Dentingan musik surga mengalun lembut dari tahta tertinggi. Meliuk, masuk, menyebar dan berkelana menyusuri semesta. Menjangkau dunia baru pada sisi sudut dimensi. Sedikit terdengar alunan nada indah menghampiri tempat ini, hanya sebagian sisi, sisi lainnya tidak mengenal simfoni dari tempat tertinggi tersebut.
Kalma. Negeri seribu kisah, di mana kebaikan dan
kejahatan hadir berdampingan secara
harmonis. Bias cahaya menyilaukan dan kalutnya gelap identik dengan dunia ini.
Dalam kegelapan terdapat kutukan dan serapah yang
mengasah cakarnya dengan pertikaian dibalut benci.
Apm, salah satu kota di mana kegelapan terus
berkuasa, tidak diakui bahwa kejahatan adalah identitas dari tempat ini, namun
tidak dapat juga dipungkiri bahwa kejahatan meraja lela tertawa di antara
orang-orang Apm, sambil sesekali menggoreskan cakarnya pada tiap tembok,
sebagai tanda bahwa ia adalah hakim atas hidup dan mati, ditempat ini.
Pada sebuah bangunan
tua tiga lantai, bercak-bercak cat tua keabu-abuan masih tampak menyelimuti
dinding tempat ini, tangga usang, lantai retak dan kamar-kamar kumuh yang
dipenuhi debu beterbangan, saat menghirup udara di tempat ini yang terasa
hanyalah bau kumuh dan serbuk-serbuk kayu yang mulai lapuk.
Sebuah ruangan pada lantai dua, terletak di tengah,
antara dua ruangan lainnya.
Pintu yang rusak, sepertinya dihancurkan oleh
sesuatu yang menghempasnya, bercak darah di lantai, hembusan nafas
terengah-engah. Berdiri seorang lelaki memegang pedang berukuran mini dengan panjang
kurang lebih 30cm, diameter 4cm. Digenggam erat di tangan kanan. Tubuhnya
kekar, berdiri tegap, tatapannya tajam, menatap tanpa keraguan untuk menghabisi
satu lelaki yang masih tersisa di sudut ruangan, yang sedang berusaha untuk
menyeret tubuhnya yang sudah terluka parah, di antara gelimangan mayat
rekan-rekannya yang tergeletak di lantai, hanya dengan tangan kiri saja si
lelaki yang penuh dengan noda darah itu terus bergerak, berusaha untuk
menjangkau sudut ruangan, entah apa yang ia harapkan pada tempat tersebut,
bertahan, lari atau hanya sekedar mencari tempat untuk menyandarkan tubuhnya
yang sudah terluka parah. Ia menarik dirinya, merebahkan tubuhnya pada tembok
ruangan ini, menatap sayup, kesadarannya hampir hilang, tetap ia berusaha
menatap lelaki yang memegang pedang.
“Habisi saja..” Keluh lelaki disudut ruangan itu
terengah-engah, sambil mempertahankan kesadarannya.
“Setidaknya aku masih memiliki kehormatan, dapat
melihat wajah orang yang menghabisiku, lakukan..!” Lanjutnya.
Sekali tebasan, pedang itu diayunkan.
Kilatan cahaya mengganggu, menghentikan gerakan,
emosi dan waktu di ruangan tersebut. Rentetan memori mengganggu, menyeret
kembali pada masa beberapa hari silam.
***
Setiap orang tidak tahu
kapan akan mati, namun semua orang akan sadar saat waktunya tiba untuk berlalu
dari dunia ini. Jika sang malaikat kematian lalai dalam menyampaikan peringatan
waktu kematian seseorang, saat itulah para tangan-tangan kegelapan bergerak
menyampaikan pesan itu dengan sukarela. Mencekam dan teror adalah cara mereka
untuk menyampaikan berita tersebut.
“Aku mendapatkan tanda itu di tempatku..!” Teriak
seorang lelaki menghampiri segerombolan orang.
“Apa maksudmu?” Sahut seorang tua yang spontan
berdiri mendengar berita tersebut.
“Pagi ini saat aku bangun, tanda itu ada di
kamarku..” Jelas lelaki yang ketakutan tersebut.
Hening sejenak.
Seseorang dari gerombolan tersebut berdiri dan
membuka suara, “Kita harus melawan kali ini..” Ucapnya dengan yakin.
“Kita tidak akan bisa..” Protes yang lain.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?, diam saja?,
menunggu untuk dibantai?.. hah!”
“Mereka adalah para hakim.. Kalau tanda itu ada di
suatu tempat, berarti memang orang yang ada di tempat itu akan mati!, kau tahu
betul hal itu! Jangan gila!”
“Kau yang gila! Menunggu untuk dibantai! Kawan kita!
Saudara kita!”
“Tenangkan diri kalian!” Sahut seorang lelaki sambil
berdiri.
“Kita harus melawan kali ini, benar kata Jaka..”
Lanjutnya kemudian.
“Tapi tidak semudah itu melawan mereka, mereka
adalah penguasa tempat ini, kau sendiri tahu Kube, saat tanda sudah dibuat,
akan ada kematian!” Sahut pria lainnya.
“Tenangkan dirimu Korik..” Balas Kube.
“Kita sudah pasrah selama ini, mau sampai kapan kita
akan terus membiarkan diri diburu oleh mereka?” Lanjutnya.
“Aku setuju dengan Kube, perkara jahat apa yang
sudah kita lakukan? Sampai-sampai nyawa sebagai bayaran” Laban yang sejak tadi
hanya diam mulai berbicara.
“Persoalan perahu tempo hari..” Sahut Bomi menatap
ke arah Jaka.
“Perahu itu mengangkut bahan makanan untuk
orang-orang di luar kota, sementara seisi kota ini kelaparan, bagaimana bisa kita biarkan hal tersebut
terjadi!” Balas Jaka.
“Sudah semestinya kita tidak merampok perahu itu..”
Cirak menyela.
“Seisi kota kelaparan! Pemerintah kota diam saja, tidak melakukan
apapun, malahan mengirimkan makanan pada orang-orang di luar kota, dan hanya
untuk bisnis!” Jaka mulai geram.
“Pemerintah kita sudah buta, semua orang tahu bahwa
Apm adalah tempat paling miskin di Kalma! Kenapa persoalan lapar di tempat ini
tidak diperhatikan..!” Sema mendukung Jaka.
“Seharusnya aku tidak terlibat hal ini..” Ekspresi
Bomi meredup ketakutan.
“Jangan takut!
Kita akan melawan!” Ucap Kube lagi dengan yakin.
***
Sebuah rumah tua
terletak di pinggiran kota, dekat dengan danau yang terdapat pelabuhan kecil
pada bagian tepiannya, rumah tua namun kokoh, pondasi-pondasi kayunya masih
kuat, sang pemilik betul-betul mengerti cara merawat tempatnya dengan baik.
Tujuh orang lelaki berjalan menuju tempat ini,
dengan wajah memelas dan mengharapkan pertolongan, mereka datang untuk menemui
sang tuan rumah.
“Kilip..!” Kube mengetok.
“Apa maumu?” Sahut seseorang dari dalam rumah
tersebut.
“Kami ingin berbicara denganmu sebentar..”
“Meminta bantuanmu..” Sambung Kube.
“Pergilah!, aku tidak ingin diganggu” Balas sang
tuan rumah.
“Besiq Lawe
(rantai besi berduri), kami meminta bantuanmu” Sahut Laban di belakang Kube.
Terdengar langkah derap kaki dalam rumah tersebut.
“Ada apa?” Sahut Kilip saat membuka pintu.
“Bantulah kami melawan para hakim” Pinta Kube saat
dipersilahkan masuk oleh Kilip.
“Aku tidak ada urusan lagi dengan mereka..” Sahut
Kilip.
“Satu persatu kami akan dibunuh.. Setiap orang yang
ada di kota ini akan mati jika terus membiarkan para hakim berkuasa seenaknya
saja..” Jelas Kube.
“Kalian mencari masalah dengan mereka, mengapa harus
aku yang mengurusnya?” Balas Kilip dengan tatapan pada Kube.
“Sebaiknya kita lupakan saja!”.
Bomi beranjak dengan wajah kesal. Korik, Cirak, dan
Sema berlari menyusul Bomi.
“Mau kemana kalian!” Jaka mencoba menahan mereka.
“Sudahlah biarkan kami pergi, orang ini takkan bisa
membantu, lupakan saja..” Cirak menggerutu.
“Berikan kami kekuatanmu, untuk menggeser para hakim
dari tahta mereka” Kube kembali membujuk
Kilip. Mereka yang pergi tak ia
hiraukan.
“Jika urusan kalian untuk hal itu, aku tidak
tertarik, aku sudah pensiun beberapa saat yang lalu..” Balas Kilip acuh.
“Mengapa kau menyerah! Banyak nyawa yang hilang
karena kau bersembunyi di sini!” Balas Jaka geram.
“Memperjuangkan keadilan yang kosong! membela orang yang tidak ingin dilindungi!”
Kilip berdiri menghadap Jaka.
“Kube, sebaiknya kita pergi saja..” Ucap Jaka
kemudian beranjak pergi, disusul Kube dan Laban.
“Kilip, kau dulu adalah pelindung tempat ini..
Beberapa waktu dahulu, aku tahu kehebatanmu.. Mengapa hatimu menjadi dingin dan
menyerah atas kejahatan di kota ini?” Laban menatap Kilip seolah menantang.
“Pikirkanlah lagi, kami akan coba menangkap mereka
dan menghabisinya..” Lanjut Laban seraya pergi.
***
Cirak gelisah berada di
tempatnya, beberapa kali ia melirik simbol 1
1 ! > 1 (Kill) yang tertulis dengan bercak darah pada dinding kamarnya.
Ia tak tenang, keringat dingin mengucur dari dahinya.
Dalam ketakutannya, ia tahu bahwa kematian sedang
menghampirinya di depan pintu.
Sesosok bayangan hitam menunggunya. Perlahan Cirak
membalikan tubuhnya, mencoba untuk melihat sosok bayangan tersebut.
“Benar, seperti yang dikatakan oleh banyak orang...
Bahwa bayangan hitam akan menghampirimu dalam pemberontakan, saat itulah
waktumu untuk menyesali apa yang telah kau perbuat.. Menentang para hakim..” Rintih
nya lirih dengan ketakutan dan keringat dingin mengucur kian deras membasahi
dahi dan bajunya.
Sekilas ia merasa bahwa terdapat kembali suatu sosok
pada ambang pintu rumahnya, saat ia melihat kearah pintu, tak ada seorangpun.
Namun ia sadar bahwa ada yang berdiri dibelakangnya. Pisau ditodongkan pada
leher Cirak. Darah mengalir di ruangan itu. Tubuh Cirak dibanting kelantai saat
tubuhnya kejang, lehernya menganga menumpahkan banyak darah. Hampir seluruh
ruangan berwarna merah, dicat dengan darah.
Keesokan harinya, saat
teman-teman Cirak datang untuk mengunjunginya, ia ditemukan terbujur kaku.
Tubuhnya sudah sangat dingin, jiwanya sudah beralih ke tempat lain.
“Di manapun terdapat tanda yang dibuat oleh para
hakim, kematian seseorang tidak ada harganya di mata hukum, tidak ada keadilan
bagi jiwa yang sudah direnggut..” Begitulah tanggapan para petugas kota ini
jika dilaporkan tentang pembunuhan karena ulah para hakim.
“Sial..!” Kube memukul tembok ruangan itu beberapa
kali, amarahnya meluap atas para hakim.
“Selanjutnya pasti salah satu di antara kita..” Ungkap
Sema melirik pada yang lain.
“Kita tidak memiliki kekuatan melawan para hakim..”
Balas Bomi ketakutan.
“Kita harus menjebak mereka, kita sergap
bersama-sama!” Usul Laban.
Teman-temannya merespon dengan diam tanpa sepatah
katapun.
Beberapa saat kemudian, “Benar!” Kube tersadar.
“Kita sergap bersama saja..” Sambungnya lagi.
“Kumpulkan senjata..!” Teriak Korik.
“Kumpulkan senjata dan habisi bersama!” Ekspresi
Korik bersemangat, ia yakin bahwa ini adalah ide yang terbaik.
“Kita harus tahu siapa target mereka berikutnya..” Sela
Laban.
“Tunggu saja, tanda akan muncul..” Ucap Jaka.
“Atau memang sudah muncul..” Sahut Bomi dengan
ekspresi takut.
“Siang ini tanda itu muncul di tempatku..”.
“kita harus bergerak cepat, lakukan semuanya
bersama” Ucap Kube.
***
Saat malam tiba, masa
penghakiman bagi mereka yang sudah menerima tanda. Kematian pastilah
menghampiri dengan kado kejutannya.
“Bersiaplah.. kita akhiri semua malam ini..” Kube
berbicara kepada semua.
Ruangan yang cukup luas dipilih, agar para hakim
bisa jelas dilihat.
Tempat di mana Bomi berada, ia akan duduk bersama
yang lainnya, dikelilingi jebakan untuk para hakim.
Detak jarum jam di
ruangan itu terdengar sangat jelas. Ruangan begitu sunyi, hanya dentingan jam
yang berbicara. Suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan tersebut. Makin
dekat, Bomi dan teman-temannya menahan nafas, leher mereka seperti tercekik
sesuatu, keringat dingin mengucur deras hampir di seluruh tubuh mereka,
ketakutan yang sungguh teramat, saat akan menghadapi sergapan para hakim.
Terlihat beberapa sosok yang mengenakan pakaian
gelap berada di ujung ruangan itu.
Rupanya rencana mereka sudah diketahui, yang datang
tidak hanya satu hakim, semuanya turun tangan.
“Ini tidak baik..” Kube gemetaran.
“Sebelas orang..” Sambungnya terbata, ia merasa
takut dan ragu akan keberhasilan mereka untuk menghabisi para hakim. Di luar
dugaannya, ternyata 11 hakim hadir sekaligus untuk menyerbu tempat mereka
berada.
“Hal yang langka untuk disaksikan..” Laban membuka
suara dengan ekspresi kaku dan wajah yang pucat.
Hening.
Derap kaki mulai terdengar memenuhi ruangan
tersebut, saat 11 hakim tersebut bergerak mendekati Bomi dan yang lainnya.
Berjuang melawan rasa takutnya, Kube memakai masker
dan mengambil pistol. Teman-temannya mengikuti apa yang Kube lakukan.
Gas disebarkan dalam ruangan tersebut, beberapa
hakim tersungkur.. “Mereka mati!” Teriak Kube memberi aba-aba.
Tembakan melesat dalam ruangan tersebut, percikan
peluru dan suara riuh teriakan memekakan keheningan malam. Walau terdengar
jelas di tengah-tengah kota, tak ada satupun yang datang untuk menolong, atau
tidak ada yang peduli.
Pisau melesat, menancap pada dada kanan Sema. Ia
tumbang.
Kube dan Laban serentak melesatkan peluru kearah
para hakim. Empat dari mereka tumbang, namun dengan satu gerakan cepat, saat
Korik lengah, sabetan pedang tajam dengan cepat merobek dadanya. Terkapar,
tubuhnya kejang di lantai.
Jaka dan Bomi dan terus gemetaran, tidak berbuat
apa-apa, tubuh mereka terlalu kaku untuk terlibat pertarungan, hingga seorang
dari hakim melesat ke arah keduanya, dan menusuk perut mereka dengan pedang
kecil berbentuk seperti Trisula Poseidon.
Keduanya tergeletak. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir Jaka, ia berhasilkan
menjatuhkan satu hakim. Tersisa enam hakim yang terus bebas berlarian dalam
ruangan tersebut, mencari celah untuk menyerang.
Saat pertarungan sengit terus berlangsung..
Duar!!
Ledakan besar terjadi menghempaskan kelima hakim
yang dekat dengan sumber ledakan tersebut.
Tertatih dengan luka berat akibat ledakan yang
barusan terjadi, Laban dengan ulahnya sendiri, sebelumnya meledakan beberapa
peledak yang sudah ia dan teman-temannya siapkan. Sekarang ia ikut terluka
karena ia lengah, radius ledakan melukai kakinya.
Berdiri seorang hakim yang masih selamat, berlari
kearahnya, menggenggam pedang dengan erat pada tangan kanannya, sekali gerakan
cepat, melesat melewati Laban, mengayunkan pedang untuk melepaskan kepala Laban
dari tubuhnya. Laban terbujur kaku, ia tak dapat bergerak saat pedang tersebut
memotong lehernya. Spontan, darah menyemprot deras membasahi tubuh Laban dan
lantai sekitarnya, tubuhnya kejang.
Kube yang melihat teman-temannya sudah tumbang,
meraih salah satu pedang hakim yang sudah tumbang, memegangnya dengan erat,
bersiap untuk menghadapi hakim terakhir.
“Kalaupun harus mati, biarlah kau ikut bersamaku ke
neraka!” Teriaknya menantang hakim terakhir.
Manuver ke kanan dengan gerakan kilat, berulang kali
Kube mencoba untuk menusuk pria tersebut untuk melumpuhkannya, hentakan tangan
yang cepat, dengan tangan kirinya sang hakim mengarahkan pukulan tepat mengenai
ulu hati Kube.
Sabetan kilat menyusul dari tangan kanan sang hakim,
melukai lengan kanan Kube. Pedang terlepas dari genggaman Kube, ia tidak kuat
lagi mempertahankannya.
Mendekat dan mengarahkan tendangan telak mengenai
Kube, sang hakim berhasil menghempaskan Kube yang sudah tak berdaya ke tembok
ruangan tersebut.
Kube masih bertahan, perlahan ia bergerak,
menggunakan tangan kiri untuk menyeret tubuhnya, ia terus bergerak menuju sisi
sudut ruangan.
“Setidaknya, aku harus...” Nafasnya terengah-engah.
Derap kaki mendekatinya dari arah belakang tubuhnya.
Kube terus bergerak menarik tubuhnya yang kaku dan berdarah. Air matanya
bercucuran, kematian begitu mengerikan baginya...
“Aku harus menlihat wajahnya, agar di akhirat nanti
akan ku hantui dia..” Kutuknya dalam lirih..
Kube menggapai sisi sudut ruangan tersebut, menarik
tubuhnya.. ia berusaha untuk bersandar tubuh yang penuh luka parah pada tembok
ruangan ini.
Sosok pria dengan aura jahat terlihat di hadapannya
dengan aura pembunuh.
“Habisi saja..” Keluh Kube disudut ruangan itu
terengah-engah, sambil mempertahankan kesadarannya.
“Setidaknya aku masih memiliki kehormatan, dapat
melihat wajah orang yang menghabisiku... lakukan!” Lanjutnya.
Sekali tebasan, pedang itu diayunkan. Kube Pasrah.
Ia memejamkan matanya. Air mata terus bercucuran, ia
tahu bahwa saat hidupnya akan berakhir. Semakin dekat ia dengan kematiannya,
semakin ia mengutuki tempat ia ada sekarang ini. Hatinya terus berteriak
menyuarakan kutuk atas tempat ini.
Tebasan terhenti, ditahan oleh sebuah pedang tajam.
Kilip yang tiba-tiba muncul dan membanting sang
hakim kesisi lain ruangan.
Kube terkejut saat ia membuka matanya, Kilip datang
untuk menolong.
“Orang bodoh seperti kalian tidak akan bisa
menghadapi mereka..” Gumam Kilip pada Kube.
Kube hanya pasrah. Menghela nafas lega sejenak, ia
meringis kesakitan menahan luka-lukanya.
Sang hakim terakhir hanya terdiam, ia kembali
bangkit, tatapannya seperti menyiratkan betapa ia benci kesenangannya diganggu,
ia menatap Kilip begitu tajam, kebenciannya begitu besar. “Jangan ikut campur”
Satu kalimat akhirnya keluar dari mulut hakim terakhir.
“Urusan lama kita belum selesai, mari lakukan
sekarang..” Tantang Kilip yang sudah tidak kuat seperti dulu lagi, namun tubuh
tua nya masih dapat bertarung. Ia masih terlihat kuat.
Sang hakim melesat kearah Kilip, mencoba mengarah
pedang pada tangan kanannya mengincar leher Kilip, namun berhasil diblok dengan
pedang. Tubuhnya berputar, kaki kiri belakang ia arahkan untuk mementalkan
tubuh Kilip. Tepat terkena pada bagian perutnya, ia berhasil membuat Kilip
mundur beberapa langkah dalam
pertarungan. “Cara sama.. melumpuhkan!” Gertak Kilip mengejek hakim tersebut.
Ia melesat mencoba mendekati sang hakim, tebasan
cepat ia arahkan untuk merobek dada pria tersebut, namun berhasil dihindari.
“Kau sudah tua, gerakanmu sudah tidak sehebat
dulu..” Ejek sang hakim.
Tangan kiri ia arahkan pada wajah sang hakim dan
berhasil mengenainya. Darah mengucur keluar dari hidung pria tersebut. Kilip
terkekeh. Tak ia biarkan kesempatan hilang, tangan kanannya dengan cepat
menusuk perut sang hakim. Sedikit menggoreskan bagian perutnya, pria tersebut
sempat berkelit.
Posisi pertarungan imbang, Kilip yang sudah tak lagi
muda namun masih hebat dalam pertarungan. Disisi lain, sang hakim makin geram
setelah mendapat serangan yang diberikan oleh Kilip.
Pertarungan kembali berlangsung.
Kube yang sejak tadi pasrah menyandarkan dirinya
pada sudut tembok ruangan, terengah-engah bernafas. Dadanya mulai terasa sesak,
ia merasa tubuhnya makin dingin, semakin tak tahan baginya untuk tidak menutup
mata. Dalam perhatiannya berpusat pada Kilip dan hakim terakhir, ia terbujur
kaku. Darah dalam tubuhnya berhenti mengalir.
Sang hakim berhasil melukai kaki Kilip saat ia
lengah menghindari pukulan tangan kiri pria tersebut. Kilip terus memberikan
serangan balik, mencoba untuk melumpuhkannya. Dengan satu celah, Kilip terkena
tusukan pada perut kirinya. Dengan pedang yang masih tergenggam erat pada
tangan kanan hakim tersebut, ia begitu menikmati Kilip yang kesakitan menuju
kematiannya, darah terus mengucur dari perut Kilip. Segenap tenaga Kilik
kerahkan untuk mencengkeran tenggorok pria tersebut, ditariknya hingga hancur.
Sang hakim tersungkur, mulutnya mengeluarkan banyak darah, tubuhnya kejang,
pedangnya terlepas, kedua tangannya menggenggam leher. Ia merebahkan diri.
Luka yang Kilip dapatkan dari hakim tersebut terus
mengeluarkan darah. Saat ia mencoba untuk menuruni lantai dua gedung tersebut,
kakinya tak ada tenaga lagi untuk bertahan, tubuhnya jatuh ke lantai satu dari
tangga tersebut. Tubuhnya terbujur kaku.
“...Ada
sebuah kisah, tentang 1 1 ! > 1 (Kill) , sebelas hakim yang membawa kematian pada para pemberontak,
dan sebuah kejutan dalam kota ini saat para hakim gagal. Nyatanya dalam satu
keinginan (1) didukung banyak hal, sebelas kekuatan (11) didukung kejutan (!),
tidak lah lebih besar (<) dari satu
keinginan; 11! > 1 ...”
Tamat.