Sabtu, 30 Juni 2018

Kabar

Akulah warna, akulah sang beda. Akulah rasa berbeda yang enggan kau cicipi
-Kutipan oleh Adela


            Menunggu. Suatu hal menjemukan sekaligus membunuh, rasanya bisa membunuh karena penasaran itu. Itu adalah keanehan yang sejak sore tadi gadis ini rasakan. Adela, sang warna berbeda. Setidaknya begitulah pengakuannya pada orang-orang yang bertanya tentangnya.

Apa yang ia tunggu?

“Menunggu seseorang untuk kembali?” Ia membatin.
“Omong kosong, emangnya dia pernah datang dan singgah? Apanya yang kembali?” Batin lainnya membantah sengit tanpa simpati atasnya yang sejak tadi telah menjadi korban ‘menunggu’.
“Coba sebentar lagi, apa ruginya?” Kembali ia membatin.
“Bodoh. Sungguh bodoh penantian ini, Adela!” Perdebatan dalam dirinya mulai terjadi.

            Apakah itu rasa yang menggelisahkannya? Kabar apa yang ingin ia jumpai. Hal apa yang begitu berharga untuk dinantikan hingga batinpun protes dengan hal menunggu ini?

            Tertawa.
Semua bermula dari canda, gurau dan rasa hangat jalinan persahabatan keduanya. Terlalu dekat, rasa-rasanya begitu. Begitu hangat juga komunikasi keduanya, rasa-rasanya sih begitu. Terlalu dekat, terlalu hangat. Apapun yang dibicarakan pasti akan memekarkan tawa bagi keduanya, terlebih lagi si aku ini, Adela..

Penantian malam ini begitu panjang, Adela menghela naafasnya beberapa kali. Menyentuh dengan ragu, namun penuh harap pada layar smartphone miliknya akan menampilkan pesan dari seorang yang jauh di sana.

Hahh...

“Ini semua karena malam itu..” batinnya mengenang kembali.
“Terlalu ceroboh, terlalu mudah untuk terbawa suasana. B-o-d-o-h!” Pekik batinnya di sisi lain.
Ada apa dengan segala perdebatan batin ini? Mengapa ada dua sisi dalam dirinya. Satu berharap, satunya mematahkan pengharapan tersebut.

            Malam itu memang begitu sunyi sekaligus menenangkan untuknya..

Percakapan terjadi pada sebuah meja sederhana. Di bawah naungan pohon rindang itu, dan jangan lupakan peran warung keparat sederhana yang memfasilitasi suasana tersebut.
Tidak bisa diajak kompromi kalau sudah menyangkut soal perut.

“Mau makan dulu engga?” Tawar sosok rupawan—setidaknya begitulah sudut pandang Adela, lelaki yang tidak ia sadari telah merebut hatinya. Entah sengaja, maupun tidak. Perasaan seperti ini begitu misterius.

“Boleh tuh..” dengan segera diiyakan oleh Adela, sebab ia sendiri memang merasa sangat lapar kala itu.

“Pesan apa?” Tanya Adela pada lelaki di hadapannya.

“Yang biasa aja” Jawabnya singkat karena masih perlu mengecek hpnya.

“Yang biasanya emang apaan?, Hendri?” Adela menaikan nada suaranya.

“Ayam bakar, sambal dibanyakin. Pakai nasi jangan lupa” Balas Hendri sekilas memberikan senyum tipis pada Adela.

“Sibuk amat, pak..”

“Hmm?..” Ia nampak menampilkan senyum tipis pada bibirnya, “engga, ini ada yang harus dibalas dulu..” Lanjutnya.

“Iyadeh yang sibuk, tapi ngaku engga sibuk.. lagian asyik benar rupanya dengan hp”

“Engga, nih udah kan?” Hendri menaruh kembali hpnya ke dalam tas.
            Sementara menunggu pesanan mereka berbincang-bincang sedikit menyangkut perkuliahan dan kegiatan fakultas yang akan dilaksanakan bulan depan.

“Eh,..” Adela tiba-tiba teringat sesuatu, “Udah nonton film Jejak Langkah belum?”

“Belum” Jawab Hendri sambil mengerutkan dahi.

“Yesss, sama dong.. temani nonton yuk, masa nonton film begini sendiri”

“Ya, booleh aja..” Jawaban lelaki tersebut terdengar ragu.

“beneran yak? Yaudah, tentukan waktu” Telunjuk Adela menuding Hendri yang terlihat masih menimbang-nimbang. “Minggu depan gimana?” Lanjut gadis itu lagi..

“Waaduh, liat ntar yak, ga janjii juga” Balas Hendri sambil coba menampilkan tawa di wajahnya.

“Yahh, sibuk lu yak?”

“Engga sih, tapi ga tau juga. Liat nanti ya”

“Yahh, kalo ga bisa tinggal bilang aja sih.. jangan kasih gue harapan palsu”

“Apaan sih, ga ada hubungannya sama nonton film..”

            Adela menampar pelan kedua pipinya untuk tersadar dan tidak kembali mengingat tentang bagaimana hal tersebut telah membawanya pada suasana malam ini. Suasana dimana ia sedang menanti dengan penuh harap agar dihubungi dan diberikan kepastian oleh Hendri, apakah akan jadi pergi nonton atau tidak.

            Bukankah sebaiknya memang dipersingkat saja waktu ini. Mengapa jalannya begitu lambat dan seolah semesta bekerja sama satu sama lain, bersekongkol untuk menjahilinya malam ini. Berulang kali ia melirik jam untuk memastikan bahwa waktunya dekat atau tidak datangnya kepastian itu.

“Biasanya kalo nonton bareng emang jam 9 sih, tunggu aja” Batinnya, setelah memastikan waktu menunjukan pukul 20:00.

“Apa yang bisa diharapkan dalam waktu satu jam sih? Emang yakin jadi? Palingan ada acara lain dia..” Batin yang satu ini memang sebaiknya diumpat saja. Walau begitu, cukup ampuh juga untuk membuat Adela gelisah dan merasa ragu dengan janji tempo hari. Sebentar, janji? Janji apa? Bukannya memang sudah ia sampaikan kalau ia tidak bisa janji?
Begitu berat menunggu kabar dari yang diujung sana. Ingin menanyakan kepastiannya tapi entah mengapa terasa begitu berat. Gengsi lebih tepatnya. Gengsi karena apa? Tidak jelas!

Waktu telah berlalu tiga puluh menit, dalam siksaan tunggu ini, kabar itu belum juga tiba.

            Sebuah notifikasi muncul pada sudut atas layar smartphone miliknya. Ah, nama itu.. nama yang ditunggu-tunggu, tetapi notifikasi itu, bukan notifikasi yang diharapkan. Itu adalah pemberitahuan tentang seorang yang sedang live salah satu media sosial instagram.

Apa yang ia lakukan dengan membaginya melalui sebuah siaran langsung di instagram?
Dengan rasa penasaran ia mengetuk notifikasi tersebut. Terlihatlah sosok yang ditunggu-tunggu kabarnya sejak tadi, namun, ia tidak sendiri. Terlihat ada seorang yang bersamanya, keduanya sedang duduk berdekatan dan mengunyah sesuatu, mungkin makanan ringan. Terlihat latar tempat keduanya adalah sebuah tempat pemutaran film. Ah.. apa sebenarnya yang mereka lakukan..

            Adela menutup siaran langsung tersebut, kemudian merebahkan dirinya pada sofa. Ia gelisah, berlari kecil menuju kamarnya. Memasrahkan diri pada kasur yang kini telah ia tubruk.
Ia merasa sesak pada dadanya..
Ada yang terluka,
Ada yang sakit, namun, tidak berdarah. Di dalam sana.
Di sisi lain ia merasa lega. Kabar yang ia nantikan tiba juga walau dengan tidak seperti yang ia harapkan bentuknya.
“Ia sudah bersama yang lain”.

            Bersama dengan sunyinya perasaan Adela malam itu, sebuah cuplikan tanpa alasan jelas terkenang dan terputar dalam pikirannya. Ia menyukai bagaimana Hendri, lelaki itu berbicara. Menemaninya kala bosan, mengobrol sesekali dengannya saat senggang di kampus. Makan bersama di kantin. Momentum-momentum kecil yang biasa saja seharusnya sudah berhasil menjebaknya untuk menaruh hati pada Hendri. Tidak mau ia akui, tetapi hatinya berkata lain. Setelah melihat hal yang tadi, pada siaran langsung itu.. ia baru menyadari bahwa keduanya tengah dekat—Hendri dan gadis itu, iya.. dia itu, mengapa selama ini tidak menyadarinya. Mengapa terlanjur ia jatuh hati pada orang yang telah melepaskan hatinya bagi yang lain.

Tak terasa air matanya mengalir, ia sesenggukan. Meraih handphone miliknya untuk berselancar mencari informasi terkini keduanya, berharap ada petunjuk. Kabar kembali ia dapat.
“Mereka sudah sepasang kekasih sejak seminggu yang lalu..”
Batinnya menggemakan kabar tersebut tanpa mengerti sakit yang ia derita.


Selesai.
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H