Selasa, 22 November 2016

Cahaya Oranye

“Apa aku yang terlalu bodoh?” Ucap Adela, memecah keheningan yang mulai bersenda akrab dengan dinginnya hembusan angin malam. 

Lelaki di sampingnya menoleh, dengan mimik yang datar, setengah menahan kantuk, ia mencoba untuk bersuara “tidak juga, kita memang tidak pernah tahu tentang apa yang akan terjadi saat kita menikmati cinta..” Ia menghela nafas, kemudian memasukan kedua tangannya kedalam saku jaket sambil meringkukan badan. 

Udara malam ini mulai terasa mengusik. Usapan lembut angin yang menggoda dapat menghipnotis untuk lelap tertidur dan dibuai alam mimpi. Namun, tidak untuk malam ini. Tidak untuk saat ini.

Adela menunduk. Hatinya pilu.

Suara berisik mesin kendaraan sesekali berlalu di tepi jalan itu. Di bawah sinar remang-remang lampu jalan. Trotoar yang dijadikan tempat untuk duduk bagi Adela dan lelaki yang ia panggil dengan sebutan Abang.

Adela merasa puas dengan suasana ini. Cukup dibawah sorot lampu yang redup ini, dipinggir jalan raya yang tidak begitu ramai dan dihibur oleh kumpulan angin malam yang berlalu lalang, sesekali iseng menggelitik tubuhnya, ia merasa tak apa, biarlah disini ia mengistirahatkan pilu hatinya yang terluka dalam kondisi kritis, dihancurkan oleh perasaan cinta. Ia tersadar, cinta yang ia kecap adalah racun, yang hadir dalam taman hatinya, berbentuk benih mawar yang terus tumbuh setiap hari, saat bunganya mekar, satu taman menjadi layu dan hancur, spora yang tersebar adalah racun mematikan.

“Awalnya dia begitu baik.. lalu banyak waktu kami lalui bersama.. tapi, setelah semua itu.. aku nggak nyangka akan begini..” Adela mencoba untuk bercerita, namun hatinya terus bergejolak. Mungkin racun cinta sudah melumpuhkannya begitu hebat, hingga berkata-katapun tidak lagi menjadi protesnya saat tersakiti.

Ia mulai teringat saat-saat yang lalu. Berawal dari tempat yang sama, di bawah sinar lampu oranye ini, saksi atas pertemuannya dengan Brian, sosok pujaan yang membuatnya jatuh hati, namun kini juga yang melukai. Kala itu ia tidak menyadari tentang perasaannya, rasa cinta yang hadir dalam benaknya.

Brian merupakan seorang lelaki yang ramah, suka bergaul dengan banyak wanita dalam hidupnya, tidak, dia bukan seorang playboy, hanya saja kebiasaannya adalah suka menghabiskan waktu dengan banyak wanita, entah pergi nonton film-film yang sedang marak ditonton, nongkrong di tempat-tempat yang asyik bagi anak muda atau sekedar jalan-jalan santai untuk menghabiskan waktu. Mungkin ia hanya mudah merasa bosan jika sendiri, dengan menghabiskan banyak waktu bersama gadis-gadis sebayanya, ia merasa senang. Berbeda dengan gadis-gadis lain yang menjadi kawan hangoutnya, Adela perlahan menaruh perasaan padanya, namun rasa sayang tersebut masih belum jelas dikala itu, Adela memilih untuk memendamnya saja.

Adela menghela nafas, mencoba untuk melepas dan mengikhlaskan segala rasanya pada Brian, saat ia menarik nafas kembali, pandangannya mengarah pada sisi lain jalan, bola matanya terus menyusuri hingga akhir dari batas penglihatannya, ia berhenti pada sisi ujung jalan, tatapannya nanar, potongan-potongan gambar dan gulungan film seolah dipasangkan pada kepalanya, ia kini seperti mesin pemutar gambar yang ada pada teater-teater jaman 60an. Kisah dan waktu-waktu bersamanya dengan Brian terbayang dengan jelas, terpampang didepan teater dan dapat disimak dengan jelas oleh penonton, hal yang berbeda kali ini hanya ia sendiri yang dapat menonton cuplikan-cuplikan tersebut karena ialah teater sekaligus penonton dalam daya khayalnya.

Abang memperhatikan sejak tadi, lalu mengelus pundak Adela. Mencoba untuk menenangkannya dengan memulai percakapan.

“Sudahlah, jangan sampai sebegitunya.. hal biasa patah hati di masa muda, ini bagian dari kewajaran kok..”.
“Tapi, sakit aja bang.. kenapa aku bisa bodoh banget, sampai-sampai biarkan dia masuk ke hidup aku..”.
“Kita enggak pernah tahu dan nggak bisa pilih juga dengan siapa kita jatuh cinta, jangan sesali hal itu, apalagi sampai berpikir bahwa jatuh cinta adalah kebodohan”.
“Kalau memang akhirnya begitu, maksudku.. Kenapa juga harus ada sayang-sayangan, toh akhirnya menyakiti juga”. Adela menahan nafas, air matanya mulai tak tertahan. Ia menutup wajahnya.

Angin terus berhembus. Sesekali suara mesin kendaraan terdengar.

Abang hanya bisa diam, hanya bisa menjadi teman untuknya malam ini.


o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H