“Apa aku yang terlalu bodoh?” Ucap Adela, memecah keheningan yang mulai
bersenda akrab dengan dinginnya hembusan angin malam.
Lelaki di sampingnya menoleh, dengan mimik yang datar, setengah menahan
kantuk, ia mencoba untuk bersuara “tidak juga, kita memang tidak pernah tahu
tentang apa yang akan terjadi saat kita menikmati cinta..” Ia menghela nafas,
kemudian memasukan kedua tangannya kedalam saku jaket sambil meringkukan badan.
Udara malam ini mulai terasa mengusik. Usapan lembut angin yang menggoda
dapat menghipnotis untuk lelap tertidur dan dibuai alam mimpi. Namun, tidak
untuk malam ini. Tidak untuk saat ini.
Adela menunduk. Hatinya pilu.
Suara berisik mesin kendaraan sesekali berlalu di tepi jalan itu. Di bawah
sinar remang-remang lampu jalan. Trotoar yang dijadikan tempat untuk duduk bagi
Adela dan lelaki yang ia panggil dengan sebutan Abang.
Adela merasa puas dengan suasana ini. Cukup dibawah sorot lampu yang redup
ini, dipinggir jalan raya yang tidak begitu ramai dan dihibur oleh kumpulan
angin malam yang berlalu lalang, sesekali iseng menggelitik tubuhnya, ia merasa
tak apa, biarlah disini ia mengistirahatkan pilu hatinya yang terluka dalam
kondisi kritis, dihancurkan oleh perasaan cinta. Ia tersadar, cinta yang ia
kecap adalah racun, yang hadir dalam taman hatinya, berbentuk benih mawar yang
terus tumbuh setiap hari, saat bunganya mekar, satu taman menjadi layu dan
hancur, spora yang tersebar adalah racun mematikan.
“Awalnya dia begitu baik.. lalu banyak waktu kami lalui bersama.. tapi,
setelah semua itu.. aku nggak nyangka akan begini..” Adela mencoba untuk
bercerita, namun hatinya terus bergejolak. Mungkin racun cinta sudah
melumpuhkannya begitu hebat, hingga berkata-katapun tidak lagi menjadi
protesnya saat tersakiti.
Ia mulai teringat saat-saat yang lalu. Berawal dari tempat yang sama, di
bawah sinar lampu oranye ini, saksi atas pertemuannya dengan Brian, sosok
pujaan yang membuatnya jatuh hati, namun kini juga yang melukai. Kala itu ia
tidak menyadari tentang perasaannya, rasa cinta yang hadir dalam benaknya.
Brian merupakan seorang lelaki yang ramah, suka bergaul dengan banyak
wanita dalam hidupnya, tidak, dia bukan seorang playboy, hanya saja
kebiasaannya adalah suka menghabiskan waktu dengan banyak wanita, entah pergi
nonton film-film yang sedang marak ditonton, nongkrong di tempat-tempat yang
asyik bagi anak muda atau sekedar jalan-jalan santai untuk menghabiskan waktu.
Mungkin ia hanya mudah merasa bosan jika sendiri, dengan menghabiskan banyak
waktu bersama gadis-gadis sebayanya, ia merasa senang. Berbeda dengan
gadis-gadis lain yang menjadi kawan hangoutnya,
Adela perlahan menaruh perasaan padanya, namun rasa sayang tersebut masih belum
jelas dikala itu, Adela memilih untuk memendamnya saja.
Adela menghela nafas, mencoba untuk melepas dan mengikhlaskan segala
rasanya pada Brian, saat ia menarik nafas kembali, pandangannya mengarah pada
sisi lain jalan, bola matanya terus menyusuri hingga akhir dari batas
penglihatannya, ia berhenti pada sisi ujung jalan, tatapannya nanar,
potongan-potongan gambar dan gulungan film seolah dipasangkan pada kepalanya,
ia kini seperti mesin pemutar gambar yang ada pada teater-teater jaman 60an.
Kisah dan waktu-waktu bersamanya dengan Brian terbayang dengan jelas,
terpampang didepan teater dan dapat disimak dengan jelas oleh penonton, hal
yang berbeda kali ini hanya ia sendiri yang dapat menonton cuplikan-cuplikan
tersebut karena ialah teater sekaligus penonton dalam daya khayalnya.
Abang memperhatikan sejak tadi, lalu mengelus pundak Adela. Mencoba untuk
menenangkannya dengan memulai percakapan.
“Sudahlah, jangan sampai sebegitunya.. hal biasa patah hati di masa muda,
ini bagian dari kewajaran kok..”.
“Tapi, sakit aja bang.. kenapa aku bisa bodoh banget, sampai-sampai biarkan
dia masuk ke hidup aku..”.
“Kita enggak pernah tahu dan nggak bisa pilih juga dengan siapa kita jatuh
cinta, jangan sesali hal itu, apalagi sampai berpikir bahwa jatuh cinta adalah
kebodohan”.
“Kalau memang akhirnya begitu, maksudku.. Kenapa juga harus ada
sayang-sayangan, toh akhirnya menyakiti juga”. Adela menahan nafas, air matanya
mulai tak tertahan. Ia menutup wajahnya.
Angin terus berhembus. Sesekali suara mesin kendaraan terdengar.
Abang hanya bisa diam, hanya bisa menjadi teman untuknya malam ini.