuh yang satu inilah yang menjadi sumber atau penghasil bunyi dalam pengungkapan bahasa.

Dalam beberapa waktu ini aku memperhatikan perubahan-perubahan bahasa atau gaya komunikasi yang teman-temanku, juga lingkungan di sekelilingku alami.        
Pembahasan kali ini adalah mengenai kekuatan lidah dan perubahannya dalam mengekspresikan suatu gaya bahasa.
Jika kembali pada masa sekitar tiga tahun lalu, aku masih ingat saat pertama kali datang ke tempat ini, dengan gaya bahasaku yang masih sangat kaku menurut orang-orang di kota ini, karena dialek juga penggunaan kata “aku dan kamu” untuk merujuk pada diri sendiri dan lawan bicara pertama dalam percakapan, sementara mereka terbiasa menggunakan “Gue dan elo/elu” dalam percakapan.
Adanya rasa aneh juga asing dalam diriku saat mengucapkan “elo/elu dan gue” dalam berkomunikasi. Aku tetap mempertahankan mengenai cara bicara dan gaya bahasaku, walaupun dengan sedikit perubahan dari bagian “aku dan kamu” menjadi “aku dan kau” karena gaya ini lebih dapat diterima di sini.
            Setelah beberapa waktu berlalu, aku belajar dan juga melihat adanya beberapa orang yang tadinya memiliki gaya bahasa yang sama denganku, namun, mereka akhirnya memutuskan untuk merubah gaya bahasanya agar tidak dianggap aneh sendiri. Dalam hal ini aku tidak menghakimi atau menjelekan, tetapi apa yang aku temukan bahwa dalam perubahan gaya bahasa yang ada, ternyata mempengaruhi juga dalam sikap dalam berbicara, misalnya dalam bercanda kepada teman, dalam istilah biasa jika ada teman yang sedang mengejek dengan maksud bergurau pastinya aku akan merespon “Buset, parah, bisa aja.. Haha enggalah, apaan?”, lalu bukannya membandingkan atau merasa diri lebih baik, tetapi beberapa dari mereka yang merubah gaya bahasanya jadi menarik suatu budaya baru dalam menanggapi candaan, misalnya “Haha.. T** lo!, Anj**g lo, G**lok, **e*t** lo!..”. Ehm, baiklah bagaimana harus menyampaikan hal ini?
Menurutku, jika gaya bahasa yang kaku bisa meningkatkan kesantunan dan sikap positif dalam berkomunikasi, kenapa tidak untuk dipertahankan? Sedangkan merubah gaya bahasa malahan membawa diri pada gaya komunikasi yang kasar dan mengurangi budi pekerti, apa gunanya?
            Aku mulai mengerti bahwa kata “nyeplos” yang artinya : bebas, tidak terhenti, lepas. Adalah ungkapan dalam mengekspresikan sikap tak terbendung, salah satunya adalah dalam gaya berbahasa. Dalam hal ini, lidah cenderung menyukai hal-hal negatif untuk diucapkan dibandingkan dengan hal-hal positif dan dapat membangun, Hmm.. kenapa ya?
Dari lidah bisa memotivasi teman, dari lidah yang sama bisa menjatuhkan mental kawan.
Aku coba merenungkan jika aku menggunakan lidahku untuk menjelekan teman dengan maksud membangunnya ke arah positif, baik dalam menanggapi candaan atau menyapanya.
Bayangkan ada temanku yang sedang bercanda dan kutanggapi dengan mengucapkan bahwa ia adalah sejenis binatang tertentu, Hmm.. adakah selera humor?
Entahlah,
Dalam berbahasa dan pergaulan, gaya bahasa dan lingkungan sekitar ternyata sangat mempengaruhi pada perkembangan diri juga tabiat, apakah ke arah yang lebih mulia, santun dan baik, atau sebaliknya.
Aku tetap menjaga akan lidah dan gaya bahasaku, dalam tiap ucapan kuusahakan untuk tidak menikmati hal negatif, dalam hal ini adalah perjuangan seumur hidup karena banyak kesalahan dalam berbicara. Lidah memang sulit dikendalikan.
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H