Minggu, 09 Oktober 2016

1 1 ! > 1



            Dentingan musik surga mengalun lembut dari tahta tertinggi. Meliuk, masuk, menyebar dan berkelana menyusuri semesta. Menjangkau dunia baru pada sisi sudut dimensi. Sedikit terdengar alunan nada indah menghampiri tempat ini, hanya sebagian sisi, sisi lainnya tidak mengenal simfoni dari tempat tertinggi tersebut.
Kalma. Negeri seribu kisah, di mana kebaikan dan kejahatan hadir  berdampingan secara harmonis. Bias cahaya menyilaukan dan kalutnya gelap identik dengan dunia ini.
Dalam kegelapan terdapat kutukan dan serapah yang mengasah cakarnya dengan pertikaian dibalut benci.
Apm, salah satu kota di mana kegelapan terus berkuasa, tidak diakui bahwa kejahatan adalah identitas dari tempat ini, namun tidak dapat juga dipungkiri bahwa kejahatan meraja lela tertawa di antara orang-orang Apm, sambil sesekali menggoreskan cakarnya pada tiap tembok, sebagai tanda bahwa ia adalah hakim atas hidup dan mati, ditempat ini.
Pada sebuah bangunan tua tiga lantai, bercak-bercak cat tua keabu-abuan masih tampak menyelimuti dinding tempat ini, tangga usang, lantai retak dan kamar-kamar kumuh yang dipenuhi debu beterbangan, saat menghirup udara di tempat ini yang terasa hanyalah bau kumuh dan serbuk-serbuk kayu yang mulai lapuk.
Sebuah ruangan pada lantai dua, terletak di tengah, antara dua ruangan lainnya.
Pintu yang rusak, sepertinya dihancurkan oleh sesuatu yang menghempasnya, bercak darah di lantai, hembusan nafas terengah-engah. Berdiri seorang lelaki memegang pedang berukuran mini dengan panjang kurang lebih 30cm, diameter 4cm. Digenggam erat di tangan kanan. Tubuhnya kekar, berdiri tegap, tatapannya tajam, menatap tanpa keraguan untuk menghabisi satu lelaki yang masih tersisa di sudut ruangan, yang sedang berusaha untuk menyeret tubuhnya yang sudah terluka parah, di antara gelimangan mayat rekan-rekannya yang tergeletak di lantai, hanya dengan tangan kiri saja si lelaki yang penuh dengan noda darah itu terus bergerak, berusaha untuk menjangkau sudut ruangan, entah apa yang ia harapkan pada tempat tersebut, bertahan, lari atau hanya sekedar mencari tempat untuk menyandarkan tubuhnya yang sudah terluka parah. Ia menarik dirinya, merebahkan tubuhnya pada tembok ruangan ini, menatap sayup, kesadarannya hampir hilang, tetap ia berusaha menatap lelaki yang memegang pedang.
“Habisi saja..” Keluh lelaki disudut ruangan itu terengah-engah, sambil mempertahankan kesadarannya.
“Setidaknya aku masih memiliki kehormatan, dapat melihat wajah orang yang menghabisiku, lakukan..!” Lanjutnya.
Sekali tebasan, pedang itu diayunkan.
Kilatan cahaya mengganggu, menghentikan gerakan, emosi dan waktu di ruangan tersebut. Rentetan memori mengganggu, menyeret kembali pada masa beberapa hari silam.
***
Setiap orang tidak tahu kapan akan mati, namun semua orang akan sadar saat waktunya tiba untuk berlalu dari dunia ini. Jika sang malaikat kematian lalai dalam menyampaikan peringatan waktu kematian seseorang, saat itulah para tangan-tangan kegelapan bergerak menyampaikan pesan itu dengan sukarela. Mencekam dan teror adalah cara mereka untuk menyampaikan berita tersebut.
“Aku mendapatkan tanda itu di tempatku..!” Teriak seorang lelaki menghampiri segerombolan orang.
“Apa maksudmu?” Sahut seorang tua yang spontan berdiri mendengar berita tersebut.
“Pagi ini saat aku bangun, tanda itu ada di kamarku..” Jelas lelaki yang ketakutan tersebut.
Hening sejenak.
Seseorang dari gerombolan tersebut berdiri dan membuka suara, “Kita harus melawan kali ini..” Ucapnya dengan yakin.
“Kita tidak akan bisa..” Protes yang lain.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?, diam saja?, menunggu untuk dibantai?.. hah!”
“Mereka adalah para hakim.. Kalau tanda itu ada di suatu tempat, berarti memang orang yang ada di tempat itu akan mati!, kau tahu betul hal itu! Jangan gila!”
“Kau yang gila! Menunggu untuk dibantai! Kawan kita! Saudara kita!”
“Tenangkan diri kalian!” Sahut seorang lelaki sambil berdiri.
“Kita harus melawan kali ini, benar kata Jaka..” Lanjutnya kemudian.
“Tapi tidak semudah itu melawan mereka, mereka adalah penguasa tempat ini, kau sendiri tahu Kube, saat tanda sudah dibuat, akan ada kematian!” Sahut pria lainnya.
“Tenangkan dirimu Korik..” Balas Kube.
“Kita sudah pasrah selama ini, mau sampai kapan kita akan terus membiarkan diri diburu oleh mereka?” Lanjutnya.
“Aku setuju dengan Kube, perkara jahat apa yang sudah kita lakukan? Sampai-sampai nyawa sebagai bayaran” Laban yang sejak tadi hanya diam mulai berbicara.
“Persoalan perahu tempo hari..” Sahut Bomi menatap ke arah Jaka.
“Perahu itu mengangkut bahan makanan untuk orang-orang di luar kota, sementara seisi kota ini kelaparan,  bagaimana bisa kita biarkan hal tersebut terjadi!” Balas Jaka.
“Sudah semestinya kita tidak merampok perahu itu..” Cirak menyela.
“Seisi kota kelaparan!  Pemerintah kota diam saja, tidak melakukan apapun, malahan mengirimkan makanan pada orang-orang di luar kota, dan hanya untuk bisnis!” Jaka mulai geram.
“Pemerintah kita sudah buta, semua orang tahu bahwa Apm adalah tempat paling miskin di Kalma! Kenapa persoalan lapar di tempat ini tidak diperhatikan..!” Sema mendukung Jaka.
“Seharusnya aku tidak terlibat hal ini..” Ekspresi Bomi meredup ketakutan.
“Jangan takut!  Kita akan melawan!” Ucap Kube lagi dengan yakin.
***
Sebuah rumah tua terletak di pinggiran kota, dekat dengan danau yang terdapat pelabuhan kecil pada bagian tepiannya, rumah tua namun kokoh, pondasi-pondasi kayunya masih kuat, sang pemilik betul-betul mengerti cara merawat tempatnya dengan baik.
Tujuh orang lelaki berjalan menuju tempat ini, dengan wajah memelas dan mengharapkan pertolongan, mereka datang untuk menemui sang tuan rumah.
“Kilip..!” Kube mengetok.
“Apa maumu?” Sahut seseorang dari dalam rumah tersebut.
“Kami ingin berbicara denganmu sebentar..”
“Meminta bantuanmu..” Sambung Kube.
“Pergilah!, aku tidak ingin diganggu” Balas sang tuan rumah.
Besiq Lawe (rantai besi berduri), kami meminta bantuanmu” Sahut Laban di belakang Kube.
Terdengar langkah derap kaki dalam rumah tersebut.
“Ada apa?” Sahut Kilip saat membuka pintu.
“Bantulah kami melawan para hakim” Pinta Kube saat dipersilahkan masuk oleh Kilip.
“Aku tidak ada urusan lagi dengan mereka..” Sahut Kilip.
“Satu persatu kami akan dibunuh.. Setiap orang yang ada di kota ini akan mati jika terus membiarkan para hakim berkuasa seenaknya saja..” Jelas Kube.
“Kalian mencari masalah dengan mereka, mengapa harus aku yang mengurusnya?” Balas Kilip dengan tatapan pada Kube.
“Sebaiknya kita lupakan saja!”.
Bomi beranjak dengan wajah kesal. Korik, Cirak, dan Sema berlari menyusul Bomi.
“Mau kemana kalian!” Jaka mencoba menahan mereka.
“Sudahlah biarkan kami pergi, orang ini takkan bisa membantu, lupakan saja..” Cirak menggerutu.
“Berikan kami kekuatanmu, untuk menggeser para hakim dari tahta mereka”  Kube kembali membujuk Kilip.  Mereka yang pergi tak ia hiraukan.
“Jika urusan kalian untuk hal itu, aku tidak tertarik, aku sudah pensiun beberapa saat yang lalu..” Balas Kilip acuh.
“Mengapa kau menyerah! Banyak nyawa yang hilang karena kau bersembunyi di sini!” Balas Jaka geram.
“Memperjuangkan keadilan yang kosong!  membela orang yang tidak ingin dilindungi!” Kilip berdiri menghadap Jaka.
“Kube, sebaiknya kita pergi saja..” Ucap Jaka kemudian beranjak pergi, disusul Kube dan Laban.
“Kilip, kau dulu adalah pelindung tempat ini.. Beberapa waktu dahulu, aku tahu kehebatanmu.. Mengapa hatimu menjadi dingin dan menyerah atas kejahatan di kota ini?” Laban menatap Kilip seolah menantang.
“Pikirkanlah lagi, kami akan coba menangkap mereka dan menghabisinya..” Lanjut Laban seraya pergi.
***
Cirak gelisah berada di tempatnya, beberapa kali ia melirik simbol 1 1 ! > 1 (Kill) yang tertulis dengan bercak darah pada dinding kamarnya. Ia tak tenang, keringat dingin mengucur dari dahinya.
Dalam ketakutannya, ia tahu bahwa kematian sedang menghampirinya di depan pintu.
Sesosok bayangan hitam menunggunya. Perlahan Cirak membalikan tubuhnya, mencoba untuk melihat sosok bayangan tersebut.
“Benar, seperti yang dikatakan oleh banyak orang... Bahwa bayangan hitam akan menghampirimu dalam pemberontakan, saat itulah waktumu untuk menyesali apa yang telah kau perbuat.. Menentang para hakim..” Rintih nya lirih dengan ketakutan dan keringat dingin mengucur kian deras membasahi dahi dan bajunya.
Sekilas ia merasa bahwa terdapat kembali suatu sosok pada ambang pintu rumahnya, saat ia melihat kearah pintu, tak ada seorangpun. Namun ia sadar bahwa ada yang berdiri dibelakangnya. Pisau ditodongkan pada leher Cirak. Darah mengalir di ruangan itu. Tubuh Cirak dibanting kelantai saat tubuhnya kejang, lehernya menganga menumpahkan banyak darah. Hampir seluruh ruangan berwarna merah, dicat dengan darah.
Keesokan harinya, saat teman-teman Cirak datang untuk mengunjunginya, ia ditemukan terbujur kaku. Tubuhnya sudah sangat dingin, jiwanya sudah beralih ke tempat lain.
“Di manapun terdapat tanda yang dibuat oleh para hakim, kematian seseorang tidak ada harganya di mata hukum, tidak ada keadilan bagi jiwa yang sudah direnggut..” Begitulah tanggapan para petugas kota ini jika dilaporkan tentang pembunuhan karena ulah para hakim.
“Sial..!” Kube memukul tembok ruangan itu beberapa kali, amarahnya meluap atas para hakim.
“Selanjutnya pasti salah satu di antara kita..” Ungkap Sema melirik pada yang lain.
“Kita tidak memiliki kekuatan melawan para hakim..” Balas Bomi ketakutan.
“Kita harus menjebak mereka, kita sergap bersama-sama!” Usul Laban.
Teman-temannya merespon dengan diam tanpa sepatah katapun.
Beberapa saat kemudian, “Benar!” Kube tersadar. “Kita sergap bersama saja..” Sambungnya lagi.
“Kumpulkan senjata..!” Teriak Korik.
“Kumpulkan senjata dan habisi bersama!” Ekspresi Korik bersemangat, ia yakin bahwa ini adalah ide yang terbaik.
“Kita harus tahu siapa target mereka berikutnya..” Sela Laban.
“Tunggu saja, tanda akan muncul..” Ucap Jaka.
“Atau memang sudah muncul..” Sahut Bomi dengan ekspresi takut.
“Siang ini tanda itu muncul di tempatku..”.
“kita harus bergerak cepat, lakukan semuanya bersama” Ucap Kube.
***
Saat malam tiba, masa penghakiman bagi mereka yang sudah menerima tanda. Kematian pastilah menghampiri dengan kado kejutannya.
“Bersiaplah.. kita akhiri semua malam ini..” Kube berbicara kepada semua.
Ruangan yang cukup luas dipilih, agar para hakim bisa jelas dilihat.
Tempat di mana Bomi berada, ia akan duduk bersama yang lainnya, dikelilingi jebakan untuk para hakim.
Detak jarum jam di ruangan itu terdengar sangat jelas. Ruangan begitu sunyi, hanya dentingan jam yang berbicara. Suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan tersebut. Makin dekat, Bomi dan teman-temannya menahan nafas, leher mereka seperti tercekik sesuatu, keringat dingin mengucur deras hampir di seluruh tubuh mereka, ketakutan yang sungguh teramat, saat akan menghadapi sergapan para hakim.
Terlihat beberapa sosok yang mengenakan pakaian gelap berada di ujung ruangan itu.
Rupanya rencana mereka sudah diketahui, yang datang tidak hanya satu hakim, semuanya turun tangan.
“Ini tidak baik..” Kube gemetaran.
“Sebelas orang..” Sambungnya terbata, ia merasa takut dan ragu akan keberhasilan mereka untuk menghabisi para hakim. Di luar dugaannya, ternyata 11 hakim hadir sekaligus untuk menyerbu tempat mereka berada.
“Hal yang langka untuk disaksikan..” Laban membuka suara dengan ekspresi kaku dan wajah yang pucat.
Hening.
Derap kaki mulai terdengar memenuhi ruangan tersebut, saat 11 hakim tersebut bergerak mendekati Bomi dan yang lainnya.
Berjuang melawan rasa takutnya, Kube memakai masker dan mengambil pistol. Teman-temannya mengikuti apa yang Kube lakukan.
Gas disebarkan dalam ruangan tersebut, beberapa hakim tersungkur.. “Mereka mati!” Teriak Kube memberi aba-aba.
Tembakan melesat dalam ruangan tersebut, percikan peluru dan suara riuh teriakan memekakan keheningan malam. Walau terdengar jelas di tengah-tengah kota, tak ada satupun yang datang untuk menolong, atau tidak ada yang peduli.
Pisau melesat, menancap pada dada kanan Sema. Ia tumbang.
Kube dan Laban serentak melesatkan peluru kearah para hakim. Empat dari mereka tumbang, namun dengan satu gerakan cepat, saat Korik lengah, sabetan pedang tajam dengan cepat merobek dadanya. Terkapar, tubuhnya kejang di lantai.
Jaka dan Bomi dan terus gemetaran, tidak berbuat apa-apa, tubuh mereka terlalu kaku untuk terlibat pertarungan, hingga seorang dari hakim melesat ke arah keduanya, dan menusuk perut mereka dengan pedang kecil berbentuk seperti Trisula Poseidon. Keduanya tergeletak. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir Jaka, ia berhasilkan menjatuhkan satu hakim. Tersisa enam hakim yang terus bebas berlarian dalam ruangan tersebut, mencari celah untuk menyerang.
Saat pertarungan sengit terus berlangsung..
Duar!!
Ledakan besar terjadi menghempaskan kelima hakim yang dekat dengan sumber ledakan tersebut.
Tertatih dengan luka berat akibat ledakan yang barusan terjadi, Laban dengan ulahnya sendiri, sebelumnya meledakan beberapa peledak yang sudah ia dan teman-temannya siapkan. Sekarang ia ikut terluka karena ia lengah, radius ledakan melukai kakinya.
Berdiri seorang hakim yang masih selamat, berlari kearahnya, menggenggam pedang dengan erat pada tangan kanannya, sekali gerakan cepat, melesat melewati Laban, mengayunkan pedang untuk melepaskan kepala Laban dari tubuhnya. Laban terbujur kaku, ia tak dapat bergerak saat pedang tersebut memotong lehernya. Spontan, darah menyemprot deras membasahi tubuh Laban dan lantai sekitarnya, tubuhnya kejang.
Kube yang melihat teman-temannya sudah tumbang, meraih salah satu pedang hakim yang sudah tumbang, memegangnya dengan erat, bersiap untuk menghadapi hakim terakhir.
“Kalaupun harus mati, biarlah kau ikut bersamaku ke neraka!” Teriaknya menantang hakim terakhir.
Manuver ke kanan dengan gerakan kilat, berulang kali Kube mencoba untuk menusuk pria tersebut untuk melumpuhkannya, hentakan tangan yang cepat, dengan tangan kirinya sang hakim mengarahkan pukulan tepat mengenai ulu hati Kube.
Sabetan kilat menyusul dari tangan kanan sang hakim, melukai lengan kanan Kube. Pedang terlepas dari genggaman Kube, ia tidak kuat lagi mempertahankannya.
Mendekat dan mengarahkan tendangan telak mengenai Kube, sang hakim berhasil menghempaskan Kube yang sudah tak berdaya ke tembok ruangan tersebut.
Kube masih bertahan, perlahan ia bergerak, menggunakan tangan kiri untuk menyeret tubuhnya, ia terus bergerak menuju sisi sudut ruangan.
“Setidaknya, aku harus...” Nafasnya terengah-engah.
Derap kaki mendekatinya dari arah belakang tubuhnya. Kube terus bergerak menarik tubuhnya yang kaku dan berdarah. Air matanya bercucuran, kematian begitu mengerikan baginya...
“Aku harus menlihat wajahnya, agar di akhirat nanti akan ku hantui dia..” Kutuknya dalam lirih..
Kube menggapai sisi sudut ruangan tersebut, menarik tubuhnya.. ia berusaha untuk bersandar tubuh yang penuh luka parah pada tembok ruangan ini.
Sosok pria dengan aura jahat terlihat di hadapannya dengan aura pembunuh.
“Habisi saja..” Keluh Kube disudut ruangan itu terengah-engah, sambil mempertahankan kesadarannya.
“Setidaknya aku masih memiliki kehormatan, dapat melihat wajah orang yang menghabisiku... lakukan!” Lanjutnya.
Sekali tebasan, pedang itu diayunkan. Kube Pasrah.
Ia memejamkan matanya. Air mata terus bercucuran, ia tahu bahwa saat hidupnya akan berakhir. Semakin dekat ia dengan kematiannya, semakin ia mengutuki tempat ia ada sekarang ini. Hatinya terus berteriak menyuarakan kutuk atas tempat ini.
Tebasan terhenti, ditahan oleh sebuah pedang tajam.
Kilip yang tiba-tiba muncul dan membanting sang hakim kesisi lain ruangan.
Kube terkejut saat ia membuka matanya, Kilip datang untuk menolong.
“Orang bodoh seperti kalian tidak akan bisa menghadapi mereka..” Gumam Kilip pada Kube.
Kube hanya pasrah. Menghela nafas lega sejenak, ia meringis kesakitan menahan luka-lukanya.
Sang hakim terakhir hanya terdiam, ia kembali bangkit, tatapannya seperti menyiratkan betapa ia benci kesenangannya diganggu, ia menatap Kilip begitu tajam, kebenciannya begitu besar. “Jangan ikut campur” Satu kalimat akhirnya keluar dari mulut hakim terakhir.
“Urusan lama kita belum selesai, mari lakukan sekarang..” Tantang Kilip yang sudah tidak kuat seperti dulu lagi, namun tubuh tua nya masih dapat bertarung. Ia masih terlihat kuat.
Sang hakim melesat kearah Kilip, mencoba mengarah pedang pada tangan kanannya mengincar leher Kilip, namun berhasil diblok dengan pedang. Tubuhnya berputar, kaki kiri belakang ia arahkan untuk mementalkan tubuh Kilip. Tepat terkena pada bagian perutnya, ia berhasil membuat Kilip mundur  beberapa langkah dalam pertarungan. “Cara sama.. melumpuhkan!” Gertak Kilip mengejek hakim tersebut.
Ia melesat mencoba mendekati sang hakim, tebasan cepat ia arahkan untuk merobek dada pria tersebut, namun berhasil dihindari.
“Kau sudah tua, gerakanmu sudah tidak sehebat dulu..” Ejek sang hakim.
Tangan kiri ia arahkan pada wajah sang hakim dan berhasil mengenainya. Darah mengucur keluar dari hidung pria tersebut. Kilip terkekeh. Tak ia biarkan kesempatan hilang, tangan kanannya dengan cepat menusuk perut sang hakim. Sedikit menggoreskan bagian perutnya, pria tersebut sempat berkelit.
Posisi pertarungan imbang, Kilip yang sudah tak lagi muda namun masih hebat dalam pertarungan. Disisi lain, sang hakim makin geram setelah mendapat serangan yang diberikan oleh Kilip.
Pertarungan kembali berlangsung.
Kube yang sejak tadi pasrah menyandarkan dirinya pada sudut tembok ruangan, terengah-engah bernafas. Dadanya mulai terasa sesak, ia merasa tubuhnya makin dingin, semakin tak tahan baginya untuk tidak menutup mata. Dalam perhatiannya berpusat pada Kilip dan hakim terakhir, ia terbujur kaku. Darah dalam tubuhnya berhenti mengalir.
Sang hakim berhasil melukai kaki Kilip saat ia lengah menghindari pukulan tangan kiri pria tersebut. Kilip terus memberikan serangan balik, mencoba untuk melumpuhkannya. Dengan satu celah, Kilip terkena tusukan pada perut kirinya. Dengan pedang yang masih tergenggam erat pada tangan kanan hakim tersebut, ia begitu menikmati Kilip yang kesakitan menuju kematiannya, darah terus mengucur dari perut Kilip. Segenap tenaga Kilik kerahkan untuk mencengkeran tenggorok pria tersebut, ditariknya hingga hancur. Sang hakim tersungkur, mulutnya mengeluarkan banyak darah, tubuhnya kejang, pedangnya terlepas, kedua tangannya menggenggam leher. Ia merebahkan diri.
Luka yang Kilip dapatkan dari hakim tersebut terus mengeluarkan darah. Saat ia mencoba untuk menuruni lantai dua gedung tersebut, kakinya tak ada tenaga lagi untuk bertahan, tubuhnya jatuh ke lantai satu dari tangga tersebut. Tubuhnya terbujur kaku.
“...Ada sebuah kisah, tentang 1 1 ! > 1 (Kill) , sebelas hakim  yang membawa kematian pada para pemberontak, dan sebuah kejutan dalam kota ini saat para hakim gagal. Nyatanya dalam satu keinginan (1) didukung banyak hal, sebelas kekuatan (11) didukung kejutan (!), tidak lah lebih besar (<)  dari satu keinginan; 11! > 1 ...”

Tamat.
o
n
o
t
r
a
H
y
k
g
n
e
H